Plak
Aku sudah tidak tahan lagi, tanganku terasa gatal langsung menampar wajah mulus Mawar yang perlahan menggantikan posisiku. Menggoda mas Adam tepat di hadapan mataku sendiri membuat darahku mendidih, namun aku sangat heran mengapa suamiku itu hanya diam saja, bahkan tak berminat untuk menjelaskan yang sejujurnya.
Aku menatapnya tajam, ingin sekali mencabik-cabik tubuh Mawar penggoda yang sudah bertindak dan bersikap kurang ajar pada suamiku. Sudah cukup aku bersabar dengannya yang semakin menjadi-jadi, bahkan ibu mertua pun tidak pernah peduli dengan permintaanku dan selalu saja memanfaatkan kelemahanku.
Tak lupa aku menunjuk wajahnya yang murahan itu. "Jangan sekalipun kamu menyentuh suamiku," sarkas ku tak melepaskan tatapan padanya.
Sementara mas Adam sangat terkejut melihatku yang berani, tentu saja itu aku lakukan agar tidak ada orang yang semena-mena padaku. Kemarahan dari orang yang sabar sangatlah mengerikan, begitupun aku yang ingin sekali menghantam wajah si penggoda. Namun aku bukanlah wanita ceroboh, melakukan kekerasan atas tuduhan penganiayaan bisa membuatku masuk penjara, lalu siapa yang akan mengurus Kanaya? Bahkan suami aku pun tidak pernah memberikan kasih sayangnya.
Dengan sengaja Mawar menantang ku, mendorongku menggunakan bukit kembarnya seakan mengatakan kalau miliknya lebih besar dan juga kencang. "Tidak ada yang pernah menamparku."
"Baguslah, berarti aku orang yang sangat beruntung memberimu tamparan yang tidak seberapa itu. Anggap itu hadiah dariku untukmu," aku tersenyum saat melihat bekas merah di pipinya nan mulus, itu sebuah hukuman kecil yang tidak seberapa.
"Mas," Mawar menatap mas Adam dengan raut wajah sedih untuk mendapatakan simpati, memegang lengan suamiku dan merengek seperti anak kecil. "Jangan diam saja."
Dahiku berkerut tidak mengerti apa maksud Mawar mengatakan itu pada suamiku. "Ada apa sebenarnya ini, Mas?" sekarang aku mengajukan pertanyaan, sangat penasaran apa yang sudah aku lewati.
Aku melihat mas Adam tampak kusut, terdiam merenungi sesuatu yang tidak aku ketahui.
"Kalau Mas gak mau katakan sejujurnya, aku sendiri yang mengatakannya." Mawar terus mendesak Adam, kali ini kesabarannya juga habis mengingat pria itu hanya diam tanpa berniat menjelaskan kebenaran.
"Mawar itu istri kedua Adam." Jawab seseorang yang berdiri di pintu, mengetahui kalau kami sedang bersitegang.
Jlebb
Bagai di tusuk sembilah pisau tajam, hati terasa sakit dan membuatku terdiam seribu bahasa. Kebenaran yang di katakan ibu mertua seakan membunuhku perlahan, jadi pikiranku selama ini memang benar adanya. Tak terasa cairan bening mengalir dengan sendirinya, menjadi saksi karena mulutku terasa keluh.
Aku tidak bisa membayangkan kalau mas Adam telah menikah kembali, jadi inilah maksud ibu yang menolak untuk memecat Mawar.
Duniaku runtuh seketika, kepercayaanku hancur, hati yang terasa sakit membuatku memundurkan langkah. Aku bertumpu pada kursi, menggelengkan kepala berharap itu hanya mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi.
Aku merasa aktivitas semua orang terhenti seperti di pause, hanya aku sendiri di dalam ruangan itu. Hatiku berteriak melampiaskan rasa sakit, hingga aku sedikit merasa tenang.
"Sudah dengar kan? Aku istri kedua mas Adam, dan sekarang aku bukanlah pembantumu lagi." Ucap Mawar sombong, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Mas, kapan kamu menikahinya?" tanya Luna yang tidak mengerti.
Adam terdiam menundukkan kepala, ada rasa penyesalan di hati telah mengkhianati istri yang sangat dia cintai. Namun paksaan dari ibunya lah membuatnya setuju, biar bagaimanapun ibunya adalah yang paling dia sayangi.
"Sayang, aku … aku–."
"Kami menikah saat kau belum belum bisa memberikan keturunan untuk mas Adam, lebih tepatnya satu tahun yang lalu."
"Apa? Jadi selama ini kamu sudah mengkhianati aku, Mas." Bentakku melangkah ke arahnya, memukul dada bidang yang selalu memberikan pelukan hangat dengan sangat kuat. Aku menarik kerah leher suamiku sambil mendongakkan kepala, air mataku terus mengalir deras dan membuatnya sedikit membengkak. "Tega kamu mengkhianati aku, Mas. Jadi cinta yang selama ini kamu tunjukkan itu palsu? Apa artinya aku di dalam hatimu, Mas." Aku meraung dan berteriak melepaskan beban yang ada di hatiku, bahkan membangunkan Kanaya.
Aku membiarkan Kanaya menangis beberapa saat, pengkhianatan membuatku tuli dan juga buta. "Tidak bisa kamu bersabar sebentar saja, Mas? Siapa yang tidak ingin memiliki anak? Aku berdoa siang dan malam agar di titipkan janin ke dalam rahimku, dan kamu bahkan tahu bagaimana usahaku selama ini. Apa aku bisa mengendalikan keadaan?" ucapku panjang lebar.
"Aku sungguh mencintaimu, aku menikahi Mawar atas kehendak ibu yang ingin memiliki cucu."
"Kamu lucu, Mas. Menginginkan anak tapi Kanaya selalu saya kamu abaikan, tidak pernah mau membantuku mengurusnya dan bahkan melimpahkan semua kekesalan mu saat aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah." Aku menganggukkan kepala seraya menyeka air mata, rasa sakit di khianati benar-benar menghancurkan hidupku.
"Tidak perlu drama, laki-laki biasa punya istri lebih dari satu. Lagian kamu sih yang lama ngasih Ibu keturunan, Ibu pikir kalau kamu itu–." Ucapan ibu terputus, pandangannya yang sinis dan terus mencibirku.
"Mandul? Bahkan di luar sana menantikan anak pertama mereka lebih dari lima tahun." Aku paham mengapa mertuaku sangat marah mengetahui keputusanku untuk memecat Mawar. Perkataan tajam itu benar-benar mengiris hatiku, orang yang aku cintai dan hormati seperti ibu kandung sendiri diam-diam menusukku.
Ku tatap suamiku intens, perasaan bercampur aduk menjadi satu. Aku tahu hal ini akan terjadi setelah melihat bekas cupangan di leher mas Adam, tapi batinku belum siap sepenuhnya menerima kenyataan yang ada.
"Luna, maafkan aku."
"Maafmu tidak akan mengurangi rasa sakit di hatiku." Aku lelah …. aku capek dengan semua drama yang sangat kejam padaku, mengapa harus aku?
Suara tangisan Kanaya semakin menjadi-jadi, hingga aku tersadar dan berlari menggendongnya memberikan rasa nyaman. Aku menenangkan bayiku, mengumpati diri sendiri membiarkan anakku menangis.
Aku tatap bayi mungil di tanganku itu, melihat wajahnya yang mirip dengan mas Adam kembali mengingatkan aku mengenai pengkhianatan. Tidak ada tempat untuk mengadu, hanya bisa menelan pahitnya kehidupan seorang diri.
Aku menangis dan marah secara bergantian, kembali meletakkan Kayana ke atas temoat tidur dan membiarkannya menangis. Aku memundurkan langkah hingga berada di sudut ruangan, tubuhku terasa lemas dan tidak berdaya. Mendengar suara tangisan semakin menimbulkan gejolak kemarahan, menutup kedua telinga berharap tak mendengarkannya.
"Diam … hentikan tangisan itu," pekikku meringkuk seraya menutupi kedua telinga.
Aku terus berteriak di dalam kamar membuat mas Adam sangat khawatir dan mendobrak pintu sekuat tenaganya.
"Pergi … pergi kamu, jangan dekati aku. PERGI!" aku mengusir mas Adam yang memeluk tubuhku, tentu saja tubuhku kangsung menolaknya dan menendangnya agar menjauh.
Aku persis seperti orang gila, tertawa melihat mas Adam menggendong Kanaya. Namun tawaku terhenti saat dia membawa Kanaya keluar dari kamar dan mengurungku di dalam kamar.
"BERIKAN BAYIKU."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Sri Puryani
bercerailah kanaya plg lah ke panti lagi
2024-05-13
0
Hanipah Fitri
Adam yg tdk tegas
2023-05-12
2
Uneh Wee
bertahan hidup demi ank mu luna bercarai lah biar c adam dan ibu nyva merasakn apa yg kmu rasakn nanti .biar c kuntil yg dapat karma ny
2023-05-02
1