Hari ini aku dipulangkan lebih awal. Katanya, pandemi covid semakin menunjak tinggi. Kemungkinan juga seluruh sekolah akan ditutup sementara. Bahkan, nanti akan belajar daring. Harus siap-siap kuota banyak, kalau sampai belajar daring.
"Kok, udah pulang?" Sambut Uwa yang melihat aku pulang lebih cepat dari hari sebelumnya.
"Sekolah bakal ditutup sementara. Katanya, pandemi covid lagi meninggi." Ujarku menjelaskan padanya.
"Semua sekolah bakalan ditutup?" Tanyanya dengan nada heran.
Aku mengangguk, "Katanya, juga bakalan belajar online." Jelasku. "Ribet, makin-makinan corona." Uwa geram dengan pandemi. Ya, mau gimana lagi. Memang sudah kuadratnya begini.
Kling…
'Kak Anfa, udah pulang?' Chat dari Maulidiya anak kelas 7
'Udah, Mauli udah pulang?'
'Udah, kak.'
'Yaudah, istirahat. Jangan kemana-mana, jaga kesehatan juga.'
'Iya, kak. Kakak juga ya.'
Setelah selesai membalas chat Maulidiya. Aku meletakkan hpku, begitu saja. Aku lebih memilih menonton TV. Daripada berlama-lama main hp. Menuju meja makan. Perut ini tidak bersahabat denganku. Makan somay saja, rasanya tidak cukup. Aku melongok, ada apa lauk pauk hari ini. Ternyata, Uwa belum masak apa-apa. Aku melihatnya, sedang menyaingi usus ayam yang akan dimasak. Aku merogoh tempat jas hujan tas. Yang ada di bagian paling bawah. Aku selalu menyimpan uang saku di situ. Karena, lebih aman dan tidak ada satupun orang yang mengetahui. Aku mengambil dua logam uang perak dan selembar kertas, bergegas menuju warung terdekat.
"Bang Ucup, beli mie."
"Mie apaan?"
"Mie goreng sedap." "Berapa, bang Ucup?" Sambung ujarku menanyakan harga mie itu.
"3 ribu."
Aku merebus air dalam panci, untuk memasak mie itu dengan suara perut yang berkeroncongan. Blubbb... Blubbb... Blubbb... Suara air menggelembung dari panci. Segera kukeluarkan mie dari kemasannya. Dan kumasukkan mie ke panci yang sudah mendidih.
"Ngapa beli mie, sih?" "Kan, ada usus." Omel Uwa tetapi aku hanya diam.
"Lah, kan ususnya belum dimasak."
"Kan, bisa nungguin." Katanya. Kali ini, aku tidak menjawabnya. Aku takut tersedak.
"Slurppp... Slurppp.." aku menyeruput sisa-sisa mie yang ada di piring plastik. "Alhamdulillah." Ucapku merasa kenyang, mengusap-usap perut. Piring plastik itu, aku taruh di kolong meja dapur. Aku hampir saja lupa untuk sholat dzuhur. Sebelum sholat dzuhur, aku istirahat sejenak, kubiarkan mie turun menyurut ke dalam perutku.
Aku mengibaskan baju. Gerah sekali siang ini. Meskipun sudah kulaksanakan sholat dzuhur. Tetapi terik mentari menyengat kulit, hingga bercucur bulir keringat, di tangan dan di pelipis. Di depan muka, aku nyalakan kipas angin. Meskipun kelagapan. Biarlah, daripada aku harus menahan tandusnya siang ini.
Dringgggg...
Deringan hp yang membuatku terbangun dari tidur siang. Kulihat kontak siapa yang meneleponku. Ternyata, Maulidiya. Aku angkat telepon itu. Dengan suara serak.
'Halo. Kak Anfa lagi apa?'
'Hemm.' aku berdehem menstabilkan suara. 'Aku habis bangun tidur.' lanjut ujarku
'Eh. Ganggu gak nih kak?'
'Ah, enggak kok. Santay aja.'
'Kakak, udah makan?'
'Udah. Kamu udah makan?'
'Udah, dong kak.'
'Oh, iya kak. Btw cewek kakak gak marah, kalau aku telepon kakak?' tanyanya membuatku bertanya-tanya. Sejak kapan aku punya cewek?
'Eh, gak. Aku gak ada cewek. Lagi sendiri aja.'
'Hehehe. Kirain, ada cewek.' tawa kecilnya terdengar. Membuatku candu mendengarnya.
'Yaudah, aku mandi dulu ya.'
'Iya, kak. Habis mandi kabarin aku, ya.'
'Iya, nanti aku kabarin lagi kalau udah selesai mandi.' aku menutup percakapan itu. Sebelum mandi, aku acak-acak lemari. Untuk mencari baju yang cocok dipakai.
"Gak usah ngeberantakin terus. Rapiinnya capek." Uwa marah melihat baju berserakan di mana-mana.
"Iya, bentar. Nyari baju dulu."
"Yaudah, abis itu rapiin lagi."
Aku hanya mengangguk tanpa berkata-kata.
...*...
Setelah aku sudah berpakaian, dan juga sudah wangi. Hidung ini mencium aroma masakan yang menggoda. Dengan penasaran. Aku melihat usus yang tadinya sedang disaingi. Sekarang sudah mateng dan siap disantap. Aku menengok kanan dan ke kiri. Melihat kondisi dapur. Tangan ini rasanya ingin sekali menyomot usus itu. Aku mencoba dengan tangan tanpa sendok, kalau saja dilihat Uwa. Pasti, dia akan marah. Karena usus itu untuk dimakan pakai nasi. Bukan, untuk digado. Dengan cepat, aku memakan usus itu dan membersihkan mulutku. Agar tidak ketahuan siapapun. "Makan dah tuh, usus udah mateng." Mataku mendelik melihat Uwa tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah. Untung, saja dia tidak lihat aku mencomot usus itu.
"Nih, mau makan." Kataku sembari menghapus sisa bumbu usus dari mulutku, agar Uwa tidak curiga padaku.
Dringggg…
Kali ini aku yang menelepon Maulidiya. Karena, sesuai janjiku tadi. Janji, kalau sudah selesai mandi. Aku mengabari dirinya.
'Iya, kak? Udah selesai mandinya?' pembukaan percakapan darinya. Baru, saja aku mau bilang "halo"
'Iya, udah selesai. Kamu lagi apa?'
'Lagi duduk aja, kak.'
'Kakak, sendiri lagi apa?' Maulidiya tanya balik.
'Aku habis aja makan tadi. Oh, iya kamu udah makan?'
'Belum, kak.'
'Yaudah, sana. Makan dulu.'
'Iya, kak. Aku makan dulu, ya. Jangan dimatiin ya, teleponnya.' aku terheran. Kenapa dia bisa senurut itu denganku? Apa mungkin ini akan menumbuhkan rasa suka? Ah, sudahlah.
'E-eeh, iyaiya. Gak dimatiin kok.' aku geragap.
'Oke, kak.'
'Halo, kak? Aku udah selesai makan.' beberapa menit aku menunggunya makan. Akhirnya, selesai juga
'Udah, selesai?' tanyaku kembali.
'Udah, kak.'
'Kakak gak siap-siap sholat magrib?'
'Ini aku mau siap-siap sholat magrib. Tadi, kan tungguin kamu selesai makan dulu.'
'Maaf, ya kak. Kakak lama ya nunggunya?'
'Ah, udahlah. Santay aja.' aku mencairkan suasana.
'Yaudah, gih. Siap-siap sholat magrib juga kamu.'
'Iya, kak.'
'Aku matiin dulu ya, teleponnya. 'Assalamualaikum.'
'Iya, kak. Walaikumsalam.'
Aku ingat, malam ini adalah malam libur. Ternyata, malam ini dan esok hari aku masih sekolah. Tetapi, cuma saja besok aku belajar di rumah. Karena virus yang semakin merajalela. Aku juga tidak belajar malam ini. Karena, bisa besok hari. Dan, aku akan bangun sedikit siang. Karena, absen kelas pun dimulai jam 7 sampai jam 11 siang. Memang enak sekolah daring. Tetapi, lebih enak dan seru kalau berkumpul bersama teman-teman di kelas. Saling berbagi cerita, canda, dan juga tawa.
...***...
Matahari pagi merambat siang, menyilaukan pelupuk mata. Aku terbangun dari tidur. Aku memicingkan mata, untuk melihat jam dinding yang berdetak. Belum sepenuhnya terlihat jelas. Lalu aku mengucek- ucek mata, untuk menstabilkan penglihatan. Ternyata, sudah jam 9 lewat 15 menit. Aku terkejut. Terburu-buru aku membuka hp untuk mengisi absen kelas secara online. Sekilas aku melihat chat dari Maulidiya
'Kak.'
'Kak.'
'Belum bangun, ya?'
'Bangun.'
'Kak.'
Melihat notifikasi chatnya yang begitu banyak. Aku tidak langsung membalas pesannya. Aku terlebih dahulu tuk mengisi absen, sehabis mengisi absen baru aku membalas chat dari Maulidiya.
'Maaf baru aku balas. Soalnya, aku baru bangun.' kataku dengan mata yang masih dipenuhi belek. Begitu melihat notifikasi chat balasan dariku. Kontaknya langsung timbul bacaan "Online"
'Iya, kak. Gapapa.'
'Berarti kakak belum mandi ya? Belum sarapan juga ya?'
'Belum semuanya. Kalau kamu? Udah sarapan? Udah mandi?'
'Udah, dong. Emang kakak. Yang belum apa-apa, udah gitu bangunnya siang lagi.' katanya seakan mengejek
'Hahaha. Yaudah, aku mandi dulu ya.'
'Oke, kak. Aku belajar dulu, ya. Kalau udah selesai, nanti aku kabarin lagi.'
'Iya.' jawabku singkat.
Setelah kuselesai mandi dan sarapan pagi. Kembali, kubuka hp untuk melihat pelajaran apa yang sudah ada tugas lebih dulu. Entah, lewat zoom meeting atau tidak. Tetap saja aku malas belajar online seperti ini. Ternyata, oh ternyata. Tugas sudah menumpuk. Dari tugas matematika, agama islam, tugas ilmu pengetahuan sosial, dan juga tugas ilmu pengetahuan alam. Baru melihat saja, rasanya kepala sudah keliyengan. Tangan juga serasa malas untuk menulis.
"Gini, nih. Sekolah online bikin liyer." Aku gerutu dan melampiaskan dengan membanting-banting buku tulis. Bukan malas atau tidak mau lulus. Memang, beda rasanya. Sekolah tatap muka dan sekolah online.
"Lagian, ada-ada aja. Sekolah masa online." Uwa ikut kesal dengan pernyataan yang dinyatakan pemerintah. "Mau bikin generasi muda jadi goblok kali nih pemerintah!" Ujarnya. Tidak kusangka, ternyata Uwa lebih garang dari gerutuku tadi. Katanya, juga sih. Sekolah akan ditutup sampai semuanya sudah stabil. Ya, sudah. Mau gimana lagi? Aku hanya bisa menerima ini semua dengan ikhlas dan dengan tarikan napas yang teramat dalam. Aku merasa bosan tidak ada apa-apa yang harus dilakukan. Terpaksa, aku mengerjakan tugas itu. Tidak semua tugas, paling beberapa tugas. Satu atau dua tugas. Selebihnya, biarkanlah.
Sampai matahari menggantung di atas kepala. Aku juga belum selesai menulis tugas-tugas itu. Kalau saja tatap muka. Mungkin, tugasnya tidak sebanyak ini. Di tengah-tengah aku sedang menulis tugas. Ada telepon masuk dari Maulidiya, segera ku angkat telepon itu.
'Halo, kak.'
'Kakak, lagi apa?'
'Ini lagi nugas.'
'Kalo kamu lagi apa?'
'Aku lagi nugas juga sih, kak.'
'Tapi istirahat dulu, kak.' katanya. Aku tau dia pasti merasakan apa yang aku rasakan.
'Aku ganggu gak, kak.?'
'Ah. Gak, kok. Waktu kalo buat kamu gak pernah ganggu.' kataku. Dan sayup terdengar tawa kecil darinya.
'Bisa aja nih, kakak.'
'Hehe, biarin.'
'Oh, iya. Aku zoom meeting dulu ya.'
'Eh, iya kak. Nanti telepon aku lagi ya, kak.' terpaksa aku matikan telepon itu. Karena, mendadak saja ada zoom meeting yang mendesak
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments