"Udah kelar semua belum?!" Aku terkaget tiba-tiba Bu Siahaan kembali ke kelas. Tepatnya aku duduk di bangku paling depan, gimana tidak merasa panik.
"Gambarnya jangan asal, harus estetika mungkin!" Kata Bu Siahaan yang bisanya hanya menyuruh saja. Dengan hati-hati aku menggambarnya, aku tidak ingin kena marah.
"Ingat anak-anak kalau seni itu harus pakai modal, ibu ini senior jadi ibu lebih tahu seni, melukis juga gak sembarang melukis dalam seni!" Panjang lebar dia berkata, aku tidak menghiraukannya. 'Ah. Ribet banget nih, guru. Sumpah dah.' batinku ngedumel sendiri. Aku menunggu bel pergantian jam mata pelajaran. Karena aku sudah tidak betah di mata pelajaran Bu Siahaan.
"Nanti ujian praktek kalian harus beli pot bunga yang besar." Ocehan Bu Siahaan yang tidak mengerti tentang ekonomi anak muridnya.
'Pot yang besar? Itukan mahal, gak semua orang pegang duit.' lagi dan lagi batinku kesal sendiri mendengar ocehannya.
...***...
Kringgggggg!!!...
Akhirnya yang aku tunggu-tunggu tiba juga.
"Pelajaran ibu cukup sampai sini. Itu jangan lupa gambarnya kerjakan di rumah, yang tidak mengerjakan akan ibu beri hukuman!" Tegasnya kepada aku dan teman sekelasku. Setelah Bu Siahaan keluar kelas. Aku serasa lepas dari beban.
"Yess. Akhirnya pelajaran dia udah selesai." Aku berkata pada Hanif.
"Alhamdulillah. Lagian jadi guru ribet banget." Ujar Hanif.
"Dit. Pensil B-nya mana?" Tanya Hanif pada Adit yang sedang mencoret-coret meja.
"Oh, iya nih. Makasih ya, Nif."
Sudah menunggu beberapa menit. Ternyata, tidak datang juga guru mata pelajaran selanjutnya.
"Gak masuk kali nih gurunya." Celetuk Derry.
"Hmm. Mungkin gak masuk, tapi gapapa biar free class." Sahut Adit. "Main poker aja sini, daripada belajar mulu." Hasut Jidan si biang kerok. Entah kenapa aku mudah sekali terhasut. Akhirnya aku, Zaki, Salim, Fadil, dan Jidan main poker di bangku paling belakang.
"Gue duluan ya, yang pasang kartu." Kata Fadil memulai permainan.
"Yaudah, cepetan." Jawab Jidan. Memang hal bersama teman tidak akan bisa dilupakan, apalagi kita semua akan lulus dan berpisah untuk menjejak langkah masing-masing.
"Lo Anfa. Jalan buruan." Sekarang giliran aku yang memasang kartu. Sehabis aku pasang kartu. Giliran Salim, Zaki, dan terakhir Jidan. Lagi asik-asiknya main, tiba-tiba saja ada Bapak Sigit yang masuk ke dalam kelas.
"Heh. Pada ngapain di belakang? Sekarang cepat duduk di bangku masing-masing."
"Iya, pak." Jawabku sembari menuju ke tempat duduk.
"Pelajaran siapa?" Tanya Bapak Sigit.
"Pelajaran Pak Teguh, Pak." Aku menjawabnya.
"Udah dikasih tugas atau belum sama Pak Teguh? Soalnya beliau sedang ada urusan pribadi."
"Udah, Pak." Kata Adit yang sedang mengelak.
"Ya sudah. Kerjakan tugasnya. .Jangan berisik. Jangan keluar-keluar kelas." Akhirnya Bapak Sigit keluar dari kelas.
"Mantap. Mantap, Dit. Lo jago juga bohongnya." Kata Jidan sambil menepuk pundak Adit.
"Hahaha. Gue capek belajar terus." Adit menjawab apa-adanya.
"Dikit lagi kita lulus nih." Kataku pada teman-teman yang sedang berkumpul di bangku bagian belakang.
"Oh, iyaiya. Gak terasa dikit lagi lulus." Kata Jidan.
"Yah. Gak bisa ngumpul bareng lagi." Celetuk Fadil yang biasanya menjadi penghibur kelas. Tetapi, sebentar lagi akan berpisah. Selagi tidak ada guru di kelas. Aku dan teman-teman saling bercerita.
"Lulus bukannya masih lama ya? Kan kita belum pendalaman materi." Samber Adit yang tidak sadar kalau waktu begitu cepat berjalan.
"Waktu cepat Dit. nanti juga tanpa sadar kita semua udah lulus." Kataku.
"Oh, iya juga sih." Jawab Adit sambil mengangguk.
Aku kembali ke tempat duduk, karena aku merasa sangat lapar. Aku mengambil tempat makan dan tempat minum, untung saja Pak Teguh tidak masuk, jadi aku bisa mengisi perutku sejenak.
"Lah. lo makan sekarang?" Tanya Derry.
"Yoi. Udah laper hahaha."
"Yaudah. Gue juga makan sekarang biar bareng." Kata Derry yang juga mengeluarkan tempat makannya dari dalam tas.
Beberapa setelah aku selesai makan. Akhirnya perutku sudah tidak keroncongan lagi.
"Alhamdulillah." Ucapku setelah makan dan minum. Hari ini aku merasa menyenangkan dari hari sebelumnya, hanya saja aku tidak suka pada pelajaran Bu Siahaan. Menunggu istirahat dan mengisi kegabutanku, aku ambil buku dan bolpoin, seperti biasa aku menulis apa yang sedang aku rasa. Menurutku memang lebih asik curhat dengan secarik kertas, walau ia benda mati tapi rasanya tenang dan bisa terungkapi.
"Nanti istirahat di kelas aja, gue mager ke bawah." Tiba-tiba saja Adit ke mejaku, aku terkesiap dan segera menutup buku catatanku. Karena, itu privasi, tidak akan satupun orang, aku kasih tahu terkecuali hanya aku dan Sang Maha Pencipta.
"Emang lo bawa makan? Kalau gue sih udah makan tadi." Kataku.
"Santai aja gue bawa bekal kok."
"Lo ngapain, Anfa? Daritadi kayaknya galau." Tanya Adit seketika melihat raut wajahku terukir nestapa.
"Eh. Eh. Gapapa kok." Jawabku dengan gugup.
"Benar, nih?" Adit semakin penasaran.
"Iya, gue gapapa."
Bel istirahat berbunyi nyaring. Aku dan Adit tidak turun ke bawah. Sedangkan, Hanif dan Derry turun ke bawah.
"Lo mau makan lagi gak?" Adit menawarkan bekalnya.
"Gak, Dit. Lo makan aja biar kenyang, biar tambah gede." Selorohku.
"Parah, gue gak makan aja badan gue udah gede." Adit menimpali candaanku.
"Nanti pulang sekolah, main rumah gue." Adit mengajakku untuk mampir ke rumahnya dengan mulut yang penuh lauk-pauk.
"Telan dulu tuh nasi dari mulut, kalo makan jangan ngomong." Ujraku dan Adit mengangguk pelan.
"Siap."
...***...
Istirahat sudah berakhir begitu cepat.
"Woi. Lo berdua kagak turun? Wah. Wah. Ngapain lo berdua?" Tanya Jidan yang tiba-tiba celetuk gak jelas.
"Idih. Gue emang males turun." Jawab aku dengan tatapan sinis ke Jidan.
"Hahaha. Maaf. Maaf. Gue kan bercanda." Kata Jidan cengar-cengir.
"Hay, abang ganteng gimana istirahatnya?" Godaku pada Derry.
"Idih. Gue geli dah lo manggil gue ganteng terus." Mendengar ocehan Derry, aku tertawa sejadi-jadinya.
"Yaelah baper amat." Kata Adit. "Gue daritadi digodain Anfa, gue biasa aja."
"Tuh. Adit aja jentelmen gak baper." Kataku membuat Derry semakin kesal.
"Hahahaha. Emang Anfa tukang iseng." Samber Hanif yang ikut terkekeh.
Semakin siang sengatan mentari semakin galak, memperkeruh suasana.
"Minjem pulpen dong, Anfa." Kata Fadil, padahal aku tahu pulpennya banyak karena hasil betakan.
"Bukannya lo tukang betak pulpen? Kok gak punya pulpen?" Aku tergelak.
"Pala lo. Gue anak baik-baik. Masa iya betak pulpen." "Yaudah mana pinjem pulpen."
"Inget Dil, jangan dibetak."
"Yailah selaw aja, gak gue betak haha." Katanya sembari ketawa.
Aku merasa bete di dalam kelas, menatap luar kaca jendela, yang di samping sekolahku terdapat Sekolah Dasar. Aku terpaku meratapi yang ada di dalam pikiran yang begitu liar.
"Woi. Lo ngelamunin apaan sih?" Tanya Adit yang membuatku tergeragap.
"Perasaan daritadi lo ngelamun mulu, ada masalah apaan sih?" Adit nampak mengernyitkan dahi. "Lah ditanya malah bengong. Lo ada masalah apaan?" Tanya Adit kembali yang semakin penasaran.
"Eh. Eh. Gapapa kok." Jawabku penuh kebohongan.
"Bohong aja lo." Kata Adit dengan hasrat penasaran semakin menggebu.
"Assalamualaikum, anak-anak. Duduk semua di tempat duduknya masing-masing." Datang Pak Mujari guru agama, memang sudah waktunya ,memasuki mata pelajaran agama. 'Untung aja Pak Mujari udah dateng, jadi Adit gak bisa nanya lagi tentang masalah gue.' hatiku seakan bersorak-sorak.
"Keluarkan buku paket agamanya dan buka bab terakhir. Kali ini kita masuk ke materi sholat jenazah." "Perlu anak-anak ketahui, nanti kita ujian praktek agama itu akan ada praktek sujud sahwi, sujud syukur, dan sholat jenazah, jadi pelajari dari sekarang, dan untuk sholat jenazah hafalkan niatnya serta doanya." Panjang lebar Pak Mujari memberitahu apa saja yang akan dipraktekkan nanti saat ujian praktek tiba.
"HEH, ITU YANG DI BELAKANG KENAPA NGOBROL?! SAYA SURUH APA TADI?! HAFALKAN NIAT DAN DOA SHOLAT JENAZAH!" Bentak gelegar Pak Mujari yang membuatku tergeragap setengah mati. Ternyata, yang kena omelan si Fadil dan Jidan yang memang susah diatur.
"Iii-iya Pak maaf." Kata mereka berdua yang menundukkan kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments