Suara lengking bel pulang sudah berbunyi.
"Ayok, Anfa balik bareng." Kata Putra menarik tasku.
"Duluan aja. Gue mau nonton bioskop dulu."
"Lo nonton bioskop sama siapa aja?"
"Gue, Hanif sama Derry."
"Bertiga doang?"
"Iya."
"Yaudah. Gue pulang duluan."
"Ayok, Anfa. Langsung otw aja." Ujar Hanif.
Aku, Hanif, dan Derry. Kami bertiga jalan ke depan lebih dulu. Untuk naik angkot menuju bioskop. Kami pun menunggu angkot di pinggir jalan raya dengan kendaraan yang berlalu-lalang melintas di depan mata.
"Lama gak nih nungguinnya?" Bulir keringat mengembun di wajahku.
"Gak, Anfa. Paling dikit lagi." Jawab Hanif sambil memantau angkot.
Sudah hampir 15 menit kami menunggu.
"Nah. Tuh dia baru ada angkotnya." Derry memberhentikan angkot itu.
"Sini, sini. Patungan buat angkot." Kataku.
"Patungan berapa?" Hanif mengeluarkan uang dari kantong sakunya.
"2 ribu aja. Kalo angkot jangan bayar mahal-mahal." Aku berbisik agar tidak didengar supir angkot. "Bang, kiri. Bang, kiri." Aku memberhentikan angkot di tepi jalan sebrang plaza mall.
"Ayok. Buruan turun udah sampe." Kataku sembari mengasih uang ke supir angkot. Aku dan kedua temanku langsung menuju pintu masuk mall. Dan langsung menuju bioskop yang berada di lantai 3.
"Selamat datang." Sapa security yang menjaga di depan pintu masuk bioskop. Aku hanya melemparkan senyum pada bapak security itu. Aku melihat daftar film yang akan tayang.
"Liat dulu Gundala, tayang jam berapa?" Tanyaku pada kedua temanku yang sedang melihat jadwal film itu.
"Yaudah. Biar jelas langsung ke kasir aja, tanya jam tayangnya." Hanif ke tempat kasir untuk menanyakan jam tayang film Gundala.
"Kalau untuk Gundala akan tayang pukul 14.30 WIB." Kata kakak kasir itu. Aku melihat jam di hpku ternyata sudah pukul 14.00. Berarti 30 menit lagi akan tayang.
"Sini. Mana duit duitnye, biar gue yang beli tiketnya."
"Nih, Anfa. Duit Hanif."
"Lo mana, Der. Duit lo?"
"Nih, Anfa. Duit gue." Uang itu sudah terkumpul.
"Ini, kak uangnya. Tiket nonton film Gundalanya 3 ya, kak." Aku memesan 3 tiket film Gundala.
"Mau bangku di bagian mana?" Kakak kasir itu menunjuk pada bagian bangku yang akan kami duduki nanti.
"Oh. Ini aja kak, paling belakang. Itu 3 bangku, kosong kan?"
"Oh, iya. 3 bangku paling belakang ya." "Ini, 3 tiketnya. Mohon ditunggu, ya, jam tayang filmnya." Kakak kasir memberi 3 tiket film Gundala.
"Baik, kak. Makasih." Aku dan kedua temanku menunggu selama 30 menit. Karena, film itu tayang pada pukul 14.30.
"Berapa menit lagi sih, tayangnya?" Tanya Derry yang tidak sabaran.
"Buset. Sabar masih lama, masih 30 menit lagi."
Sudah pukul 14.30.
"Ayok, woi. Masuk, masuk. Lihat dulu, kita ruang teater berapa?" Tanyaku melihat nomor ruang teater.
"Kita teater 3." Hanif menunjukkan ke suatu teater yang berurut nomor 3.
Menunggu film dimulai. Aku sandarkan dulu badanku di bangku empuk ruang bioskop.
"Ssstttt. Udah dimulai tuh." Kata Hanif. Kami menyaksikan film Gundala dengan saksama. Dengan wajah serius aku menatap layar lebar yang ada di depan.
Sudah 1 jam lebih, aku menonton film itu. Akhirnya, selesai sudah. Aku, Hanif dan Derry, bergantian keluar dari ruang teater.
"Mau langsung pulang atau mau makan dulu?" Tanyaku pada mereka.
"Langsung pulang aja, gue capek." Pelipis Derry dipenuhi bulir keringat dan raut wajahnya sudah semakin kusam.
"Oh, yaudah. Kalo mau langsung pulang."
"Lo dijemput sama bapak lo, Der?"
"Iya, gue dijemput."
"Yaudah, gue sama Hanif duluan ya." Aku dan Hanif pamit pulang. Aku pulang bareng Hanif hari ini. Karena, aku tidak pulang ke rumah Uwa. Aku pulang ke rumahku sendiri.
"Anfa. Hanif pesen grab aja, deh." Kata Hanif mengeluarkan hpnya dari kantong saku.
"Oh. Yaudah kalo gitu, duluan ya, Hanif."
"Emang Anfa pulang naik apa?"
"Itu, naik angkot."
"Yaudah. Hati-hati ya, Anfa."
Lelah sekali rasanya tapi tidak masalah. Jarang-jarang aku mengisi banyak waktu bersama teman dekat. Aku menghampiri angkot yang ingin kutumpangi.
"Mau kemana, Dik?." Tanya supir angkot.
"Masjid Al-Munawar bang."
"Oh, berenti di masjid Al-Munawar."
"Iya, Bang." Supir angkot itu terlihat ramah padaku. Di perjalanan pulang aku hampir saja tertidur di angkot. Rasa kantuk semakin merajalela. Tidak karuan dan terus menyerang diri.
"Udah sampe Masjid Al-Munawar, Dik." Mendengar seruan abang supir angkot. Aku terkejut karena aku merasa ngantuk sekali hari ini.
"Eh, iya. Bang." Dengan mata yang tidak bersahabat. "Nih, bang. Duitnya." Selembar uang aku keluarkan dari tasku untuk membayar angkot. Aku berjalan dengan mengimbangi mata yang mengantuk. Teringat air minumku masih tersisa. Aku ambil tempat air minum untuk membasuh mata agar terlihat sedikit segar.
"Nah. Lumayan, dah. Gak ngantuk abis cuci muka." Kataku sesudah membasuh mata di pinggir halaman masjid. Sudah semakin sore. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Cepat sekali bukan waktu berjalan.
"Assalamualaikum." Salamku sesampainya di rumah.
"Walaikumsalam, kok ke sini? Emang udah bilang Ma Beda?" Mama hanya takut Uwa mencari keberadaanku. Dan, ya, apalagi zaman maraknya tongkrongan yang tidak bermanfaat.
"Belom, ntar aja lewat telepon."
"Yaudah, cepetan telepon ntar Ma Beda kebingungan." Aku langsung mengabari kakak sepupuku anak dari Uwa.
'Assalamualaikum, kak. Sekarang, Aa di rumah mama nih.'
'Walaikumsalam. Oh, yaudah iya. Tadi pulang bareng siapa?'
'Bareng temen.'
'Yaudah dah, iya.'
'Iya, kak.'
Telepon langsung kututup, bergegas membuka seragam sekolah dan sepatu lalu tidur. Soal mandi nanti saja. Rasa ngantuk ini sungguh hebat tak terkalahkan.
"Udah pengen magrib tidur dah tuh." Ujar Afne, adikku yang kedua.
...*...
Tiba adzan magrib terdengar di telinga. Aku dibangunkan oleh Mama dari tidur pulasku. Aku duduk tetapi mataku masih merem.
"Wudhu. Wudhu. Sholat magrib dulu, abis tuh makan. Abis makan, sholat isya. Abis sholat isya, baru tidur lagi." Ujar Mama. Aku hanya mengangguk saja. Aku menuju kamar mandi dengan mata yang masih sayu.
"Sejadah mana sejadah?" Aku mencari sejadah yang entah di mana tersimpan.
"Sejadah sama peci, ada di lemari." Kata Afne.
Aku membuka lemari satu-persatu. Ternyata sejadah tersimpan di lemari bagian bawah.
"Di depan teras, ah. Adem." Selesai sholat aku membuka pintu rumah dan berduduk santai di depan teras rumah yang disapa angin sepoi-sepoi. Langit cerah gemilang. Bintang gemerlap. Ditemani cahaya rembulan yang elok. Aku menatapnya dengan tatapan syukur atas karunia serta kebesaran Allah.
"Makan ga, lo?" tanya Afne.
"Ntar, aja." Aku menuju ke dapur untuk kuseduh segelas teh hangat.
Malam yang syahdu berteman teh hangat.
"Huftttt, dunia malam emang paling enak buat lepas semua lelah." Kataku menarik napas dalam-dalam.
"Aa ngapain diluar?" Tanya adik laki-laki dari mama yang baru saja sampai.
"Ngadem, doang. Biar gak stres." Memang rasanya kepala ini banyak isinya. Bercampur aduk rata. Semuanya menjadi luka, trauma dan pilu. Terutama aku anak laki-laki pertama. Hatiku harus sekuat baja. Dan, bahuku harus setegar karang laut. Sering aku mengeluh. Tetapi, tidak dengan cara untuk menyerah. Maklum saja. Aku hanya segumpal tanah yang hina. Yang terkadang bisa rapuh. Tanpa sadar air mata menetes pelan dari pelupuk. Untung saja di teras rumah hanya ada aku, segelas teh hangat, dan senyap malam. Sayup terdengar suara lengking jangkrik.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Terdengar keras sound speaker masjid dari rumah. Kutaruh gelas bekas teh hangat. Dan, kucuci gelas itu. Sehabis aku cuci. Aku berwudhu dengan niat mencari keridhaan illahi. Baju kokoh dan peci tidak kulepas sedari sholat magrib tadi. Seperti biasa ditakbir pertama. Lagi, lagi, dan lagi. Air mataku berlinang. Tetap bermohon kepada Allah. Bahwa semua lika-liku bisa dilewati dengan tabah dan ikhtiar.
"YaRabbi. Kuatkan hatiku. Tegarkan pundakku. Agar kubisa mencapai apa yang kuinginkan." Ucap doaku dengan pelan setelah selesai sholat.
Aku taruh baju kokoh di tempat semula. Tak lupa juga dengan sarung serta peci. Aku mengambil hpku yang sedang dichas di bawah meja TV. Dan, kembali duduk di teras rumah. Memutar lagu yang selaras dengan apa yang sedang kurasa. Angin malam pun ikut bernyanyi merdu.
Malam sudah terlalu larut. Rasanya tak ingin masuk ke dalam rumah. Tetapi Mama sudah menyuruhku untuk masuk dan tutup pintu. Bosan rasanya. Main gadget pun bukannya menyenangkan, ini malah semakin membosankan. Aku nyalakan TV. Untuk menyembuhkan rasa bosan dan gelisah. Waktu sudah pukul 21.30. Aku tak mengira, ternyata terlalu lama aku berdialog dengan dunia malam. Dan, bersandar pada rembulan dan bintang.
Pelupuk mataku, perlahan sayu. Mendengar detak waktu. Kali ini aku tidak bisa bergadang. Karena mata sudah 5 watt. Kuberharap dan berdoa. Semoga hari esok atau lusa yang akan datang. Semua baik baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments