"Jangan sembarangan kamu, tidak ada yang boleh menyentuh ibuku." Tegas Adam menatap Luna tajam.
Aku menghela nafas dan sangat muak dengan sikap mas Adam, selalu memihak pada ibunya entah itu salah atau benar dia akan selalu mendukung ibunya.
"Aku tidak peduli apapun keputusanmu, Mas. Aku juga manusia, bukan hewan peliharaan. Aku punya hati dan merasakan sakit."
Aku membalas tatapan tajam mas Adam, dia mengira kalau aku main-main dengan ucapanku itu. Kemarahan yang sudah sampai di ubun-ubun tak bisa lagi aku kendalikan.
"Egois kamu, lupa kalau ibu aku masih ibu mertuamu. Kualat kamu, Lun."
Aku berdecak kesal mendengar kata egois yang di tujukan padaku, padahal kata itu lebih pantas untuk mas Adam. Aku seperti tidak mengenal sosok suamiku itu, sangat jauh perbedaan mereka. Aku mulai berpikir apakah orang yang berada di hadapanku memang pria yang menikahiku? Dunia terasa berputar dengan cepat, entah mengapa malah terjadi padaku.
"Aku perintahkan untuk segera cabut perkataanmu yang ingin memenjarakan ibu."
Aku kagum sekaligus meringis dengan sikap mas Adam, begitu peduli pada ibu dan bahkan mengabaikan sakit lahir dan batinku karenanya. Lebam di punggung masih belum seberapa, rasa sakit hatinya jauh lebih sakit bak di tusuk sebilah bambu runcing.
Cukup lama mas Adam tidak membiarkan aku masuk ke dalam rumah, dan masih saja menuduhku selingkuh. Menekanku agar mau mengaku, dan mengikuti setiap langkahku.
"Aku minta kamu juga jauhi Biru, dosa bagi istri berduaan dengan pria asing!"
Sekali lagi aku mendengar kata perintah, apa dia mengira aku ini hewan peliharaan? yang bisa seenaknya memerintah ku ini dan itu. Aku yang sedang mengemasi beberapa keperluan Kanaya di rumah sakit terpaksa menundanya sebentar, menatap kilat manik mata hitam milik mas Adam.
"Apa kamu tidak salah Mas? Kamu cemburu?"
"Marwah seorang istri."
Aku semakin tidak mengerti, bisa-bisanya mas Adam membahas malaikat penyelamat Kanaya dan lupa dengan tanggung jawab sebagai seorang ayah kandung.
"Gak usah melantur, mas Biru hanya ingin menolongku membayar biaya rumah sakit Kanaya. Memangnya kamu meu mengeluarkan uang sepeserpun untuk anak kita? Bahkan hewan pun tahu bagaimana bertanggung jawab, tidak seperti kamu yang cemburu buta tidak jelas." Sudah muak aku melihat wajah mas Adam, dulu aku merasa wanita yang paling beruntung menjadi istrinya, sebab perlakuan manis dan romantis saat kami masih berdua. Tapi sekarang aku merasa salah pilih suami, andai saja aku bisa menukar tambah suami, namun itu hanyalah khayalan dongeng yang tidak akan pernah terjadi.
Aku bergegas ke rumah sakit, sangat khawatir mengenai kondisi Kanaya. Namun langkahku tertahan saat pergelangan tanganku di pegang, sontak aku menoleh menatap sang pelaku datar.
"Apa yang kamu lakukan, Mas? Lepaskan aku!"
"Aku tidak mengizinkanmu pergi ke rumah sakit, pasti kamu ingin berpacaran dengan Biru kan."
Tuduhan begitu keji nan murahan itu membuatku tergelak, pandai sekali mas Adam. Aku melirik tangannya dan memberikan kode agar segera melepaskan tanganku.
"Kanaya membutuhkan ibunya."
"Alah, itu pasti akal-akalan kamu yang ingin bertemu Biru."
"Terserah kalau kamu mau mikir apa mengenai aku, jika tidak suka jatuhkan talak sekarang!" kelakar ku, sesaat kemudian merubah ekspresi wajah serius sambil menatapnya dalam dan intens.
Seketika tubuh Adam diam membeku tidak bisa berkutik, perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Mana mungkin dia ingin melepaskan istri yang dia cintai begitu saja, hati yang terbakar api cemburu hampir saja membuatnya berpisah.
Tidak ada apapun yang bisa mencegahku sekarang, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Beberapa langkah aku kembali menoleh sesaat pada mas Adam yang masih diam tidak berkutik, entah apa yang dia pikirkan aku juga tidak tahu dan tidak ingin tahu.
"Ingat Mas, aku akan membawa ini ke jalur hukum."
****
Akhirnya aku bisa bernafas lega, sebagai seorang ibu membuatku sangat overprotektif. Kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Kanaya, dan aku tidak akan tinggal diam.
Dokter memberikan izin untuk ku membawa Kanaya pulang, aku sangat bahagia mendengarnya. Ku kemasi semua keperluan Kanaya selama. Di rumah sakit dan menggendong tubuh bayiku keluar dari ruangan.
Tidak sengaja aku berselisih dengan sang malaikat penyelamat putriku, aku menghampiri dan hendak mengucapkan terima kasih.
"Mas Biru."
"Luna. Kanaya sudah di perbolehkan pulang ya?"
Aku mengangguk senang. "Iya Mas, ini berkat bantuan yang Mas Biru berikan padaku dan Kanaya."
"Kita harus saling tolong menolong."
"Mas Biru merendah, tapi tetap saja aku menganggap Mas sebagai malaikat penolong. Terima kasih."
"Hem, sama-sama."
Aku melihat mas Biru yang terus saja memandang Kanaya, aku mulai menyimpulkan kalau pria itu ingin menggendong anakku.
"Mas mau gendong Kanaya?"
"Emang boleh?" tanyanya yang meminta izin padaku, berharap kalau aku mengizinkannya.
"Tentu saja boleh."
Aku melihat mas Biru menggendong Kanaya dan sesekali membawanya untuk berinteraksi, persis seperti seorang ayah pada anaknya. Tak terasa air mataku menetes, suasana hangat itu membuatku merasa kasihan pada putriku. "Kasihan kamu, Nak. Kelahiranmu tidak di inginkan oleh nenek juga ayahmu," ucapku di dalam hati.
"Eh, Lun. Sepertinya Kanaya suka padaku, buktinya dia tidak menangis saat aku gendong."
"Karena Kanaya tahu siapa yang tulus dan yang modus." Seloroh ku membuat mas Biru terkekeh.
"Aku antar sampai depan ya."
Aku mengangguk, bagaimana bisa aku menolak perkataan mas Biru yang sudah berjasa telah menyelamatkan Kanaya. Kami terus mengobrol dan menjadi sangat akrab, bahkan beberapa orang yang lewat mengira kalau kami adalah sepasang suami istri.
"Aku akan memesan taksi online." Mas Biru langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka aplikasi khusus.
Sekilas aku mengingat perkataan mas Adam yang menuduhku selingkuh dengan mas Biru, sikap baik pria itu pasti menimbulkan masalah baru untuknya. "Eh, tidak usah Mas Biru."
"Kenapa Luna?" tatapnya penasaran, padahal hanya sekali klik.
"Aku tidak ingin merepotkan."
Aku terlihat malu karena pria itu kembali membantuku, sekilas aku terpana dengan senyuman mas Biru. Wajah tampan, hidung mancung, manik mata coklat dan teduh, tidak lupa brewoknya semakin membuatnya sangat tampan. Maklum saja, dia keturunan Indonesia Turki.
"Astaghfirullahaladzim. Apa yang aku pikirkan?" aku mengumpat di dalam hati, hampir saja setan menghasutku untuk berbuat dosa.
"Aku naik angkutan umum saja Mas."
"Kamu yakin?"
"Iya."
"Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang? Aku hanya ingin kalian selamat sampai tujuan."
"Ah, tidak perlu Mas."
"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan."
"Dapat. Yes, aku berhasil mendapatkan foto Mba Luna sama pria itu. Pasti mas Adam marah dan langsung menjatuhkan talak." Mawar yang sangat senang yang berhasil memotret kebersamaan Biru dan kakak madunya, sudah lama ingin menyingkirkan istri pertama suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Soraya
ambil pisum luna buat lapor polisi
2024-02-28
0
neng ade
O jadi si Mawar yg udh memotret Luna dan Biru.. lalu kapan Lin mau lapor kan perbuatan mawar dan ibu mertua mu itu.. padahal waktu itu bisa langsung dibuatkan visum utk bukti .. klo ga mau laporin dan takut
jngn sesumbar sm si Adam .. harus nya gerak cepat .. ngaku sakit hati nyesek sm perlakuan mereka tapi km nya lebay ..
2023-09-11
1
Nurlina Tahir
ai jdi males baca terlalu bertele tele. bosan. cRi cerita yg bagus ah. pindah lapak.
2023-05-25
4