Aku berpikir bagaimana caranya kabur dari tempat ini, kehamilan Mawar membuatku semakin kesulitan. Entah mengapa wanita itu selalu saja dekat-dekat denganku, sudah berulang kali aku mencoba untuk pergi tetap saja ketahuan, tapi walaupun begitu aku tidak kapok.
Hari ini mereka pergi untuk pemeriksaan kandungan Mawar, sedangkan mas Adam berada di kantornya. Aku punya stau kesempatan kabur dari sini, perlahan melihat punggung mereka yang menghilang dari pandangan.
"Syukurlah mereka sudah pergi." Aku bersemangat sekali, tiap kali merencanakan kabur selalu gagal dan aku berharap kali ini berhasil lolos.
Ku kemasi setengah pakaian ku seperlunya dan pakaian Kanaya, semua keperluan lainnya.
"Jangan bilang kamu mau kabur."
Kedua mataku terbelalak kaget, suara yang sangat aku kenali itu berhasil mengguncang tubuhku beberapa detik. Aku diam mematung, mengapa takdir selalu melawanku dan membuatku terjebak dengan orang-orang yang mengkhianati ku.
"I … Ibu?"
"Mau kabur lagi?"
Aku menghela nafas berat, lagi dan lagi ketahuan oleh ibu mertua juga Mawar di sebelahnya. Padahal aku sudah memperhitungkan segalanya, tetap saja rencana melarikan diri gagal total.
"Pastinya Bu, coba lihat barang bawaannya." Sambung Mawar menaburkan bumbu penyebab pertengkaran.
"Tidak aku sangka kamu licik juga ya, Lun. Pergi diam-diam begitu, pasti kamu bawa harta anak saya dan sejumlah uang." Ibu menatapku tajam dan penuh menyelidik, merampas koler yang ku pegang dan mengobrak-abrik hingga semua pakaian yang tersusun di dalamnya sudah keluar.
Mereka mengira kalau aku mencuri sesuatu berharga saat kabur, tidak mendapatinya di koper malah membuatku semakin tertekan.
"Bagaimana? Ibu sudah menemukannya?" tekanku tersenyum paksa, dan segera memungut pakaian yang berserakan di lantai. Jujur saja aku sangat marah di tuduh sebagai pencuri, apalagi isi koperku di bongkar oleh ibu atas hasutan Mawar.
"Tidak ada di koper, pasti di tas bayimu."
Kini giliran Mawar yang merampas tas yang berisi keperluan Kanaya, sama seperti yang di lakukan oleh ibu mertuaku mengeluarkan isi dari dalam tas dan berserakan di lantai.
Bisa saja aku melawan ketidakadilan itu, tapi aku menggendong anakku dan tidak ingin membahayakannya.
Ibu dan Mawar melirik satu sama lain, mereka berkomunikasi lewat lirikan mata.
"Sudah menemukan apa yang kalian cari? Masih curiga?" Aku menggelengkan kepala dengan kelakuan mereka yang membuatku hampir meledakkan kekesalan juga emosi.
"Nah, itu apa. Cepat lepaskan cincin nikahmu," Mawar menunjuk cincin emas yang terselip di jari manis milikku, matanya langsung berbinar dengan kilauannya.
Kedua bibirku berkedut mendengar permintaan aneh dari ibu mertua, bagaimana mungkin aku menyerahkan harta satu-satunya yang aku miliki sekaligus bekalku untuk kabur dari sini.
"Ini kan punya aku Bu." Sudah pasti aku mempertahankan hakku, namun mereka tetap bersikeras ingin aku melepaskan satu-satunya harta yang aku punya.
"Itu pemberian Adam, jadi kmau harus melepaskannya!"
Perintah tegas nan menekan ku, Mawar dan ibu bersikeras untuk merampas cincin emas.
"Cepat lepaskan cincin itu, cincin emas tidak cocok di tanganmu melainkan di tanganku." Mawar begitu mengincar benda kecil yang terselip di jari manisku, kejam juga ada batasnya.
Aku memberontak dan terlepas dari dua orang serakah. "Tidak akan aku biarkan kalian merebutnya dariku!" kecamku yang mengklaim sebagai pemilik cincin emas.
"Ya sudah kalau Mba tidak mau."
Senyuman licik yang di perlihatkan Mawar membuatku bersikap waspada, pasalnya aku merasa ada hal yang lebih buruk terjadi. Ya, mereka bekerja sama merampas cincin emasku dengan membahayakan Kanaya.
"Kalian mau cincin nya kan? Lepaskan Kanaya!" pekikku yang tidak bisa membahayakan nyawa anak sekaligus harta yang sangat berharga.
Air mataku mengalir deras di pipi, tidak aku sangka hal buruk itu adalah Mawar yang merampas Kanaya dariku. Aku melirik ibu mertua sekilas seraya memohon menyatukan kedua tangan, tapi aku kembali menelan pil pahit kalau nenek dari anakku malah mendukung perbuatan Mawar yang sudah kelewat batas.
Tidak ada cara lain, aku melepaskan cincin pernikahanku dan memberikannya pada mereka. Berusaha untuk merebut Kanaya tapi tidak bisa karena aku merasa sesuatu yang sangat berat menghantam punggung.
Aku berteriak kesakitan dan menoleh, ternyata ibu pelakunya memukulku menggunakan vas bunga hingga akhirnya aku kehilangan kesadaran dan pingsan.
"Apa yang Ibu lakukan?" bentak Mawar yang sangat khawatir kalau perbuatan ibu mertuanya bisa melayangkan nyawa.
"Dia itu terlalu berisik, jadi ibu memukulnya. Tidak kuat kok, kamu tidak perlu cemas sebab dia cuma pingsan."
"Bagaimana dengan bayi ini?" Kesal Mawar yang menggendong Kanaya, suara lengkingan tangisan memenuhi ruangan membuat keduanya sangat tidak nyaman.
"Kamu urus Kanaya."
"Ibu mau kemana?" pekik Mawar memanggil ibu mertuanya yang keluar dari rumah dengan terburu-buru, kesal dirinya di jadikan sasaran. "Dasar wanita reot, sebisanya ibu melimpahkan semua betah padaku."
Mawar semakin kesal karena Kanaya tidak mau diam, menangis memenuhi ruangan membuat kepalanya sakit. "Kamu bisa diam tidak?" pekiknya sambil mengguncang tubuh bayi yang tidak tahu apapun. Dia semakin kesal dan mencubitnya, menjewer, dan memukul berharap tangisan bayi berhenti.
Kanaya semakin menangis dan cukup lama, sekilas dia melirik wajah bayi yang menangis itu di dalam gendongannya dan meletakkannya di atas sofa sedikit kasar tanpa rasa bersalah sedikitpun, berlalu pergi tanpa punya hati layaknya iblis betina.
"Ck, daripada aku pusing mendingan aku pergi berbelanja dengan uang dari hasil cincin ini." Gumam Mawar tersenyum bangga mendapatkan cincin emas itu memikirkan apa saja yang akan dibeli nanti.
Aku membuka kedua mata, punggungku sangat sakit dan mencoba untuk mengingat kembali. Air mataku menetes dengan sendirinya, menguatkan diriku agar tetap bertahan dari penyiksaan itu. Aku berdiri dan langsung menggendong Kanaya yang menangis keras, berusaha untuk menenangkannya dengan cara menimang.
"Cup … Cup, ibu di sini Sayang jangan menangis Nak." Bujukku cemas. Rasa khawatir menyelimuti pikiranku, apalagi Kanaya yang tiba-tiba saja diam semakin membuat suasana begitu buruk. Sebagai seorang ibu aku sangat takut kehilangan harta satu-satunya paling berharga yang ada di dalam hidupku kembali memeriksa keadaan putriku.
Aku terbelalak tak kuasa melihat kondisi bayiku, entah sejak kapan menangis dan mulai menyalahkan diriku sendiri sebagai ibu yang tidak bertanggung jawab. Aku mengusap pelan pipi Kanaya, takut mengapa tiba-tiba dia diam. Aku dekatkan telinga ke arah jantung dan merasakan pergerakan suara pergerakan jantung yang melemah.
Aku tidak ingin kehilangan anakku berlari keluar dari rumah dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
"Bagaimana keadaan Kanaya?"
"terlambat sedikit saja maka nyawanya dalam bahaya, dan saya melihat ada beberapa bekas cubitan di bagian pangkal kaki, pangkal lengan, perut, dan punggung."
"Apa Dok?" Aku mengharapkan kening dengan semua pernyataan yang disampaikan dokter, kedua mataku terbelalak yang sangat diyakini kalau itu perbuatan dari ibu atau Mawar.
Aku sangat marah kepada mereka hampir saja membuat nyawa putriku melayang, kesabaranku telah habis menghadapi mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Soraya
luna terlalu bodoh
2024-02-28
0
neng ade
Luna selalu menggendong Kanaya tanpa gendongan itu sangat memudahkan mereka merebut nya .. udh ibu mertua memukul mu sampai pingsan.. si Mawar pun menganiaya Kanaya .. klo udh begitu di laporkan
aja ke polisi .. itu bisa utk keperluan bukti dr hasil visum nya
2023-09-11
1
adie_izzati
mc ny kok bodo amat...harusny belajar dr kejadian lalu...kromsom semua tahu tp basic pertahankn anak nga bisa...kn boleh ikat anak di badan dgn kain supaya nga terlepas..
2023-08-13
0