"Dit. Tumben lo udah dateng aja." Kataku sambil menepuk pundaknya.
"Yoi, dong. Gue kan anak rajin." Seloroh Adit. Aku mendengarnya hanya terkekeh. Aku tahu, dia datang pagi karena tidak mau kena hukuman. Dan, juga setiap hari senin, harus upacara. Kami berdua, duduk di bangku panjang depan kelas. Hanif datang lalu jari telunjuknya, menunjuk ke arahku dan Adit. Dia datang dengan nyengir.
"Hanif, nyengir aje. Ntar kering tuh gigi." Candaku.
"Kenapa? Kan senyum itu ibadah." Jawabnya polos sekali. Iya, benar. Senyum itu ibadah. Tapi gak nyengir juga. Aku menepuk kening, merasa heran dengan jawabannya.
Di bawah lapangan, sudah ramai yang lain. Untuk siap-siap upacara bendera. Aku menunggu Adit yang sedang mencari topinya. Dia merogoh tasnya. Memastikan ada topi atau tidak di dalam situ. Ternyata, topi yang dia simpan. Ada di tas resleting bagian depan.
"Ayok, Anfa." Ajaknya untuk turun ke bawah. Di saat menuju ke lapangan. Tiba-tiba Hanif merangkulku. "Eh, Hanif. Kirain Adit." Kataku. Hanif hanya tersenyum.
"CEPAT. CEPAT. TURUN. BAPAK HITUNG DARI SEKARANG. 1, 2, 3..." Mendengar suara Bapak Sigit. Aku langsung berlari ke barisan. Di mana barisan kelas 9b. Nyaris saja, aku kena hukuman.
...*...
"Hufftt... Gerah cuy." Kataku sesudah upacara dan sambil mengipas-ngipas pakai topi sekolah.
"Eh. Lo bawa atlas?" Tanya Adit.
"Bawalah, gue jangan lo tanya."
"Iye dah iye." Kata Adit. "Hanif, bawa atlas dua kan?" Tanya Adit pada Hanif yang sedang melamun.
"Eh, iya nih." Hanif membuyarkan lamunannya.
"Pinjem dulu, ya."
"Siap. Pake aja dulu." Hanif mengacungkan jempol.
Aku selonjorkan sejenak kakiku di atas bangku. Pegel rasanya, lama berdiri di lapangan. Berkali-kali, mata ini menatap jam. Menunggu istirahat, yang masih begitu lama. Menunggu kedatangan Bu Wahyuningsih. Memang pelajaran pertama, pelajarannya. Pelajaran Ilmu pengetahuan sosial.
"Anfa. Nanti pulang bareng gak?" Kata Adit yang menyingkirkan kakiku di atas bangku.
"Ayok, aja."
"Assalamualaikum, anak-anak." Bu Wahyuningsih memasuki kelas.
"Walaikumsalam." Ucap seisi kelas.
"Pada bawa atlas kan?." Tanyanya, yang membuat geng badboy kepanikan. Siapa ia? Yaitu; Jidan, Fadhil, Salim, dan Zaki.
"Yang gak bawa atlas, silahkan maju ke depan!" "Siapa, yang gak bawa atlas?!"
"Saya, bu." Dengan pedenya Jidan mengangkat tangannya. Dan, disusul oleh Fadhil. Kali ini, memang hanya mereka berdua. Kulihat Salim dan Zaki membawa atlas.
"KENAPA ALASAN KALIAN GAK BAWA ATLAS!" Pekik Bu Wahyuningsih dan tangannya menggebrak meja. Jujur itu membuatku syok dan kaget. Mataku membelalak. Mereka berdua, hanya cenga-ngas cenge-nges.
"DITANYA JAWAB! JANGAN MALAH CENGA-NGAS CENGE-NGESAN MELULU!"
"Saya lupa, bu." ujar Jidan.
"Oh, lupa ya. Bagus, bagus. Niat lulus atau enggak?"
Jidan dan Fadhil hanya mengangguk pelan. "Anak-anak. Sudah berkali-kali ibu prihatin. Jangan main-main lagi. Kelulusan sudah di depan mata. Emang kalian mau pada gak lulus?"
"Enggak, bu." Jawabku dan teman kelas kecuali Jidan dan Fadhil yang berada di depan.
"Udah, deh. Kalian berdua sekarang maunya apa? Terserah aja, deh. Ibu udah capek." Bu Wahyuningsih sangat benci mengajar dan berbagi ilmu untuk anak-anak yang maunya hanya bercanda. Gak bisa kubayangkan. Begitu keras perjuangan guru tetapi seringkali anak muridnya bertingkah semaunya. Aku tidak pernah diajarkan Mama, untuk durhaka sama guru. Karena, kita mempunyai tiga orang tua, yaitu kedua orang tua kandung, guru, dan kelak mertua (orang tua dari pasangan).
"Hahaha. Goblok sih, lo. Pake gak bawa atlas segala." Celak tawa Salim dan Zaki setelah pelajaran Bu Wahyuningsih selesai. Menertawakan Jidan dan Fadhil. Aku juga ikut ketawa. Karena gak kuat menahan. Bukannya, malu. Justru Jidan malah bilang.
"Selaw, breee." Tingkahnya memang konyol. Tetapi menghibur. "Poker, poker." Kata Jidan. "Arya. Lo bawa poker, kan?"
"Bawalah. Udah rutinitas." Arya mengeluarkan kartu poker dalam tasnya. Kami mengumpul seperti biasa, di meja belakang. Yang tidak ikut bergabung, hanya Derry dan Hanif. Maklum, karena Hanif dan Derry tidak begitu suka dengan keberisikan kelas. Justru aku suka, karena itu yang bisa kubuat kenangan. Bahkan, akan kubuat buku novel untuk mengenangnya.
"Pasang, pasang."
"Siapa duluan yang jalan?"
"Gue duluan dah, pada lama lo semua." Jidan memasang kartu pertama. Dan Arya, Fadhil dan yang terakhir Zaki.
"Mampus, gue poker." Permainan pertama dikelarkan oleh Jidan.
"Ah, sialan. Kartu gue jelek banget." Muka Fadhil melas. Membuatku tidak nahan untuk menanahan ketawa.
"Hahaha. Goblok kalah." Jidan meledeknya. "Berarti lo yang ngocok, Dil." Sahut Arya.
"Woi, sini lo. Sialan!" Tiba-tiba saja Irfan menarik kerah bajuku. Dibawanya aku ke dalam kelasnya.
"Maksud lo apaan ngerebut Nazwa dari gue?!" "Mau ribut?"
Aku tidak gentar. Karena, bukan aku yang mendekati Nazwa, melainkan Nazwa yang mencari sensasi padaku. "Lebay, lo. Masalah cewek dikit-dikit berantem, ini sekolah bro. Bukan tempat para jagoan." Mendengar bantahanku. Tangan Irfan mengepal keras. Tentu saja. Tanganku juga mengepal. Tapi aku ingat, aku sekolah untuk membahagiakan Mama bukan untuk mencari masalah. "Tonjok dong, tonjok." Bryan teman kelasnya mengompor-ngompori. Memang begitu sikap Bryan. Sang provokator. Aku juga sudah lama tidak suka dengan sikapnya.
"Udah, Fan. Udah. Mau jadi jagoan lo?" Marvi memisahkan aku dan mendorong Irfan."Ayok, Anfa. Gue anter lo ke kelas." Ketika itu suasana koridor ramai. Bertentangan itu menjadi pertontonan. Memang aku benci, berantem soal cewek. Aku juga tidak ngebet untuk pacaran. Wanita itu aja yang selalu mengechatku. Aku duduk di bangku, untuk menenangkan emosi. Karena jujur, kalau bukan berjuang untuk seorang ibu. Mungkin, sudah kutonjok duluan orang seperti itu. Geram, sekali rasanya.
"Istighfar, Anfa." Kata Adit menenangkan.
"Astaghfirullah." Aku menghela napas dalam-dalam. Semenjak kejadian itu, aku sudah benci sama Nazwa. Sungguh, aku tidak suka padanya. Tetapi, dia seakan ngebet sekali. Sebenarnya, apasih yang dia inginkan dari diriku? Untuk fisik? Ya, aku tidak ada apa-apanya. Harta? Itu apalagi. Aku hanya keluarga sederhana. Paras? Tidak tampan. Berbagai pertanyaan itu, memutar di pikiranku.
Kringggg!...
Bunyi bel istirahat memecahkan keheningan. Untung saja, pas tadi Aku dan Irfan bertengkar. Tidak ada guru. Apalagi sampai Bapak Sigit mengetahuinya.
"Anfa. Biasa kita di kelas aja."
"Siap, Dit. Gue juga mager turun. Ntar kalo turun ketemu si onoh lagi noh." Aku menjulid. Adit hanya terkekeh mendengarnya.
"YTTA(Yang Tau Tau Aja) dah." Kata Adit.
Kutengok Adit, ternyata dia membawa bekal dengan lauk pauk jamur tiram dan tahu goreng. Segera, aku menghampiri tempat duduknya untuk meminta jamur tiram.
"Dit. Bagi ye jamurnye." Kataku mengambil jamur itu dengan sendok.
"Iya, Ambil aja."
Suasana kelas, hening. Hanya sayup terdengar suara bising dari bawah lapangan. Habis makan, Adit langsung main game. Sedangkan aku, aku melongok ke arah jendela. Melihat pemandangan pagi. Aku melamun, mataku tak kunjung kedip. Seakan nalar memikirkan hal-hal yang begitu berat. Aku bersenandika. Di depan sela-sela jendela. Aku juga menyobek tengahan buku. Untuk kutulis, apa yang mau kutulis. Dengan goresan tinta hitam. Aku menulis puisi, dan juga kutipan kata-kata. Di dalam tulisan itu. Tertulis rasa di mana aku pernah jatuh cinta. Tetapi, tidak berani untuk kubuka. Bisa dibilang; dipendam. Aku memang sering jatuh cinta. Tetapi, aku tidak suka dengan wanita seperti Nazwa. Terlalu tergesa-gesa. Aku juga tidak ingin saling terluka. Dan, aku juga tidak ingin cinta itu menghalangi impianku. Sinar matahari semakin mencolok terang-benderang. Silau, menatap binarnya. Ternyata, istirahat sebentar lagi akan berakhir.
Kringgggggg!!!…
Terdengar keras bel istirahat dari speaker sekolah. Di balkon sudah ramai anak-anak yang memasuki kelas.
"Lo berdua gak turun melulu." Kata Derry menggaruk keteknya.
"Ngape, sih. Emang gak boleh?" Ketusku pada Derry. Derry hanya nyengir ngeledek.
"Anfa. Gue minta maaf, ya. Karena gue, lo kena sasaran Irfan." Nazwa menghampiriku dan meeminta maaf. "Sebenarnya, gue beneran suka sama lo." Lanjutnya dengan menyatakan perasaannya padaku. Aku diam tidak menyahutnya. Tetapi sedikit mengangguk seakan mengiyakan. Tidak sekatapun aku keluarkan dari mulut. Karena aku enggan berbicara dengannya. Karenanya, aku dianggap PHO(Pengrusak Hubungan Orang). Gak perlu diambil pusing. Aku biarkan kejadian tadi. Aku berharap tidak akan terulang lagi. Itupun, hanya kesalahpahaman. Irfannya aja yang terlalu mengikuti emosi dan napsunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments