Tepat hari libur. Kali ini, aku tidak ke rumah Mama. Aku menyatakan perasaanku pada Maulidiya. Memang, rasanya berbeda. Benar-benar rasa suka. Aku berharap kalau ia juga menyukaiku. Bukan takut ditolak, aku hanya takut tidak sesuai ekspektasi.
'Assalamualaikum, Mauli.'
'Walaikumsalam, kenapa kak?'
'Hmmm... Gimana ya.' canggung rasanya tuk mengungkapkan perasaan
'Iya, kak? Kenapa?'
'Kakak, mau ngomong apa?'
Aku diam tidak membalasnya. Karena, bingung mau darimana dulu aku menyatakannya.
'Kak?'
'Kak?'
'E-eehh, iyaiya.' aku buyarkan lamunan.
'Kakak, kok diem?'
'Gapapa, gini aku mau ngomong.'
'Ya. Ngomong apa, kak?.'
'A-aaku.'
'Aku kenapa kak?'
'Aku suka sama mauli. Perasaan ini udah lama aku pendam.'
'Eh, eh. Seriuskah ini?'
'Iya, serius.'
'Aku sebenarnya juga ada rasa sama kakak.' melihat respon Maulidiya. Mataku membelalak. Rasanya seperti mimpi.
'Serius? Emang Mauli juga ada rasa sama aku?'
'Iya, kak. Serius.'
'Jadi kakak mau gimana sekarang?' haduh pertanyaan itu membuat aku semakin kelimpungan.
'Gimana, ya.'
'Hayo. Gimana tuh, kak?.'
'Kamu... Mau gak Jadi pacar aku?'
'Hahhhhhh? Serius kak?'
'Iya, serius.'
'Yeayyy. Akhirnya, aku gak jomblo lagi kak.'
'Hahahaha. Bisa aja kamu.'
Aku berduduk manis di depan TV. Menonton acara kartun kesukaan. Hatiku juga belum menyangka. Kalau, Maulidiya menyukaiku juga. Aku berakhayal-khayal, aku juga memikirkan. Apa ini hanya manis di awal dan akan menyakitkan di ending? Berbagai pertanyaan negatif singgah di benak. "Ah, apaansih kok gue negatif thinking mulu." Kataku membuyarkan lamunan. Mata mengarah pada jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku baru tersadar, berarti tadi terlalu pagi, aku menyatakan perasaanku. Ternyata, seniat itu aku untuk menyatakannya. Aku masih belum percaya. Kembali aku cek chat itu. Ternyata, memang benar. Aku menyatakan perasaanku jam 7 pagi. Biarlah, yang terpenting aku tidak sendiri lagi. Itupun, biar Nazwa tidak menggangguku lagi. Lebih baik aku mencari yang lain daripada harus diganggu olehnya.
...*...
"Diajakin aduan bola." Ujar abang sepupu.
"Sama siapa?."
"Sama geng sebelah."
"Lah, hayuk gas." Aku menimpalinya.
Aku, abang sepupu, dan ketiga temanku yang lain menerima tantangan itu. Kami pun langsung menuju gang yang biasa tempat main bola. Satu tim terdiri 5 orang. Biarkanlah, banyak motor mondar-mandir. Ya, namanya juga main bola di gang.
"Bagi, sini. Oper, oper." Aku melambaikan tangan, agar bola yang sedang diiring abang sepupu, bisa jatuh padaku. Tanpa menunggu lama. Aku langsung menendang bola, yang sudah dioper ke arahku.
"GOLLLLLL!!!!" Aku berpekik keras.
"Mantap." Kata salah satu temanku. Hingga sore semakin larut. Aku masih meneruskan permainan itu. Dan, di akhir pertandingan, dimenangkan oleh tim kami. Dengan skor 3-1.
Sesampai di rumah, aku melihat diri sendiri dan teman-teman yang lain, seperti gelandangan di pinggir jalan. Kaki kotor, baju kumel dan muka kusam.
"Akhirnya, menang juga." Kata Fadli, abang sepupu. "Gue golin 2. Lo golin 1. Mantap." Sambungnya, dengan keringat yang memenuhi wajah.
"Udah, ah. Gue mau mandi. Siap-siap sholat magrib."
Sang senja sudah nampak jelas. Pertanda adzan magrib sudah semakin dekat.
"Abis ngapain sih? Kotor bener." Tanya Uwa melihat kaki ini kotor tak beralas.
"Main bola." Jawabku singkat dan aku langsung menuju kamar mandi. Itu juga aku menuju kamar mandi dengan kaki berjinjit-jinjit.
Malam minggu, aku berkumpul di depan rumah. Ramainya jangan ditanyakan lagi. Bahkan, main sampai larut malam dan bergadang bersama. Aku, Fadli dan teman yang lain berkumpul di depan warung bang Ucup. Tawa meledak keras. Entah, apa yang ditertawakan. Setiap kali orang lewat, kami tertawa, berniat mengejek.
"Eh, eh. Ada orang lewat tuh." Kataku sambil menunjuk tukang kue putu. Gerobak kue putu, lewat di hadapan kami. Aku berbisik-bisik sembari meledek. "Suara gerobak kue putu, udah kayak klakson kereta." Selorohku. Yang lain tertawa mendengar ejekanku.
"Ayok, dong. Lewat lagi kek orang." Kata Fadli menengok kanan kiri.
"Woi. Ada kakek-kakek." Belum apa-apa aku sudah tak kuasa menahan cekikikan. Hingga, gelak tawaku terdengar kencang. Tawa itu disusul teman yang lain.
"Besok jogging gasssss." Aku mengajak mereka untuk bangun pagi besok. "Ayok, aja gue mah." "Yang lain gimana?" Giliran Fadli yang menanyakan.
"Gue, ayok." Kata Keza. "Lo, San. Ikut gak?" Tanya Keza.
"Gass."
"Gasss. Gue juga ikut dong." Timpal Wisnu.
"Emang, lo diajak?." Tanya jahilku. Wisnu cemberut. "Ya elah. Gitu doang, ngambek. Yaudah, besok bangun pagi. Jogging di lapangan pomad."
"Gue pulang duluan. Takutnya, besok kesiangan." Wisnu beranjak dari duduknya, sembari membersihkan debu-debu dari celana bagian pantatnya.
"Gue, juga balik." "Besok samper gue aja pagi-pagi." Kata Isan sebelum meninggalkan tempat berkumpul.
"Siap." Kataku.
"Masuk, dah. Masuk. YaAllah. Udah malem nih." Aku terkesiap melihat Uwa tiba-tiba saja ke depan. Aku, Fadli, dan Keza. Kami langsung masuk ke dalam rumah. Rumah Keza bersampingan dengan rumah Uwa. Ketika di ambang pintu, aku melihat jam dinding bulat. Aku tidak percaya dan mataku membelalak heran. Ternyata, sudah jam 11 malam. Gak, kerasa. Begitu larut malam; bahkan hampir saja berganti hari. Mata ini belum juga bisa terlelap. Sengaja, aku mengambi hp yang tengah sedang aku chas di bawah lemari TV.
'Kamu kemana, sih'
'Aku kangen.'
'Sayang.'
'Kok. Gak on, ya?'
'Lama banget ih offnya.'
'Kamu di mana?'
'Kamu ke mana?'
'Kalau aku off. Itu tandanya aku udah bobo ya.'
'Dadah.'
'Muachh.'
Seketika hati ini gak karuan. Melihat spam chat dari Maulidiya. Iya, juga sih. Aku terlalu sibuk menghabiskan waktu untuk bermain. Tidak, mengasih kabar. Merasa bersalah padanya. Aku sudah membuatnya menunggu. Bahkan, ia rela tertidur karena menunggu notifikasi dariku. "Ya Allah, kasihan juga sih. Ah, ini gara-gara gue. Gara-gara gue gak ngechat dia. Apalagi, buat dia nunggu lama. Gue tau. Menunggu itu sangat tidak enak. Bahkan, bisa menjadi gundah." Aku monolog di malam yang sunyi.
...***...
Aku terbangun dari tidurku tepat pagi buta. Jam 05.30.
"Bang, jadi jogging gak?" Aku menggoyangkan badannya. "Bang. Woi. Jadi gak?" Terus kugoyangkan badannya yang sedang tertidur pulas. "Hmmm... Emang jam berapa, sih?" Tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur.
"Noh. Liat noh. Udah jam setengah 6." Aku tetap memaksanya untuk bangun. Dan, dengan terpaksa dia beranjak dari tempat tidurnya. Menuju kamar mandi dan mencuci muka.
"Ayok, jadi gak?" Keza sudah menyamper, semangat sekali rupanya dia.
"Sabar, tungguin bang Fadli." Kataku sembari mengikat tali sepatu. "Ayok, gas." Kata Fadli seusai dari kamar mandi.
"Samperin yang lain dulu." Kata Keza.
Aku, Keza, dan Fadli. Kami bertiga susul-menyusul yang lain.
"Wisnu…" Teriak Keza dari depan gerbang rumah Wisnu.
"Hah? Apaan? Jadi jogging?" Aku terheran-heran tak biasanya Wisnu bangun pagi, biasanya kalau disamper pasti belum bangun.
"Ya, jadilah. Masa enggak." Celetukku.
Tanpa mengulur waktu, karena matahari begitu cepat bergerak.
"Isan..." Kali ini yang teriak di depan rumah Isan, si Wisnu. Sampai, ketiga kali berteriak. Belum juga ada sahutan. Kami sudah berduga pasti Isan belum bangun.
"Yaudah. Langsung otw aja." Ujar Keza.
Sesampainya di lapangan pomad. Aku melihat rumput lapangan yang sudah ramai dipijak-pijak.
"Sini, sini. Patungan buat beli minum sama makanan." Ucapku.
"Nih, duit gue." Wisnu mengulurkan secarik kertas bernilai rupiah.
"Nih, gue. Lah, lo sama bang Fadli gak patungan." Tanya Keza dengan negatif thinkingnya.
"Selaw, aja. Gue sama bang Fadli patungan." Jawabku ketus, tanpa banyak basa-basi.
"Au, lo. Sans aja gue pasti patungan. Gue gak pelit kayak lo." Sahutan marah dari Fadli. Betul kata Fadli. Keza kalau buat patungan memang kadang gak mau, tapi kalau bagian makan dia paling terdepan. Raut wajah Keza, mendadak menjadi merah. Dan, matanya berkaca-kaca, seakan mau meneteskan air mata.
"Nangis dah nangis. Cengeng banget." Jiplak Wisnu membuatnya tambah marah.
"Bacot, lo. Nu." Katanya. Aku, Fadli, dan Wisnu, kami bertiga terkekeh melihat Keza berkaca-kaca. Aku meraba-raba kantong celana, ternyata ada yang tertinggal. Setelah kuingat-ingat. Ternyata, hpku tertinggal di rumah. 'Aduhh... Mampus gue. Gue semaleman gak jawab chat Mauli. Masa, sekarang gue gak ngechat dia lagi.' batinku berkata seperti itu. Aku bukan takut putus. Tapi, aku hanya takut membuat dirinya kecewa dan enggan berkomunikasi lagi denganku. Yang tadinya bercanda, tertawa. Tapi teringat hal itu. Aku menjadi gundah. Isi kepala dipenuhi namanya, dan hati selalu teringat padanya. Cowok macam apa aku ini? Yang tak bisa membuat bahagia, karena tak berkecukupan harta ataupun tahta. Hanya bisa membuat wanita kecewa atas keperluanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments