Chapter 12

Pukul 16.00 WIB. Memang pulang hari ini sore sekali. Karena pendalaman materi. Aku preaper untuk pulang.

"Ayok, pulang bareng." Adit merangkul tasku.

"Berat, anying. Tangan lo jangan di tas gue." Sudah bawa buku berjibun-jibun. Dan, apalagi ditambah rangkulan tangan Adit, tangannya itu sangat besar. Bahkan, lebih besar dari tanganku.

"Ayok, pulang." Ajak Putra. Selepas aku keluar dari kelas.

"Duluan aja, Put. Gue mau kerja kelompok dulu sama Adit." Bohongku.

"Emang bener, Dit?"

Aku mengedipkan mata. Itu kode mata.

"Iya, gue mau kerja kelompok dulu sama Anfa." Ternyata Adit peka dengan kode itu.

...*...

"Assalamualaikum." Ucapku sesampainya di depan rumah.

Tek... Aku menyalakan kipas angin yang ada di ruang depan. Tanpa membuka baju seragam sekolah terlebih dahulu. Gerah, bulir keringat mengembun sampai membuat kuyup seragam. Aku mengibaskan kerah seragam. Dan, kubuka kerah seragam. Aku berpantengan dengan kipas. Wajah tepat berada di depan baling-baling kipas. Aku beranjak sejenak dari duduk. Membuka lemari es. Ternyata, tidak ada air di dalam situ. Langsung aku mengeluarkan selembar uang dari saku.

"Bang Ucup, beli es dong." Kataku mengasih selembar uang.

"Es yang mana?"

Aku menunjuk ke suatu serbuk es. Yang rasanya, rasa melati. Kuteguk es itu. Sangat dahaga kerongkongan ini. "Hmmm. Gini kek daritadi." Kataku sambil mengusap tenggorokan, menghayati betapa sejuknya es itu untuk tenggorokan yang kering tanpa cairan.

"YaAllah. Panas-panas minum es." Ekspresi Uwa marah, ketika melihat aku menggenggam plastik berisi es. Aku tidak mendengarnya. Apalagi tuk menyahutnya, nanti akan lebih panjang ocehan itu.

"Buka seragam. Ntar kotor." Aku tak banyak ngomong, langsung menurutinya saja.

"Hmmm." Kataku singkat. Kutaruh seragam sekolah ke dalam mesin cuci. Habis itu, aku langsung mengambil piring dan sendok. Untuk makan sebelum tidur.

Perut membuncit. Akhirnya, aku tertidur dengan tanpa sengaja. Karena lelah ditambah juga dengan isi perut. Gerak sana, gerak sini. Memang begitu tidurku, katanya juga aku ini tukang tidur. Itu memang benar, tapi aku tidak pernah lupa dengan perjuangan yang sedang kuperjuangkan sekarang ini. Apalagi, suatu saat nanti aku juga butuh untuk masuk ke perguruan tinggi. Meskipun ditinggal lama seorang ayah, itu bukan masalah bagiku. Tidak pernah menyerah, mungkin kalau untuk mengeluh, itu sering sekali terjadi. Tetapi, kadang juga aku mengeluh karena ingin berpacu cepat dengan ending yang bahagia.

...*...

Sudah lama juga aku tertidur. Aku menuju ke depan. Ternyata, masih ramai. Dan, kulihat layar hp. Ternyata, aku lewat untuk sholat magrib. Aku terbangun jam 8 malam. Aku menuju kamar mandi, untuk mencuci muka. Sehabis itu, menata buku pelajaran untuk hari esok. Satu-persatu buku aku lihat dengan saksama. Entah, dari buku paket ataupun buku LKS. Aku hanya takut tidak mengerjakan tugas. Di tengah-tengah aku sedang memeriksa buku. Ternyata ada notifikasi chat.

'Anfa. Ada tugas gak, sih?'

'Liat dong.'

Hadeh. Ternyata, chat dari Adit. Mau bales, tapi males. Gak dibales, kasihan. Terpaksa aku menjawabnya.

'Kayaknya enggak ada, deh.'

'Lo kebiasaan, Dit. Nanya tugas mulu.'

'Yaelah. Emang gak boleh?'

'Hooh, dah. Serah lo aja, Dit.' aku menutup percakapan. Aku taruh hp itu di meja TV. Tiba-tiba saja aku melamun. Aku masih memikirkan kejadian tadi. Kenapa Irfan bisa tau kalau Nazwa lagi mengejarku? Apa ada yang mengadu padanya? Atau mungkin Nazwa memosting fotoku di storynya? Berbagai pertanyaan memenuhi logika. Kubuyarkan lamunanku. Buat apa, aku memikirkan itu. Meskipun aku penasaran tetapi biarkan saja. Yang terpenting, bukan aku yang mengejarnya.

"Cepetan beresin bukunya, kalo udah selesai." Kata kakak sepupu.

"Nih, dikit lagi." Aku memasukkan buku yang sudah kupelajari tadi di sekolah, ke dalam lemari buku. Cukup makan waktu. Tadi aku melamun. Aku berdiri dari duduk. Menuju dapur, melihat meja makan. Perutku sudah tidak sabar tuk diisi. Aku melongok, ternyata tidak ada apa-apa di meja makan. Dan, kubuka lemari es. Ternyata, menyimpan tahu putih di dalamnya.

"Ah, biarin dah. Makan, goreng tahu aja." Kataku. Aku mengolesi tahu itu, dengan bumbu penyedap rasa ayam. Glek... Glek... Glek... Suara air yang kutuang dari teko ke dalam gelas. Sebelum makan, aku sengaja mempersiapkan air supaya tidak harus bulak-balik ke dapur.

Di penghujung nasi. Kujilat jemariku. Memang sudah kebiasaan, sehabis makan pakai tangan pasti akan kujilat jariku satu-persatu. Mulai dari jempol sampai jari kelingking. Aku bersendawa, suara itu sangat kencang. Buru-buru aku menutup mulut. Agar tidak menggangu penghuni rumah. Haduh, ada-ada aja aku ini. Mungkin terlalu banyak menyendok nasi atau kebanyakan minum. Aku meletakkan piring, gelas, dan sendok itu. Di atas meja dapur. Biarin ajalah, nanti juga dicuci. Begitu pikirku. Sudah jam 9 lewat 30 menit. Aku tidak merasakan kantuk. Karena tidak lama, aku baru saja terbangun dari tidurku.

...***...

Aku sampai di gerbang sekolah. Hampir saja, gerbang itu ditutup.

"Anfa. Tumben telat." Kata Hanif saat aku memasuki kelas. "Biasanya dateng paling duluan." Sambungnya.

"Iya, Nif. Mungkin semalem tidur terlalu malem. Jadi sekarang bisa telat."

"Alesan lo. Bilang aja lo mager." Celetuk Adit.

"Berisik lo." Ketusku.

Di gaduhan kelas, tiba-tiba saja Pak Irdho memasuki ruang kelas.

"Good morning, student. How are you?" Sapa Pak Irdho.

"Im, fine. Thank you and you?"

"Alhamdulillah, im fine. Thank you very much." Pak Irdho menempelkan pantatnya di kursi. "Sekarang, keluarkan buku tulis. Kita nyatet, untuk materi hari ini." Ia menulis sebuah materi di white board. Kukeluarkan buku tulis dalam tas.

Mataku membelalak. Ternyata, sebanyak itu materi yang ditulis Pak Irdho. Tangan ini sudah sangat pegal, sudah terasa berat tuk menulis kembali. "Haduh. Panjang banget lagi, catetannya." Aku membatin kesal dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Aku tidak mencatat semua materi itu. Karena sudah keburu bel. Aku lanjut di rumah. Gampang saja, nanti aku lihat catatan punya Hanif.

Pelajaran bahasa Inggris sudah berlalu. Aku menidurkan badanku di atas kursi.

"Gila, enak banget tiduran." Fadhil menabuk betisku.

"Ah, rusuh lo. Biasanye, lo maen poker."

"Ntar, poker mah. Itu kartunya si Arya." Kata Fadhil yang sedang merapikan rambutnya.

Aku kali ini turun ke bawah, karena tidak membawa bekal.

"Dit, turun ayok."

"Lah, emang kenapa. Kok turun?"

"Iya, Dit. Gue gak bawa bekel makan." Adit menurut saja. Ia ikut turun ke bawah. Mungkin saja ia takut di kelas sendiri.

"Lo mau ke kantin?" Tanya Adit, tangannya merangkul ke pundakku.

"Yoi, ayok gas." Kami berdua langsung menuju kantin. Kantin sudah macet total, sumpek hawanya. Tercium juga bau-bau keringat. Terpaksa, aku hanya membeli somay. Karena, somay tidak sampai paling bagian dalam lorong kantin.

"Bang, beli bang. Beli 10 ribu dah." Aku memberikan sejumlah uang pada tukang somay kantin.

"Siap. Pake apa aja?" Tanya abang somay.

"Somay pangsit sama tahu cokelat, Bang."

Setelah somay sudah ada ditanganku. Aku mencari Adit. Ternyata Adit sedang membeli risol di kedai kantin paling ujung. Kutinggal saja dia. Aku langsung menuju tempat di mana yang biasa Aku, Hanif, Derry dan Adit duduk.

"Anfa, sholat duha gak? Kayak biasa." Baru beberapa suap, Arif sudah ngajak sholat duha.

"Bentar, Rif. Gue makan dulu." "Lo mau Rif, somay?" Aku menyodorkan sebungkus somay.

"Gak, gue udah kenyang."Ujar Arif.

"Emang, lo udah jajan?" Tanyaku.

"Belum, sih." "Tapi, gue udah kenyang." Aku tau, sepertinya Arif gak membawa uang saku. "Nih, beli makan. Pake duit gue." Uangnya memang gak bernilai besar, tapi kepedulian itu penting.

"Bener, nih?" Arif mengerutkan keningnya. Nampak bingung.

"Iya, yaudah sono jajan dulu. Ntar baru sholat duha." Arif berlari ke kantin sebelum sholat duha bersamaku.

"Besok duitnya gue ganti."

"Eh, eh. Gak usah Rif. Gue ikhlas." Aku tersenyum. Arif berbalik senyum dan ia merangkul pundakku untuk menuju ke masjid, untuk sholat duha.

"Yok, pake sepatu. Dikit lagi bel masuk." Kata Arif, dan kami berdua menyusuri lorong sekolah. Untuk menuju tangga kelas.

"Duluan ya, Rif." Kataku.

"Anying, lo. Gue cari-cari malah ngilang di kantin."

"Ya, maaf, Dit. Lo lama sih." "Emang, lo makan di mana?" Sambungku

"Gue makan di depan ruang BK." "Karena tempat biasa kita duduk udah rame."

"Oh, pantes. Gue cari lo gak ada. Ternyata di deket ruang BK."

Adit mengangguk.

"Yo, yo. Poker, poker, poker poker." Teriak Jidan sambil menggenggam kartu poker milik Arya. Kali ini, Adit mencoba tuk main. Aku perhatikan saksama. Semahir apa Adit bermain kartu poker?

"Ah, sialan!" Jidan memukul lantai.

"Kenape, tuh?" "Kalah ape nih?" Arya berbahak-bahak. Tawa anak-anak yang bermain poker menjadi pecah. Ternyata, Jidan yang kalah di akhir permainan. Aku ikut bergelak tawa. Mata ini keluarkan air, karena sampai terbahaknya aku melihat wajah Jidan.

"Push up dong, kan kalah." Celetuk Adit.

"Ogah amatan gue, kan gak ada peraturan kayak begitu." Jidan memukul kepala Adit.

"Lo yang ngajakin. Lo juga yang kalah, gak malu?" Sekarang giliran Fadhil yang mengejek-ejek Jidan.

"Bacot banget lo." Muka Jidan memerah, entah malu atau marah. Tawa masih saja keras. Masih belum puas menertawakan Jidan.

"Yaudah, yaudah. Sekarang lo yang ngocok kartunya." Kata Fadhil sedang memberesi kartu poker yang berserakan di lantai.

"Yaudah, sini. Gue yang ngocok." Kelas ini memang berisik dan keras kepala kalau dinasehati guru. Tapi, itu bisa menjadi sebuah hal yang dirindukan ketika sudah sampai di ujung kelulusan. Aku sengaja, selalu nimbrung di meja belakang. Aku juga butuh tawa, meski itu hanya sebentar saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!