Aku terus menggedor-gedor pintu berharap pintu itu terbuka, aku mulai menyadari kesalahan karena telah mengabaikan Kanaya. Suara tangisan anakku mulai terdengar samar, dan aku semakin takut kalau mereka membawa anakku.
Tidak. Aku tidak bisa seperti ini, baby blues yang menyerangku hampir saja menguasai diriku. Aku hampir gila dengan penghianatan dari suami dan juga pembantuku, tapi aku sadar cintaku lebih besar pada putriku, Kanaya. Aku berjalan menuju cermin dan melihat kondisiku yang sangat mengenaskan, rambut acak-acakan dan wajah sembab membuatku tidak bisa mengenali wajahku sendiri.
Aku mengepal ke dua tangan, dan mulai bangkit berjuang demi anak yang telah mereka ambil dariku. Aku berlari menuju jendela dan tersenyum melihat peluang untuk kabur, kesempatan emas karena mas Adam lupa kalau jendela di kamar tidak ada tralis penghalang.
"Mengapa tidak aku pikirkan dari tadi? Sia-sia aku menggedor pintu." Aku tersenyum tipis merutuki kebodohan ku, segera keluar lewat jendela dan berlari meminta bantuan tetangga yang kebetulan jaraknya sedikit jauh.
Aku berlari tanpa alas kaki membuat kaki ku terluka, namun rasa sakit itu tidak seberapa. Aku mempercepat langkahku untuk meminta pertolongan dari beberapa warga, tujuanku hanya satu menginginkan Kanaya kembali padaku.
Sementara di tempat lain, Adam dan dua wanita lainnya kelimpungan mencari keberadaan Luna yang berhasil kabur lewat jendela.
"Luna kabur, gimana ini Dam?"
"Ini semua salah Ibu, mengapa masih ingin membuatnya menderita? Apa Ibu gak sadar kalau Luna sendirilah yang berjuang demi Kanaya, tapi Ibu malah menyuruhku merampasnya."
"Sudahlah, kamu tidak akan mengerti."
"Cukup Bu, jangan sakiti Luna istriku. Aku sangat mencintainya," bujuk Adam berusaha agar ibunya mau mengerti.
"Ingat Dam! Ibu yang melahirkanmu dan membesarkanmu, jangan jadi anak durhaka."
Adam sangat kesal dengan perkataan ibunya, sudah cukup dia menorehkan luka di hati istrinya dan tidak ingin memberikan goresan luka yang baru. "Aku ingat. Lantas bagaimana dengan istriku? Dia tanggung jawabku sekarang, dan ibu bahkan tega memisahkannya dari Kanaya."
"Dia bukan menantu pilihan ibu, apalagi dia melahirkan anak perempuan."
Adam menarik rambutnya kasar, berteriak melepaskan semua beban karena sang ibu selalu saja memberikan ulti dan setiap kali membangkang akan di cap sebagai anak durhaka.
"Mas, jangan memarahi ibu seperti itu." Ucap Mawar membela.
Adam menitipkan Kanaya pada ibunya dan kembali mencari keberadaan dari istri pertamanya, Luna. "Kamu dimana? Tolong maafkan aku," lirihnya seraya mencari keberadaan sang istri.
Luna menggedor pintu rumah tetangga untuk meminta pertolongan. "Siapapun, tolong bantu aku."
Seseorang membuka pintu setelah mendengar permintaan tolong, menghampiri dengan raut wajah yang kalut. Bagaimana tidak? Penampilan Luna sangat menyedihkan, kakinya yang terluka juga wajah sembab tak membuatnya berpikir dua kali.
"Apa yang saya bantu."
Kedua mataku berbinar cerah saat mendapatkan bantuan. "Aku … aku ingin anakku kembali." Desak ku menyatukan kedua tangan.
"Memang apa yang terjadi? Ceritakan dengan jelas."
Aku menjelaskan semuanya secara terperinci tanpa ada yang terlewatkan, mulai dari kedatangan Mawar hingga Kanaya yang di rebut dariku karena ibu mertua menginginkan bayi laki-laki.
"Mas Adam membawa anakku pergi, dia menahan Kanaya ku. Tolong bantu aku!"
"Baik. Kita ke sana, aku akan menghubungi beberapa orang untuk menyelesaikan masalah ini."
Aku kembali berlari menuju rumah tanpa aas kaki, pria yang ingin menolongku itu beberapa kali menawarkan agar kaki ku tidak terluka. Tapi aku tidak punya banyak waktu sebelum mereka benar-benar pergi, persetan dengan semua yang ada.
Bisa aku lihat wajah ibu dan Mawar yang tegang, hatiku yang terluka tidak peduli apa pun pendapat mereka padaku, yang jelas aku hanya ingin anakku Kanaya. Tanpa banyak berkata, langsung saja aku merampas anakku di gendongan ibu mertua dan menggendongnya penuh hati-hati, tatapan datar yang menyimpan luka menjadikan aku orang yang berbeda.
Aku menyusuri pandangan di dalam ruangan itu, tidak melihat keberadaan suamiku.
"Mengapa kamu membawa banyak orang? Apa kamu ingin mempermalukan kami?" tutur ibu mertua membuatku muak.
Aku bisa melihat dengan jelas wajah gugup dan gelisah dari mereka, sedangkan aku lebih tertarik menghujani bayiku dengan ciuman, meminta maaf karena sudah menelantarkan anakku sebentar.
"Bukan seperti itu. Menantu saya saja yang suka berlebihan, mengapa kalian percaya pada omongannya?" ibu mertua terus berkilah tidak mau mengatakan tindakannya itu, semakin membuatku marah.
"Apa ada buktinya kalau yang di tuduhkan Luna benar?" sekarang Mawar ikut andil berbicara, tentu saja menyelamatkan diri dari orang-orang yang datang bersamaku.
"Akulah yang menjadi bukti-bukti itu, melihat bagaimana kalian menindasku." Aku tersenyum miring melihat Mawar yang sudah berkeringat dingin, pasalnya banyak orang-orang yang akan mengecapnya buruk menghancurkan privasi yang sudah di jaga ketat olehnya.
"Kenapa banyak irang di rumah, Bu."
Akhirnya aku bisa mendengar suara itu, suara orang yang sangat aku cintai dan hormati. Namun rasa itu perlahan terkikis dan hanya tersisa rasa sakit hati memendam kemarahan juga kebencian.
"Luna? Kemana saja kamu."
Aku terkejut melihat reaksi mas Adam yang tiba-tiba saja memelukku erat di hadapan semua orang, mereka berpikir kalau masalah ini biasa terjadi antara suami dan istri. Pernyataan dan penjelasan yang di tuturkan oleh Mawar dan ibu semakin membuat mereka berpihak. Malahan aku sendiri yang sekarang tersudutkan, merasa kalau aku yang bersalah.
Aku melepaskan pelukan itu dan sangat erat memeluk Kanaya, aku takut kalau mereka menggunakan anakku lagi sebagai senjata.
"Oh, masalah keluarga toh. Kami pikir perkataan bu Luna itu benar kalau suaminya selingkuh."
"Ya gak mungkin, kalian kan tahu sendiri bagaimana perlakuan anakku pada menantuku. Luna melakukan itu pasti terkena baby blues dan membuat khayalan buruknya menjadi kenyataan."
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh pergi, mereka berbohong." Teriakku memanggil semua orang, hendak mengejar namun langkahku terhenti saat seseorang menahannya.
"Kamu membuat kami hampir malu." Ketus ibu mertua menatapku penuh amarah.
"Kalian semua sangat licik, biarkan Tuhan yang membalasnya dengan setimpal." Aku menangis sambil memeluk Kanaya, bertekad tidak akan melepaskan putriku itu walau sedetik saja.
Mawar tersenyum mencibirku sambil melirik Kanaya yang semakin aku pegang erat. "Kalau kamu memanggil orang-orang lagi, jangan salahkan aku mengambil anakmu itu." Ancamnya membuat nyaliku ciut, ku arahkan pandangan pada mas Adam berharap pria itu bersimpati demi anak yang tidak dia inginkan.
"Kemana cinta itu Mas?" lirihku.
"Aku mencintaimu tapi tidak berdaya."
"Dasar pecundang. Kalau tidak ada cinta di antara kita, sebaiknya kamu ceraikan aku."
Perkataan tegasku membuat mas Adam terkejut, mungkin dia tidak percaya kalau kalimat itu terucap di bibirku.
"Andai saja kamu katakan yang sebenarnya, aku pasti melepaskanmu. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang tidak sehat ini? Jika salah satunya mengundang kehancuran. Demi Allah, aku ikhlas untuk bercerai denganmu." Tegasku datar tanpa ekspresi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
neng ade
Luna jngn lemah .. km harus kuat dan tegar utk Kanaya.. karma pasti akan menghampiri mereka yg telah membuat mu menderita
2023-09-11
1
Hanipah Fitri
cerai yg terbaik daripada bikin sakit hati
2023-05-12
1
blecky
nah cerai sja dei pda berthn dgn lelaki yg g thuh pendirian.
2023-04-30
1