Chapter 17

Hubungan yang telah kujalani selama 5 bulan bersama Maulidiya. Kini, tandas begitu saja. Rasa takut kehilangan seketika menjadi kenyataan. Aku menghabiskan waktu untuk menulis. Entah, aku tak menyangka padanya. Ada tinjuan yang membuat hati seakan menyerah dalam percintaan. Sesak yang menghimpit dada untuk bernapas. Aku tahu, siapa kekasih barunya itu. Ternyata, teman hadroh semasa di sekolah menengah pertama. Itu memang sakit dan perih kurasa. Hanya secarik kertas dan tinta hitam, yang bisa membuat lega hati yang patah. Memaksakan diri untuk mengikhlaskan. Aku yakin hidup akan indah nantinya. Aku selalu termenung dalam catatan puisi. Suka, duka, luka, dan trauma. Terukir dalam catatan itu. Ditambah, aku lagi benar-benar patah hati. Seakan dunia tidak bermakna bagiku. Ingin rasanya, aku berpekik ke arah cakrawala untuk melampiaskan semua luka. Menghela napas yang seakan sulit untuk kutarik. Kepala digerogoti problematika. Biarlah, semua mengalir tenang seperti telaga. Batinku.

Aku berjanji pada diri sendiri. Setelah aku gagal dalam percintaan. Aku akan bangkit dari kesedihan.

"Ngapain gue mikirin hubungan yang udah gak pantas untuk diingat ya?" Aku bicara pada tabir yang tak bertepi. "Mending, gue bantu-bantu Mama dah." Kataku kembali. Hari ini aku libur sekolah. Lebih baik bantu kemas-kemas barang yang belum tertata rapih di dalam rumah. Dari membersihkan rak piring, lap mejaTV, ataupun hal-hal yang lainnya.

"Ma, nanti abis bantuin. Aa mau main biasa." Kataku pelan, agar tidak memperkeruh suasana, yang sedang capek-capeknya.

"Kemana?" Tanyanya singkat dengan keringat yang mengalir di pelipis.

"Ke rumah Ma Beda." Sebenarnya Mama sudah tahu, aku biasa main ke rumah Uwa. Tapi, lebih baiknya aku izin lagi padanya. Mama hanya mengangguk pelan.

"Yaudah. Nginep apa enggak di sana?" Tanyanya.

"Nginep, paling." Aku menghentikan sejenak pekerjaan itu. Dahaga merajai tenggorokan. Rasa sumpek menggundahkan perasaan. Barang ada di sana, ada di sini. Tapi, aku bangga sama Mama. Yang terus menata barang tanpa henti.

...*...

"Lo nginep sini, kan?" Tanya Keza tampak semringah wajahnya.

"Yoi. Bergadang kita." "Gas, beli kopi dulu." Aku menghampiri warung depan rumah Uwa. Kerap disebut Warung bang Ucup. "Bang Ucup, beli kopi 2." Kataku sembari mengasih sejumlah uang senilai 3 ribu. "Kopi susu, ya, bang Ucup." Kataku lagi, menunjuk kopi yang akan kuseduh nanti. Aku tidur berdua di kamar yang sederhana. Biarlah, yang penting ada sesungguhan secangkir kopi. Biar nanti mata tak cepat begitu sayu.

"Begadang sampe jam berapa, nih?" Tanya Keza yang wajahnya mulai tak sanggup menahan kantuk.

"Tembus pagi." Kataku sembari terkekeh. Aku seruput kopi dalam-dalam. Kunikmati kopi itu dengan penuh inspirasi. Apalagi, kalau ada sang senja. Kopi dan senja, temanku untuk berpuisi. Malam sunyi, senyap, dan rindu selalu menghantuiku. Tanpa sengaja, aku membuka hp untuk melihat room chat dengan Maulidiya. Seketika aku tertawa mengingatnya. Seketika juga, aku ingin menangis. Cepat sekali kisah ini berlalu. 'Aku rindu khawatirmu, aku rindu cemburumu, hanya sekilas percakapan ini yang bisa untuk kukenang.' batinku seakan terisak-isak.

"Lo kenapa sih? Daritadi ngelamun melulu." Aku terkesiap, tiba-tiba saja Kesa menepuk pundakku.

"Kagak, gue gapapa." "Lo gak nge-game?." Tanyaku untuk mengalihkan topik bicara.

"Gak. Sinyal lagi bego." Melihat kerutan dahinya karena kesal. Aku tertawa sembari meledeknya.

"Mampus. Lagian nge-game mulu." Aku kembali menyeruput secangkir kopi."Lo udah gak kuat? Ah, payah lo." Jurus usilku mulai kumat. "Apaan? Gue gak tidur." Kata Keza penuh dusta. Padahal, aku tahu betul. Kalau keza diserang kantuk yang teramat luar biasa. Baru setengah gelas, ia meminum kopi itu. Tak berselang lama. Aku terus kepikiran tentang Maulidiya. ''Aduh... Kenapa dirinya selalu berputar bagai gangsing di dalam logika?'' Aku ngoceh pada kesepian malam. Sosial media sudah tak berguna lagi bagiku. Selain tugas yang merajalela. Tugas, tugas, dan tugas. Kapan pandemi ini akan berakhir?

...***...

Aku berhenti menyusuri alam mimpi.

"Busett, dah. Baru bangun." Ucap Keza melihat aku baru tersadar dari tidur malam.

"Iyalah. Kan, gue semalem begadang sampe jam 2 malam. Emangnya, lo tidur jam 12. Bilangnya, mau begadang." Keza cekikikan karena semalam ia sudah tidur lebih dulu dari aku.

"Mau makan gak, lo?"

"Nanti, dulu. Gue cuci muka dulu." Aku menggeliat dengan mata yang serupa dengan mata panda. "Za ada minum gak di kulkas?"

"Ada. Liat aja sendiri."

"Za, depan aja. Gue bete di dalam rumah terus." Aku dan Keza duduk di depan teras. Membersihkan belek mata yang masih terselip di pelupuk. Melihat motor yang berlalu-lalang. Mata terarah ke jalan, melamun, pandangan seakan kosong.

"Woi. Jangan ngelamun, baru bangun tidur malah ngelamun." Keza menepuk pundakku. Terbuyar lamunan itu. Tak berselang lama. Aku dan Keza menonton TV acara kartun kesayangan; Spongebob. Makan satu piring berdua. Kami memang begitu, kalau lagi hari libur.

"Nambah gak nasinya?" Tanya Keza sembari mengunyah. Aku menggeleng pelan.

"Oh, yaudah. Kalau, gak mau nambah."

Seusai mandi aku mengajak Keza untuk bertanding badminton.

"Udah, siap?" Tanyaku antusias.

"Gasskuy. Nih, gue punya banyak kok(bola badminton)."

"Lo mau main di mana?" Tanya Keza seakan menantang.

"Di halaman Mushola." "Kan, luas tuh. Di situ." Kataku.

Halaman mushola yang nampak sunyi dengan riuhnya nyanyian angin pagi. Beberapa warga lalu-lalang dari belanja bahan pokok makanan.

"Jangan main smash dong." Kata Keza nada kesal.

"Lah? Kan main raket emang begitu." Jawabku ngeledek.

"Ya, kan. Bisa main santay."

"Yaudah, yaudah. Nih, gue gak smash lagi." Sekujur tubuh penuh keringat. Sengaja aku mengajak Keza main badminton. Biar dia bisa lepas dari game sejenak. Tang... Tang... Tang... Bunyi senar raket, tepis-menepis bola berbulu ayam. Dengan lincahnya, Keza bisa menebak pola permainanku. Begitupun aku. Aku bisa menebak pola permainan Keza.

Setelah sudah merasa cukup untuk bermain badminton. Aku dan Keza tidak langsung pulang. Kami duduk di sudut Mushola mengatur napas yang terengah-engah. Adem-ayem suasana Mushola saat ini. Serasa mengundangku untuk terlelap. Angin pagi bersiul syahdu. Diterangi pijar kuning yang menyolok. Banyak warga yang berlalu-lalang dari pasar. Ada juga yang pulang sehabis lari pagi di lapangan. Dusun yang damai. Akrab. Tak ada kegaduhan. Aku menghela napas dalam. Menghirup udara pagi yang belum begitu tercemar polusi.

"Mau pulang gak, A?" Tanya Keza dengan embunan peluh di pelipisnya.

"Ntar dulu. Di Mushola aja dulu. Adem soalnya." Keza hanya mengangguk pelan menanggapi perkataanku. Aku merebah di lantai Mushola. Diikuti Keza. Melihat langit-langit Mushola. Begitu elok tuk ditatap.

"Woi. Jangan tidur. Mentang-mentang adem. Lo malah tidur. Gue ogah bangunin, dah." Teriak Keza melihatku mulai memejamkan mata. Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Mata membelalakkan. Saking, merasa terkejutnya.

"Yaudah, ayok pulang. Gue ngantuk." Aku menguap seakan kurang oksigen.

"Gila, lo. Abis tidur. Mau tidur lagi." Keza mengakak melihat mataku sayu.

...*...

"Udah puas tidur?" Keza bergelak melihat mimik wajahku.

"Jam berapa nih, Za?"

"Jam 3 sore." Aku tidak percaya. Lalu, aku melihat angka jam di layar hp.

"Saking capeknya main raket, lo tidur sampe sore begini." Sekali lagi Keza tertawa mengejekku.

"Berisik lo!" Meluap amarahku.

"Tadi gue mau bangunin lo. Suruh makan bareng sama gue. Eh, gue liat lo tidurnya pulas banget." Kata Keza dengan nada serius.

"Yaudah. Gue mandi dulu."

"Udah belum, mandinya?" Keza menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Bacot! Jangan gedor-gedor." Teriakku dalam kamar mandi. Keza mengakak.

"Yaudah. Gue tungguin luar." Aku memakai baju dan celana di dalam kamar mandi.

"Busyettt. Gue udah ganteng nih." Kepedeanku kumat.

"Pengen muntah gue lihat muka lo." Keza mengakak.

"Sialan lo." Kali ini yang tertawa bukan hanya Keza. Tapi, aku ikut berbahak juga.

"Cepatan. Lo mau gue jajanin gak?" Aku mengernyitkan dahi. Tumben Keza sebaik itupun soal uang. Kata batinku.

"Lo mau gak? Kalo gak mau yaudah." Katanya lagi.

"Tapi, bentar. Kok lo tumben baik soal duit?" Tanyaku heran.

"Gue cuma baik sama lo doang. Gue juga gak mau kalo ada bang Fadli. Dia udah dijajanin, gak tau diri."

"Gas. Benar nih jajan gue?"

"Bawel, lo." Katanya bernada kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!