Chapter 20

Sudah lama kami berempat : Aku, Rangga, Khadafi, dan Fazri, menjadi teman dekat. Tetapi, kali ini kami dibuat sedih karena dikabarkan Rangga akan pindah sekolah dan akan pindah rumah.

'Guys. Gue minta maaf, ya. Kalo ada salah lo pada. Gue pamit, ya. See you next time kawan.' kalimat pamit dari Rangga di grup khusus kami berempat, membuatku mengeluarkan butiran air dari mata.

'Udah kagak main lagi deh.' aku mengetik dengan sesaknya dada.

'Sering-sering main lagi, Rang. Sama kita-kita." Fazri juga merasakan apa yang kurasakan.

'See you, Rang' Khadafi tak tertinggal untuk nimbrung.

'Jangan pada sedih begitu dong. Kan, gue juga ikutan sedih.' jemari Rangga mengetik dengan sendu.

'Sehat-sehat ya, kawan.' kataku di grup.

'Iya, Bang Anfa.'

'Iya, Rang. Lo sehat-sehat, ya.' kata Khadafi dan Fazri.

'Emang kapan lo bakal pindah sekolah sama pindah rumahnya, Rang?' tanyaku untuk mengobati rasa penasaran.

'Besok pagi, Fa.'

'Kapan-kapan main, ya, ke rumah gue.'

'Siap, Rang. Nanti kita-kita main ke rumah lo. Kalo ada waktu.' respon kami bertiga : Aku, Khadafi, dan Fazri.

'Boleh main bentar gak, Rang? Sebelum lo pindah rumah.'

'Betul kata Anfa, Rang. Mending kita main dulu di rumah lo. Sebelum lo pindah.' kata Khadafi membenarkan pernyataan dariku.

'Yaudah, sini bae. Kita ngopi-ngopi dulu. Soalnya, besok gue harus siap-siap.'

'Gue iku dong.'

'Emang lo diajak, Zri?' banyol Khadafi.

'Yaudah, gue gak jadi ikut.'

'Ya, elah. Gitu aja ngambek.' celetuk Rangga.

'Biar adil ikut semua. Ayok.' aku memisahkan mereka agar tidak semakin ricuh.

...***...

"RANGGAAAAA." Pekikan Fazri di depan pagar rumah Rangga.

"Eh. Udah dateng. Sini, sini. Masuk." Rangga membuka pagar.

"Anfa, lo bareng Fazri?"

"Iya, Rang."

"Yaudah. Duduk, duduk."

Aku dan Fazri menghempaskan pantat ke lantai.

"Nih, minum dulu." Rangga membawa botol air dingin dan dua gelas untukku dan Fazri.

"Gak usah repot-repot, Rang."

"Halah. Lo udah sering main ke rumah gue. Pake bilang "Gak usah repot-repot, Rang" lagu lama lo." Bantah Rangga membuatku gelakanku pecah meledak. Seketika gelakan itu menular ke Fazri dan Rangga.

"Capek, sialan. Gue ketawa mulu." Rangga mengelap air matanya karena terlalu berbahak-bahak.

"Oh, iya. Khadafi kok belum dateng?" Tanyaku di sela-sela candaan.

Rangga mengangkat bahunya "Gak tau, dah, dia."

Beberapa lama kesunyian merajai suasana. Kami saling berdiam-diaman. Entah, harus bicarakan apa lagi.

"Assalamualaikum. Sorry, gaesss. Gue baru dateng."

"Ah. Lo mah udah biasa ngaret, Fi." Selorohku.

"Bacot banget lo." Khadafi cekikikan.

"Mau masak mie, gak?" Sepertinya tau kalau aku sedang lapar-laparnya.

"Gak, Rang. Gak mau dikit." Ledekku membuat ramai suasana.

"Mending lo jadi pelawak dah, Fa. Kayaknya cocok." Kata Fazri sembari tergelak. Memang sengaja, suasana kubuat ramai. Malam ini adalah malam terakhir kami berkumpul.

"Yaudah. Sini bantuin gue masak mienya." Rangga menarik lenganku dan mengajaknya ke ruang dapur.

"Mau mie goreng apa mie kuah?"

"Mie goreng aja, Rang." Aku mengambil sebungkus mie goreng sedap.

"Yaudah. Kalo lo mie goreng. Jadiin satu aja. Masak 4 mie jadiin satu ke dalam piring." Rangga menyerahkan piring berukuran besar.

Beberapa menit kemudian…

"Nih. Nih. Mienya udah mateng." Rangga meletakkan mie bepiring besar di hadapan kami.

"Makasih, banget. Buat gue, kan?"

"Lo mau gue gedig, Fi?"

"Hahahaha bercanda, Rang."

"Makan dulu, dah. Gue tau lo pada laper." Selorohku sembari menyendok nasi dari penanak.

"Et, dah. Jangan banyak-banyak Fi." Fazri mencubit tangan Khadafi yang sedang menggulung mie dengan garpu.

Di antara kami hanya terdengar suara gesekan sendok mengenai piring plastik dan juga hanya terdengar suara ciplakan mulut. Sayup terdengar suara kentut. Entah, itu kentut siapa. Rasanya menyengat indra penciuman.

"Berengsek! Siapa yang kentut nih?" "Kentutnya udah kayak ******." Sontak aku menaruh piring dan menutup hidung dengan lengan baju.

"Gak napsu makan gue kalo begini." Rangga meraut wajah kemerahan.

"Lo kok ketawa, Fi?." Tanya Fazri.

"Wah, wah. Jangan-jangan Khadafi yang kentut." Celetuk Rangga.

"Sorry. Sorry, gaes. Gue keceplosan." Khadafi mengakak keras hingga menggemakan suasana makan.

"Sialan, lo."

Azan subuh mengaung ke angkasa. Pagi buta menyerbu kulit tak berselimut. Terdengar suara ayam jago saling bersahutan. Masing-masing alarm terdengar lengking.

"Woy. Bangun, woy."

"Eh. Lo udah bangun, Anfa?"

"Udahlah." "Lo pindah jam berapa, Rang?"

"Nanti aja deh, siangan." "Tidur aja lagi, Fa."

"Kagak ah, Rang."

"Yaudah. Gue tidur lagi ya, Anfa." Sontak Rangga menidurkan kepalanya kembali ke bantal empuk.

"Rang. Bangun, Rang." Khadafi mengeplak pantat Rangga.

"Bacot banget lo, Fi."

"Bangun ege. Kan, lo katanya mau pindah."

"Gue pindahnya besok." Rangga cekikikan, sudah puas menipu kami.

"Ah berengsek, lo." Kesalku mencubit pantatnya.

Rangga terkekeh keras.

"Ada apaan sih, nih?" Fazri menguap, mengucek-ucek mata yang masih remang-remang.

"Rangga pindahnya besok." Khadafi menjelaskan kekonyolan Rangga.

"Bego banget lo, Rang." Fazri ikut mencaci Rangga.

"Maaf, gaess, maaf."

"Yaudah, kalo gitu kita nyanyi-nyanyi aja." "Ambil gitar sono, Rang."

"Bentar ya, Anfa. Kan, gue baru banget bangun. Udah disuruh main gitar." Bantahan Rangga membuat kami tertawa dengan muka bantalnya.

Jrenggg... Jrenggg...

"Ayok gas mau request lagu."

"Terserah lo aja, Rang. Lo mau lagu apaan?"

Jrenggg... Jrenggg...

"Biarkan ku menggapaimu

Memelukmu.. Memanjakanmu..

Tidurlah Kau Di pelukku

Di pelukku.. Di pelukku.."

Lagu Anima Band kami nyanyikan bersama di teras rumah Rangga.

...*...

Siang semakin tak bisa dikalahkan. Sengatan semakin sangar. Rangga merangkul kipas kecil dan dinyalakannya pada lubang stopkontak.

"Nih, sebat dulu. Gue tau mulut lo asem." Khadafi menyodorkan kami sebungkus rokok filter. Masing-masing mengambil sebatang rokok filter, terkecuali aku yang anti rokok.

"Lo gak ngerokok, Fa?." Rangga mengernyitkan dahi.

"Gak, Rang." Dengan antusias aku menjawabnya.

"Asik anti rokok nih ceritanya." Celetuk Khadafi terkekeh.

"Sok asik lo, Fi."

"Makanya, Fi. Jangan gitu sama Anfa. Kena comeback, kan lo." Kata Rangga mengakak. Ketawa kami pecah meledak. Meramaikan suasana siang gersang.

"Nanti sore ziarah, yuk."

"Ziarah ke mana, Fa?" Tanya Rangga sembari mengisap sebatang rokok.

"Ziarah ke makam wali. Makamnya Habib Kuncung."

"MasyaAllah. Ayuk, dah. Gue mau. Lo yang lain mau ikut gak?" Rangga melempar pertanyaan yang mengarah ke Khadafi dan Fazri.

"Gue sih, ngikut aja." Jawab santay Khadafi. "Lo ikut gak, Zri?" Tanya

Khadafi.

"Gue ikutlah. Biar seru." Jawab Fazri cengar-cengir.

"Yaudah. Kita ziarah sore, ya."

"Siap, Anfa." Jawab mereka berbarengan.

...*...

Aku menyadarkan diri dari mimpi-mimpi. Kulihat jam hp. Ternyata, sudah pukul 4 sore. Aku melihat sekeliling teras. Melihat Khadafi yang daritadi asik sebat rokok. Entah, dia tidur siang atau sudah bangun lebih awal.

"Lo udah bangun, Fi?"

"Gue daritadi gak tidur siang. Gue ngerokok bae. Jadi ziarah gak?"

"Bentar, Fi. Gue bangun Rangga dulu." "WOOYYYYYYYY JADIII ZIARAHHHHH, GAKKK?" Pekikan di telinga Rangga.

"Sialan, lo. Pengeng nih kuping gue."

Melihat reaksi Rangga. Khadafi tergelak.

"Hahaha. Lagian sih lo, Rang. Tidur udah kayak orang mati." Seloroh Khadafi.

"Zri, Zri. Bangun, Zri. Jadi ikut gak lo?" Khadafi mencabut satu-persatu bulu kaki Fazri, Fazri meringis kesakitan.

"Sakit goblok." Katanya sambil mengusap-usap betisnya.

Lagi dan lagi tertawa meledak keras. Aku sampai tak tahan menahan kramnya perut. Saking kerasnya berbahak.

"Udah, ah. Udah. Capek gue ketawa mulu." Kataku.

"Gapapa, Fa. Daripada lo ngegalau mending ketawa." Celetuk Khadafi.

"Yaudah, gue mandi dulu. Kan, mau ziarah." Kata Rangga beranjak dari duduknya.

Sesampai di makam. Makam sudah padat dikerebuti peiarah dari berbagai daerah.

"SALAMULLAH YA SADAH MINARROHMAN YAGHSYAKUM..

IBADALLAH JI'NAKUM QOSODNAKUM TOLABNAKUM..

TU'INUNA TUGHITSUNA BIHIMMATIKUM WAJADWAKUM..

FAHBUNA WA'TUNA 'ATOYAKUM HADAYAKUM..

FALA KHOYYABTUMU ZONNI FAHASYAKUM WAHASYAKUM..

SA'IDNA IDZ ATAYNAKUM WAFUZNA HINA ZURNAKUM..,"

Sebelum memasuki area makam. Aku memimpin sholawat untuk menjaga adab di hadapan Waliyullah.

"Assalamualaikum, ya ahli kubur. Ya ahli jannah." Salam santunku ketika memasuki pintu makam. Aku menundukkan kepala. Menghormati ahlul baitnya Rasulullah. Semerbak wangi kembang mengharumkan suasana. Tenang sanubari dibuatnya.

"Foto-foto dulu gak, sih?" Kata Rangga seusai ziarah.

"Yang fotoin siapa?" Tanyaku.

"Khadafi aja." Rangga mengasih hpnya ke tangan Khadafi sambil terkekeh.

"Ah, sialan. Kenapa harus gue, sih?" Sewot Khadafi.

"Ayok, Fi. Lama lo." Kata Fazri yang ikut mengkojak Khadafi.

"Yaudah, cepetan. Gak pake lama."

"1... 2... 3..."

"Udahan, Fi?"

"Udah nih, Rang." Khadafi kembali mengembalikan hp Rangga ke tangannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!