Sudah 7 tahun. Aku, Mama, dan kedua adikku. Mengontrak rumah di daerah Pancoran. Kini, kami terpaksa pindah rumah. Karena, kata Mama. Kami sudah tidak bisa lagi membayar kontrakan yang melambung tinggi. Penghasilan Mama semasa pandemi menjadi turun drastis. Netraku selalu berkaca-kaca. Kalau, teringat perjuangan Mama. Yang begitu gigih. Aku pindah rumah di daerah Kalibata. Tidak jauh dari rumah Uwa dan tidak jauh dari tempat sekolah. Rumah yang kini aku tempati hanya sepetak saja. Tapi, tak mengapa. Syukuri, nikmati, jalani. Aku yakin. Suatu saat nanti, aku bisa membelikannya rumah megah nan mewah untuk Mama. Aku juga tak pernah menuntut Mama untuk dibelikan barang ini-itu. Aku cuma bisa menghamba dengan lara, di hadapan Sang Maha Kuasa. Aku meminta pada-NYA. Aku ingin menjelma mimpiku. Demi membahagiakan Mama dan kedua adik.
Aku membantu Mama membersihkan dan membereskan barang-barang. Meletakkan barang pada rumah yang sepetak itu. Memang riweh. Tapi, Mama selalu bisa menatanya dengan rapi. Aku hanya disuruh membersihkan debu saja. Katanya, aku jangan ikut campur dalam menata barang. Nanti, bisa-bisa pecah semua. Padat, engap, sumpek. Menjadi satu-berpadu. Tidur malam pun, tidak begitu nyenyak. Kipas angin pun rusak. Karena, tertumpuk banyak barang pas pindahan. Terlelap tanpa kipas angin. Mengembunkan keringat di wajah. Serasa disengat cahaya matahari. Padahal, ini malam hari. Dengan, sengaja. Aku mencari buku tulis bekas. Untuk kujadikan kipas. Mama dan kedua adikku. Sudah begitu terlelap. Aku tatap wajah mereka dengan penuh kasih. Aku tahu. Mama berjuang mati-matian. Demi masa depanku cemerlang. Tak akan kulupa perjuangannya.
"Aku kan laki-laki satu-satunya. Jangan berhenti di tengah jalan." Kataku dalam hati.
...***...
"Rumah lo pindah, ya?" Tanya Keza. Aku main ke rumah Uwa. Yang jaraknya dekat dengan rumah mungil itu.
"Yoi."
"Pindah di mane?"
"Di Gang Antik."
"Gila, deket. Sering-sering aja, lo ke sini."
Aku hanya manggut-manggut. Kami biasa main di depan rumah Uwa. Aku tak menggubris tugas yang membludak.
"Maen bola, kuy." Ajak Keza.
"Gila, lo. Panas begini maen bola." Celetuk Isan. Keza cengar-cengir. "Ke kamar bang Aan aja." Kataku menepuk pundak Keza. Kami berdiam diri dan menonton TV di dalam kamar yang jarang diurus itu. Biarlah, daripada harus diserang sengatan sinar matahari yang membelangkan kulit. Kami hanya bertiga. Karena, Fadli sedang di rumah nenek. Dan, Wisnu sebentar lagi pasti ia akan datang. Karena, ia tau. Jam-jam segini, adalah waktunya untuk kami berkumpul.
"Mao nonton acara apaan?" Tanya Keza mengutak-atik remote TV.
"Spongebob, biasalah." Acara yang jenaka itu membuat kami menganga. Sekejap tertawa. Sekejap mata juga merasa kantuk. Karena, kipas angin yang berputar di atas sangatlah menggoda suasana. Kami lantas tak sadarkan diri. Rasa kantuk merajalela. Satu bantal untuk bertiga.
"Woi!!! Woi!!! Buka." Wisnu berpekik dari luar kamar. Menggedor-gedor pintu. Aku terbangun sejenak untuk membuka pintu.
"Brisik, lo." "Kalo, mau tidur juga. Sini, nimbrung." Kataku. Kini kepala menjadi empat di satu bantal. Kami memang tertidur benar-benar tertidur. Tv masih menyala. Seakan, seperti orang gila. Ngoceh sendiri.
"Ya Allah. Nih, pada ngapain sih? Kunci kok dikunci." Gedoran Uwa di depan pintu kamar. Aku tak menjawabnya.
"Pantes. Pada tidur." Kata Uwa melihat dari lubang kecil di bagian pintu.
Aku menggeliat. Lantas, langsung beranjak dari bantal. Sudah lama juga aku tertidur. Hanya, aku yang terbangun. Air terjun mengalir deras dari mulut Keza.
"Ih. Najis. Jorok banget." Kataku merasa jijik melihat pemandangan itu.
Hingga sore menjelang. Sang fajar menjadi jingga rupanya. Wisnu, Isan, dan Keza. Mereka melihat sekeliling kamar. Mencariku. Disusulnya aku, yang sedang makan di rumah Uwa.
"Gue kirain lo kemana." Kata Wisnu cengar-cengir.
"Yehh. Lo tuh, tidur lama bener." Sebenarnya aku juga, kalau tidur tidak kenal waktu. Tapi, biarlah sok kalem aja di depan Wisnu. "Oh, iya. Yang lain udah pada bangun?." Tanyaku dengan mulut yang melahap lauk-pauk.
"Udah pada bangun. Isan katanya balik dulu. Dia mau mandi." "Gue balik juga. ya. Mau mandi juga." Pamit Wisnu sembari mengibaskan bajunya. Sepertinya, ia nampak kegerahan.
...***...
Bintang mungil sudah menampakkan wajahnya di bentangan alam raya. Kesunyian mulai menghampiri. Aku pulang ke rumah. Karena, besok hari seperti biasa. Belajar dari rumah. Sungguh, bikin beban saja.
"Woi. Gue balik dulu. Soalnya besok gue sekolah online." Aku pamit pulang pada mereka bertiga; Wisnu, Keza, dan Isan.
"Sama. Gue juga besok sekolah online, udah gitu tugas banyak banget." Sahut Isan. Aku hanya terkekeh melihat mimik muka konyolnya.
"Yaudah, hati-hati." "Besok, lo ke sini lagi, kan?" Tanya Keza. Aku manggut-manggut.
Sesampai rumah. Aku kembali berkeringat. Bukan, hanya tak dihembus angin malam. Hanya saja. Karena, padat barang yang bertumpuk bagai gudang terbengkalai. Belum semua Mama bereskan. Lusa, hari libur tiba. Aku akan membantunya. Membereskan rumah. Tiba-tiba saja. Aku teringat benda mungil kesayanganku. Aku mencarinya. Ternyata, aku menyimpannya di dalam lemari. Semenjak, sekolah di rumah. Aku menjadi malas bermain sosial media. Sudah berhari-hari. Aku hilang tanpa mengabari Maulidiya. Bukan, tidak mau berkabar. Aku hanya tidak ingin diserang babi buta oleh tugas.
Sederet panggilan telepon dari Maulidiya. Aku menghitung deretan riwayat telepon itu. Ternyata, berjumlah 15 panggilan darinya. Aku langsung merasa tidak enak hati. Jantung berdegup kencang. Entah, pertanda apa ini. Jemari seakan kaku untuk mengirim pesan untuknya. Ah, sudahlah. Aku paksakan saja. Kata batinku.
'Pagi, cantik.' godaku genit. Tiba-tiba saja ia online
'Pagi, juga. Darimana aja, sih?'
'Ngilang, mulu.'
'Maaf, ya. Aku cuma males buka hp. Karena, tugas banyak. Udah, gitu. Numpuk lagi.'
'Seenggaknya ngabarin.'
'Kamu, ada masalah apa sih?' pertanyaan itu membuatku termenung. Seketika aku diam tak membalasnya.
'Hey.'
'Kok cuma di baca?'
Dringg...
Mendengar bunyi nada dering hp. Aku langsung reflek mematikannya. Setelah, kulihat ternyata itu panggilan Maulidiya. Mungkin, dia sengaja untuk membuyarkan lamunanku.
'Eh, eh. Aku gapapa kok.' jawabku geragap.
'Kalo kamu gapapa, kenapa chat aku cuma dibaca?' ambeknya mulai terlihat.
'Sebenarnya...' aku perlahan untuk menceritakan.
'Apa?'
'Sebenarnya... Aku bukan ngilang tanpa kabar. Aku cuma mau merenung sendiri. Aku capek sama hidup. Enggak mungkin aku harus berhenti berjuang di tengah jalan. Aku juga gak mau, buat kamu bosan. Apalagi, buat kamu kecewa. Maaf, ya.' perlahan mata berkaca-kaca.
'Ya, ampun. Aku justru seneng lohh. Bisa ketemu sama kamu.'
'Kita juga sama-sama lagi berjuang.'
'Kamu, gak sendiri. Dan, begitupun aku. Aku gak sendiri.' katanya panjang lebar tapi itu bermakna.
'Maaf, ya. Kalau aku sering ngilang.' serpihan kata maaf yang terungkap dari relung hati.
'Iya, gapapa. Aku paham sekarang.'
'Udah, ya. Jangan sedih lagi dong. Nanti, gantengnya luntur.' ia berusaha membuatku tersenyum meski hanya sebatas tulisan.
'Hehehe, iya-iya.'
'Yaudah, kamu belajar gih. Kan, katanya berjuang.'
'Kalo belajar online itu males bawaannya.'
'GAK BOLEH MALES! ANAK LAKI HARUS SEMANGAT!' uwuuu sebenarnya aku suka dengan sikapnya. Kadang, ambekan. Kadang juga, manja.
'Iya, iya. Aku gak males lagi.'
'Nah, gitu dong.'
Dengan terpaksa. Setelah mandi, aku mengerjakan tugas yang sudah menggunung. Tidak semua aku kerjakan. Paling cuma beberapa tugas saja. Seperti; pelajaran agama, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan sosial. Yang kerap disingkat IPS. Hanya itu saja yang aku kerjakan. Tugas matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa Inggris. Aku biarkan saja. Apalagi, seni budaya. Aku memang suka seni. Tapi aku tak suka dengan pengajarnya. Bengis sekali parasnya bagai raja rimba.
Aku rentangkan tangan, narik-narik urat tangan. Serasa pegal sekali untuk menulis materi yang berjibun. Hanya bisa ngeluh. Bukan, karena ingin rapuh. Tapi, hati menolak sekali untuk belajar dari rumah. Lagi, lagi. Aku ngedumel sendiri karena tugas. Mata juga tersengat rotasi layar hp. Kalau terus-menerus belajar online. Ah, kapan pandemi akan berakhir. Kata batinku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments