"Ini minumlah!"
Aku menatap mata mas Biru yang beberapa saat saling bertemu, meraih gelas yang berisi air mineral dan meneguknya habis. Tubuhku bergetar masih membayangkan kegilaan dari suamiku, mas Adam. Segera aku letakkan Kanaya di sebelahku, takut kalau aku sampai menjatuhkan tubuh kecil itu.
"Sekarang kamu aman."
"Ya, sekarang aku sudah aman tapi tidak akan bertahan lama." Gumamku yang berusaha mengendalikan getaran di tubuh.
"Aku akan membantumu."
Sontak saja aku menatap mas Biru yang begitu baik mau menolong orang asing seperti ku, apa pahlawan masih ada di dunia nyata? Aku sempat berpikir bagaimana pria itu mau bersusah payah untuk menolongku, pasalnya dia hanya orang asing.
"Tidak perlu Mas, aku bisa menanganinya sendiri." Aku pun tidak yakin dengan keputusanku yang berjuang sendiri untuk melawan ketidakadilan itu.
"Tidak perlu sungkan, aku membantumu murni karena anakmu itu."
Benarkah hanya karena anakku? Ahh, mengapa aku tiba-tiba mulai mencurigai si pahlawan. Apa aku ini terlalu bodoh sampai tidak mengetahui apapun, bagaikan orang yang linglung.
"Tapi aku merasa sungkan, Mas sudah banyak membantuku." Aku menyatukan kedua tangan memohon padanya agar tidak ikut campur lagi dalam urusanku, aku tak ingin kalau sampai mas Adam salah paham lagi dan memanfaatkan situasi lemahku. "Aku bisa mengatasi masalahku. Tolong jangan tersinggung, Mas pasti mengerti dengan ini, aku tidak mau mas Adam memanfaatkan suasana dan merebut Kanaya dariku. Hanya dia yang aku punya, satu-satunya alasanku untuk hidup." Tak terasa air mataku menetes membuat pria berperawakan tampan itu tampak berpikir.
"Baiklah, kalau kamu membutuhkan bantuanku segera beritahu aku."
"Tentu Mas." Aku tersenyum beberapa detik kemudian kembali menggendong Kanaya, aku menatap kedua mata mungil itu dalam. "Sayang, kita harus berjuang bersama."
Melihat Kanaya kembali teringat akan nasibku dahulu, dimana aku tidak memiliki keluarga karena sedari kecil sudah di tinggalkan. Aku bahkan tidak tahu wajah kedua orang tuaku, yang jelas mereka tidak menginginkan ku. "Ya Tuhan … mengapa nasib putriku sama denganku?" batinku yang sangat sedih.
Aku kembali berpikir, Bagaimana cara mendapatkan uang karena saat ini aku tidak memegang uang sepeserpun. Walau dia mencari pekerjaan juga tidak bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah saat itu juga.
"Aku harus bisa bertahan hidup demi Kanaya." Ucapku di dalam hati. "Terima kasih sudah menolongku Mas, sebaiknya aku pergi."
"Loh, kok kamu mau pergi? Memangnya sudah ada punya tujuan?"
Aku mengangguk, tapi sebenarnya tidak yakin. Asal pria itu tidak banyak ikut campur dalam urusanku yang bisa saja berakibat fatal nantinya. Apa salahnya aku mengurangi resiko itu sendiri?
"Sudah Mas."
"Hem, kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku bisa apa."
"Terima kasih Mas, sudah mau mengerti posisiku."
Aku membawa Kanaya pergi dari sana secepat mungkin, berjalan kemana kaki melangkah membawaku.
Andai saja aku mempunyai uang saat ini, maka tidak sulit untukku ke depannya. Mereka sangat tega dan kejam padaku, kondisi ku yang belum terlalu pulih memaksaku untuk mencari uang bertahan hidup.
Aku melirik Kanaya yang tertidur di dalam gendonganku, aku menangis membawa bayiku.
Satu jam aku berjalan tanpa arah dan memutuskan untuk duduk menghilangkan rasa lelah, bibirku yang kering dan perut yang terasa melilit membuatku sangat pusing. Ya Tuhan, berikan aku umur yang panjang agar bisa merawat putriku. Aku tidak ingin dia seorang diri di dunia yang sangat keras ini.
Kebetulan aku melihat seseorang membuang sesuatu ke dalam tong sampah, aku berjalan menuju kesana setelah tidak ada orang. Aku mengorek tong sampah dan menemukan banyaknya barang rongsokan, seketika aku melebarkan senyuman seperti menemukan benda yang sangat berharga. Aku bersemangat mengumpulkan barang rongsokan yang bisa di jual dan menghasilkan uang, setidaknya hari ini aku bisa membeli makanan.
"Wah Kanaya, hari ini Ibu dapat banyak barang rongsokan." Aku tersenyum melihat wajah anakku yang pulas tertidur, sebenarnya aku tidak tega pada bayiku.
Aku berjalan sambil menenteng rongsokan di dalam plastik hitam, terus mencari harta dari tong sampah ke tong tong sampah lain, kemudian menjualnya pada si pengepul.
"Semua barang ini aku hargai lima belas ribu." Si pengepul memberikan dua lembar uang yang semua totalnya berjumlah lima belas ribu. Uang yang tidak banyak tapi aku sangat senang, setidaknya hari ini aku bisa makan dan memberikan ASI terbaik untuk Kanaya.
Hari yang mulai gelap dan mendung, aku buru-buru mencari tempat teduh. Beruntung kami tidak kehujanan, aku semakin memeluk Kanaya karena memang cuacanya sangat sejuk sampai menusuk tulang.
Nasibku sekali lagi mempermainkanku, tapi aku tidak ingin mengeluh dan belajar mandiri.
Perasaanku sangat tidak tenang saat dua orang pria yang sedari tadi menatapku, ingin rasanya aku pergi dari sana tapi butiran hujan turun dengan sangat derasnya.
"Sendirian aja Neng." Sapa pria itu yang tersenyum mesum padaku, sementara pria di sebelahnya berusaha untuk mencolekku.
"Jangan sentuh saya!" tegas ku tapi mereka malah tertawa dan semakin berani mencolekku.
"Jangan galak-galak Neng. Di sini hujan, ikut kami yuk!"
"Tidak, lepaskan saya."
Bugh
Aku sangat terkejut kedua pria itu terjerembab, segera ku alihkan pandangan ke belakang yang ternyata mas Biru. Tunggu dulu, mengapa pria itu berada di sini? Apa dia mengikutiku?
"Pergi atau kalian ingin aku habisi." Ucap Biru menatap kedua pria itu dengan tatapan membunuh, melihat kepergian mereka segera dia menatap Luna dan tak lupa mengubah tatapannya dengan sangat cepat.
"Kamu tidak apa-apa, Luna?"
"Aku tidak apa-apa, terima kasih Mas."
"Sama-sama."
Aku menatap pria itu aneh sekaligus heran, mengapa dia menjadi penyelamatku saat aku membutuhkan bantuan. Mas Biru sepertinya mengerti arti dari tatapanku yang membuatnya tersenyum padaku.
"Jangan salah paham dulu, kebetulan aku lewat sini dan melihat kedua pria itu mengganggu seorang wanita."
Aku mengangguk tak yakin.
"Motor ku terparkir di sana, aku juga sedang berteduh." Tunjuk mas Biru membuatku menganggukkan kepala.
Aku terdiam sambil menunggu hujan reda, hanya mas Biru yang bersemangat mengajakku mengobrol tapi aku membalas hanya sesekali saja.
"Ikut bersama ku, kasihan anakmu."
"Tidak Mas," tolakku sungkan menerima bantuan, bukan karena aku tidak memikirkan Kanaya tapi aku melakukan semua ini untuk tidak memberikan kesempatan mas Adam merebut harta ku yang amat berharga.
"Kasihan Kanaya, cuaca di luar tidak baik untuknya."
Aku tersentak kaget saat tanganku di tarik oleh mas Biru, membawaku untuk naik ke atas motornya. Aku berpikir kalau ini tidak benar, tapi juga tidak berdaya karena anakku masih sangat kecil.
Hujan yang sudah reda itu meninggalkan hawa yang sangat sejuk, bahkan aku menggigil karena. Aku melihat punggung mas Biru, dan posisi kami sangatlah dekat sampai-sampai aku bisa mencium aroma parfumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Tati Suwarsih Prabowi
ya Allah...hamba tahu pergi tanpa ijn suami berdosa,tapi dia dzolim pd kami...ampuni hamba
2023-05-22
2
atly serita
Kanaya perempuan munafik sok kuat,udh ada yg mau nolong juga ga tau diri bgt ..
biarin ga usah di tolongin biar di perkosa sm.preman sebel lihat keras kepala juga sombong miskin aj sok
2023-04-25
1