Ibu yang tersulut emosi lantas berdiri dari duduknya, aku pun mengikutinya. Tatapan memelas aku tunjukkan agar mendapat rasa simpati, berjuang demi keutuhan rumah tanggaku. Tidakkah ibu bisa mengerti mengapa aku melakukan ini? Bukankah seorang wanita lebih memahami wanita lain yang merasa dirinya terancam. Aku terus berpikir apa yang menyebabkan ibu mertua keukeuh membiarkan Mawar berada di rumahku.
"Ibu tidak perlu khawatir, aku bisa mengurus keluargaku. Maaf, kali ini aku menentang keputusan ibu dan akan segera memecat Mawar dari pekerjaannya." Kecamku tegas, walau bagaimanapun tidak mengurangi fakta kalau pembantunya lebih muda darinya.
"Kamu tidak bisa menghargai Ibu sedikit saja." Hardik ibu yang menatapku intens.
"Aku menghargai niat baik Ibu, tapi hargailah keputusan ku juga."
"Jangan egois, Ibu tahu bagaimana kamu kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah juga mengurus suami mu. Kehadiran Mawar justru meringankan bebanmu."
"Beban yang mana Bu?" ucapku yang mulai membantah perkataan ibu mertua, sangat berdosa aku melakukan itu, tapi aku tidak berdaya sama sekali. "Dia menggoda mas Adam."
"Alah, itu hanya perasaan kamu saja." Tolak ibu mertua yang masih tidak mendengarkan penjelasanku.
"Ibu mengkhawatirkan aku karena masa nifasku belum selesai, aku akan mencari pembantu lain tapi tidak dengan Mawar."
Kami terus saja berselisih hingga tidak menyadari kedatangan seseorang dapat menghentikannya.
"Ada apa dengan Mawar?"
Sontak kami menoleh saat mendengar suara berat, aku tersentak melihat kedatangan mas Adam yang tiba-tiba saja pulang.
"Mas Adam?"
"Untung kamu pulang, ajarin tuh si Luna." Ketus Ibu melirik ku dengan sinis, tentu saja itu akan terjadi kalau aku berdebat dengannya.
"Luna." Panggil mas Adam juga melemparkan tatapan menusuk. "Apa yang kamu katakan sampai lebih ibu marah?"
"Aku mengatakan untuk memecat Mawar dari pekerjaannya."
"Gak bisa begitu, Ibu sudah bersusah payah mencari pembantu tapi dia dengan seenaknya memecat Mawar. Itu namanya egois dan bermulut besar," sela ibu mertua marah padaku.
"Mas." Kau berjalan menghampiri suamiku memeluk lengannya, wajah lelah bekerja terlihat jelas.
"Sudah ya, aku capek."
"Tunggu dulu, ini kan belum waktunya pulang. Ada apa?" tanya ibu pada suamiku.
Aku kembali mengamati wajah mas Adam yang terlihat sedikit pucat, mengecek suhu tubuhnya dan memang benar kalau suamiku itu deman. "Ya ampun Mas, kamu demam."
"Tuh kan, apa yang Ibu bilang. Mengurus suami aja gak bisa, sok-sokan mau mengerjakan semuanya."
Sakit hatiku mendengar perkataan tajam nan menusuk, kali pertama mendengar omelan ibu. Tanpa menunggu waktu, aku membopong tubuh mas Adam ke kamar, membaringkannya dan merawatnya sampai sembuh. Disaat aku sibuk mengurus Mas Adam tiba-tiba Kanaya menangis dan aku segera menggendong bayiku itu dan menenangkannya, pandangan itu terlihat jelas di hadapan mata ibu mertua yang semakin melirik ku sinis juga mencibirku.
"Sekarang kamu melihat kan, kalau ucapan ibu itu benar. Kamu terus saja fokus pada anakmu dan menelantarkan suamimu sendiri, niat baik ibu untuk membawa memberikan pembantu tidaklah salah tapi hanya pikiranmu saja yang dangkal dan tidak tahu apapun."
Aku menganggukkan kepala menahan isak tangis hampir pecah. "Tapi aku yakin bisa melakukan semuanya sendiri, memang niat Ibu itu sangat bagus tapi aku tidak bisa menerima. Ada pepatah yang mengatakan kalau ipar itu adalah maut, padahal itu termasuk keluarganya sendiri. Bagaimana kalau orang lain melakukan hal yang sama.
Aku kehabisan kata-kata melawan ibu mertuaku, seperti tidak ada habisnya mencibir juga meremehkan kemampuanku.
Ibu keluar dari kamar, setelah memberikan ASI pada Kanaya. Aku menghela nafas dan mengeluarkannya perlahan-lahan, sikap ibu yang membela Mawar membuat rasa penasaranku semakin besar.
Ibu memutuskan pulang karena terlanjur kesal dengan permintaanku yang tidak bisa dia kabulkan, aku meminta maaf atas ucapanku padanya sekiranya menyinggung perasaan.
"Pembicaraan ini cukup berhenti sampai di sini, tidak ada lagi yang boleh membicarakannya."
"Baik Bu."
Aku melihat kepergian ibu mertua yang telah menjauh, segera aku menutup pintu namun beberapa langkah mendengar suara ketukan pintu, rasa penasaranku itu kembali dan membuka pintu melihat seorang wanita membawa beberapa kantong kresek hitam yang berisi daftar belanjaan yang harus dibeli.
"Ini semua pesanan Mba." Mawar memberikan belanjaannya.
Beberapa saat kemudian, aku yang sangat sibuk memasukkan bahan-bahan keperluan memasak ke dalam kulkas agar bertahan lebih lama. Aku selingkuhan mencari keberadaan dari pembantuku itu yang tidak terlihat.
"Eh, mana mawar?" gumamku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat aku berjalan mencari di setiap sudut rumah, hingga menemukan wanita itu berada di dalam kamar pribadiku. Tunggu dulu? Mengapa dia ada di kamarku, tempat di privasi milikku dan suami.
Aku tidak bisa menghilangkan rasa terkejut saat melihat Mawar mengecup kening Mas Adam, hatiku sangat sakit melihat kelakuan dari wanita itu mencari kesempatan di saat suamiku tidak sadar. "Apa yang kamu lakukan?"
Mawar terkejut mendengar suaraku, seketika itu pula dia menyingkirkan tangannya yang menggenggam tangan mas Adam. Aku berjalan dan menatapnya tajam, begitu berani menggoda suamiku saat aku tidak ada di sana.
"Berani sekali kamu masuk ke kamar kami." Bukan rasa takut yang ditunjukkan oleh Mawar melainkan tersenyum tipis melihat kemarahanku. "Jawab aku! Apa yang kamu lakukan di kamarku? Aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri baru saja kamu mengecup keningnya."
"Apa Mba cemburu?" cetus mawar seraya melipat kedua tangannya ke depan dada, tidak semudah itu mendapatkan keinginan.
"Jangan bersikap kurang ajar, seharusnya kamu mengerti."
"Sudah cukup, aku capek menjadi pembantumu."
"Baguslah kalau kamu saat ini mengeluh, dengan begitu aku lebih mudah untuk mengusirmu dari pekerjaan." Ancamku.
Mawar menatapku tidak suka. "Pecat saja, itupun kalau Mba bisa." Balasnya tertawa keras hingga membangunkan Kanaya yang sedang tertidur.
Aku sangat marah pada pembantuku itu yang sudah berani melawan, segera menghentikan perdebatan itu dan berlari untuk menggendong Kanaya yang terus saja menangis.
"Cup … cup … cup," ucapku dan menimang Kanaya.
Aku kembali berpikir mengapa Mawar tidak memiliki rasa takut sedikitpun, dan bahkan tidak takut aku mengancamnya. Apa karena dia dilindungi oleh ibu mertuaku hingga membuatnya besar kepala? Mengapa ibu mertuaku tiba-tiba berubah dan menjadi tidak adil membiarkan wanita lain masuk ke dalam rumah rumah.
"Ini baru awalnya saja, sudah lama aku menantikannya. Kamu akan melihat bagaimana aku dan juga sifat asliku, berharap agar kau diceraikan oleh Mas Adam." Mawar tersenyum penuh kemenangan.
Tinggal tujuh hari masa nifas ku akan selesai, aku pernah dibuat kelimpungan oleh mawar yang mulai berbuat sesukanya. Bahkan dengan terang-terangan memakai gaun tipis untuk menggoda Mas Adam, sudah berulang kali aku katakan kepada ibu untuk memecatnya tapi ibu mertuaku selalu saja mengancam dan memanfaatkan kelemahanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
sdh tau deh belang nya mawar
2023-05-12
2
Ayu Ayuningtiyas
perasaan aku dulu yo punya anak kecil dan anak bayi ,suami juga bekerja dan jauh dari org tua dan saudara . tapi yo bisa ngurus semuanya ,yg penting ada kerjasama dgn suami ngurus rumah dan pinter"nya kita ngurus suami biarpun masih masa nifas. 🤭
2023-04-16
2