Aku mengunjungi suatu SMK yang dimaksud mama. SMK itu tidak jauh dari rumah. SMK yang berkhas cat ungu. Bangunan yang dibangun sejak tahun 1990 itu, calon sekolah yang akan kutempati. Aku masuk dalam gelombang 3, yang biayanya cukup bisa dibilang mahal. Gedung bercat ungu itu mempunyai nama : SMKS Walisongo Jakarta. Ada 3 jurusan di dalamnya; Akutansi, Teknik Jaringan, dan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran. Aku sendiri mengambil jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran. Gedung itu tidak luas-luas banget. Tapi, biar bagaimanapun aku harus berpendidikan. Jurusan yang kupilih tidak jauh berbeda dengan bakat dan hobiku. Otomatisasi Kantor lebih mendalami seni tulis. Entah, itu menulis surat rapat atau yang lainnya.
"Gapapa ya, A. Masuk Walisongo. Gapapa swasta." Ujar Mama.
"Gapapa. Yang penting sekolah. Daripada gak sekolah. Nanti, bakal jadi sampah masyarakat." Mendengar perkataanku yang begitu memahami, Mama tersenyum.
"Tapi nanti swasta. Uangnya dari mana? Kan, swasta pakai uang." Kataku dengan wajah nelangsa.
"Gak usah dipikirin. Soal uang nanti mama cari." Ya Rabb perkataan Mama sangat menusuk relung nurani. Seorang ibu sekaligus menjadi seorang ayah. Yang harus bekerja sebagai tisu keliling. Demi bisa menyekolahkan ketiga anaknya.
"Ma. Aku sekolah di mana, nih? SMP Negeri gak ada yang sangkut." Kata Afne yang sama denganku. Usia Afne terlalu muda untuk masuk SMP. Baru 12 tahun.
"Ya Allah. Gimana, dong? Masa gak ada yang nyangkut? Yaudah, terpaksa swasta." Keluh mama.
Zaman yang susah semakin susah. Yang kaya semakin kaya. Anak yang berumur tua menjadi kebanggaan bangsa. Anak yang berumur muda, justru sebaliknya. Entah, apa yang ada di kepala pemerintahan bangsa Indonesia. Memutar-mutar strategi. Apa mungkin yang berumur tua akan lebih unggul dari yang muda? Atau sebaliknya. Ini hanya permainan licik para tikus-tikus negara.
...***...
Pijar kuning pagi. Menusuk pelupuk dari balik jendela. Aku terbangun dari mimpi. Aku menginap semalaman di rumah nenek. Seharian aku tidak istirahat. Mengunjungi berbagai sekolah. Entah, itu SMK atau SMA. Dan, ikut mengunjungi sekolah SMP yang akan disinggahi Afne untuk menuntut ilmu. Aku tercenung. Mata tak berkedip. Masih memikirkan, betapa kasihan Mama. Aku dan Afne harus menuntut ilmu pendidikan berkualitas swasta. Aku berniat sholat sunnah duha. Untuk menutupi kegundahan yang sedang melanda hebat.
"Bismillah." Ucapku ketika beranjak dari duduk. Dan, menuju kamar mandi. Untuk mandi lalu berwudhu.
"Innalilahi wa innailaihi rajiun." ucap Mimi.
Aku yang sedang berdzikir sehabis duha. Sontak aku terkesiap.
"Siapa yang meninggal?" Tanyaku pada Mimi dengan paras kesedihan.
"Mba Umi." Jawab Mimi dengan air mata yang sedikit terjun di pipinya. Akupun sedikit menyesak mendengar kabar itu. Yang merenggut ajal itu, seorang wanita yang bisa dibilang sepuh, ia yang punya kontrakan yang sedang aku tempati saat ini. Baik hatinya, senang menolong, dan mudah tersenyum. Kenapa orang baik begitu cepat dipanggil lebih dulu? Dibanding orang dzolim, yang seakan dunia milik diri sendiri. Aku membatin.
"... yaa-siiin..." Lantunan surah Yasin kubaca di depan jasad Mba Umi. Bulu kuduk meremang. Merinding juga kalau harus berhadapan langsung dengan jasad yang sudah beda alam. Aku mengaji di hadapan sang Mayyit. Seorang diri. Yang lain sedang berkemas di luar rumah. Mempersiapkan untuk pemandian.
"Sudah, Dik?." Tanya seorang ibu yang sedang melayat. Aku menggeleng pelan. "Oh, yasudah. Kalau, sudah. Nanti kasih tau ya." Ucap ibu itu meninggalkan aku dan jasad mayyit. Aku menengadah tangan
"Allahumma innaa nas-aluka salaamatan fid diini wa 'afiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil 'ilmi wa barokatan fir rizqi wa taubatan qablal mauti wa rohmatan 'indal mauti wa maghfirotan ba'dal mauti, allahummaa hawwin 'alainaa fil sakaraatil mauti wannajaata minan naari wal 'afwa 'indal hisaabi, rabbanaa laa tuzigh quluubana ba'da idz hadaitanaa wahab lanaa mil ladunka rahma, innaka antal wahhaab, rabbanaa aatinaa fiddunnyaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar. Washalallahu ala sayyidina Muhammad wa shobihi wasallim walhamdulillahir rabbilalamin." Selesai sudah aku melantunkan surah Yasin dan doa untuk mayyit almarhumah Mbak Umi. Aku bergegas keluar rumah.
"Saya sudah selesai, Bu." Ucapku pada ibu tadi.
"Ya, sudah. Kamu keluar dulu. Saya mau mengurusi pemandian." Ibu itu masuk ke dalam rumah. Dan, meminta pertolongan kaum laki-laki. Untuk menggotong mayyit itu ke sebuah tempat pemandian.
"Makasih ya, A." Bang Apis menepuk pundakku, dengan mimik muka yang berduka atas meninggalnya ibunda tercinta.
"Sama-sama Bang Apis. Santai aja." Senyum tulusku terpancarkan.
...*...
"Udah selesai sholat jenazah?" Tanya Mama ketika aku memasuki rumah.
"Udah." Aku merebahkan badan yang terasa lelah dan gerah. Tersengat terik sang dewa siang.
"Kalo mau tidur, buka dulu baju kokohnya, peci, sama sarung." Tanpa banyak celoteh. Aku membuka baju kokoh, peci, dan sarung. Dan, kutaruh di lemariku. Aku telentangkan badan yang terasa lunglai di atas alas tidur. Memeluk erat-erat guling empuk. Mata perlahan sayu. Mengajakku untuk beristirahat panjang.
Gersang makin merajai suasana. Peluh berembun-embun di tangan, pelipis, dan menguyupi baju. Aku terbangun dari tidur pulas. Aku melihat seisi ruang. Ternyata Mama dan Afne tidak ada.
"Maaa... Maaa." Teriakku pada kesunyian. Melongok berbagai ruang. Dan, kulihat pintu. Ternyata, terkunci.
'Ma.'
'Mama di mana?'
'Afne juga gak ada.'
'Ma.'
"Ah. Elah. Pake off lagi." Kataku tidak pada siapa-siapa. Aku chat Mama, tidak ada balasan apapun. Ceklis satu. Kubiarkan saja, deh. Tidak jauh, pasti Mama ke rumah nenek. Menunggu Mama dan Afne pulang. Aku menyalakan TV untuk mengobati rasa kebosanan. Siang semakin merajalela ruang sumpek rumah.
"Ma. Aa main ke rumah Ma Beda ya." Sebelum main ke rumah Uwa. Aku biasa izin dulu ke Mama. Kucium punggung tangannya.
"Sama siapa?" Tanyanya setelah aku berlalu dari hadapannya. Aku kembali lagi
"Sama Keza. Dia nungguin depan."
"Lo nginep nanti?" Tanya Keza di tengah jalan.
"Ngineplah. Kan, gue udah lulus." Aku terkekeh.
"Enak banget lo. Gue belum kelulusan."
"Mampus hahaha." Kataku meninju pundak Keza.
"******, emang." Keza mengakak.
"Main apa kita?" Tanyaku.
"Main cewek kita." Keza mengakak.
"Sialan." Aku menimpali tawanya Keza.
"Yaudah di dalam kamar aja." "Gue bete di luar mulu." Aku menyusuri kamar tempat kami tidur biasa.
"Ah. Bilang aja lo mager." Lagi dan lagi Keza mengakak.
"Bacot banget lo."
Dung tak tak tak dung... Suara meja yang ditabuh Keza. "Hobahhh..." Kami berdendang riang.
"Aku tak mau bicara sebelum kau cerita semua"
"Apa maumu? Siapa dirinya?"
"Tak betah bila ada yang lain"
"Jangan hubungi ku lagi, ini bisa jadi yang terakhir"
"Aku ngerti kamu, kau tak ngerti aku"
"Sekarang atau tak selamanya" aku menyanyikan lagu band Wali yang berjudul : Yank. Keza bergoyang asik. Lihai sekali goyangan laki-laki ini. Batinku cekikikan.
"Berisik!" Hardik Kak Irna yang datang di ambang pintu masuk.
"Biarin. Kan, bebas. Ya, kan A?" Keza menaikkan alisnya.
"Yoi. Dong."
"Serah lo, dah pada."
"Hahahaha, gitu aja ngambek." Kata Keza meledek Kak Irna yang menjauh dari kami.
"Lanjut lagi, Za."
"Gaskuy."
Setelah capek bernyanyi-nyanyi mengisi hari sunyi. Kami; aku dan Keza. Membeli dua kantong es teajus di warung Bang Ucup. Dan, patungan membeli mie untuk memanjakan perut yang sudah minta diisi.
"Lo yang masak Za mienya."
"Sialan. Enak banget lo."
"Sekali-kali, lah." Aku terkekeh melihat raut kesal Keza.
"Yaudah. Ambil piringnya di rak piring."
Aku mengambil dua sendok dan piring plastik untuk menuangkan mie ke dalamnya. "Nih."
"Angkat tuh mienya. Udah mateng." Kataku melongok ke arah penggorengan berisi mie.
"Yaudah. Awas. Lo mau kena air panas?" Dengan perlahan Keza menyaring mie dan memasukinya ke dalam piring. Mie kami santap dengan kenikmatan. Di tambah nasi yang penuhnya sebakul.
"Lo abis nih Za?"
"Selaw aja. Gue yakin nih mie bakal abis. Kan, makan lo banyak."
"Dih. Makan gue dikit. Sialan." Aku mengelak
"Ah. Masa sih." Keza cekikikan dengan penuh mie di mulutnya.
Tak ada sisa mie di piring. Semua habis ludes termakan. Aku mengambil air minum di lemari es Keza. Tegukan demi tegukan. Rasanya menyurutkan serat makanan ke tenggorokan.
"Jangan di abisin."
"Santay aja, Za. Ya, elah."
"Hahaha. Bagi gue sini." Keza merebut botol yang ada pada genggamanku.
"Sialan. Gue belum selesai minum."
"Bagi gue dulu. Abis tuh lo minum lagi."
Botol minum yang ada di tangan Keza. Kini, berpindah lagi ke tanganku.
"Tutup lagi kulkasnya."
"Buset pake diingetin."
Keza berbahak-bahak. Entah, apa yang ia tertawakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments