Ada sebuah cerita. Cerita yang bertahan sudah sangat lama sekali. Ini adalah kisah pertempuran antara pahlawan dengan seekor naga.
Bunyi sangkakala terdengar begitu keras di luar kota. Warga-warga kota dibuat kebingungan dan juga terganggu karenanya, sehingga mereka berbicara kepada para pahlawan.
Beginilah kata mereka : Apakah bunyi sangkakala itu sehingga memekakkan telinga kita ? Baiklah kalian semua memeriksa nya, kalau-kalau ada ancaman di luar sana.
Maka, dilakukannya lah seperti apa yang diminta para warga tersebut. Kelima pahlawan itu pergi ke luar gerbang kota, dan terlihatlah para penyerang sudah berkumpul di luar sana bagaikan pasir di tepi pantai.
Maka kata salah satu pahlawan itu : Mereka datang untuk menyerahkan diri mereka ! Jadi ada baiknya lah kalau kita membalas niat mereka itu !!
Maka, dilakukannya lah seperti apa yang dikatakan oleh pahlawan itu. Dikumpulkannya lah pasukan-pasukan terbaik mereka, dan dari seluruhnya ada sekitar 500 orang, dan mereka semua adalah yang terbaik di antara yang lainnya.
Di sisi lain, para penyerang masih berbaris, meniupkan sangkakala mereka. Bergeming ketakutannya lah mereka, sebab yang ada di depan mereka adalah yang mengalahkan mereka waktu itu. Maka berteriak lah seorang di antara mereka, yang paling depan sebagai pemimpin.
Katanya : Bertarung lah seperti seorang pria !! Maka akan terjadi kiranya seperti yang dijanjikan naga itu kepada kita !!
Semakin keras lah sangkakala itu ditiupnya oleh mereka, sebab naga itu pernah berkata : Beginilah kiranya engkau memanggil bala bantuan ku. Tiuplah sangkakala sekeras mungkin, supaya ketakutannya lah mereka itu. Sebab, hanya dalam ketakutan manusialah aku dapat hadir di antara kalian-kalian.
Makin sebal lah kiranya para pahlawan itu, sebab telinga mereka menjadi semakin dipekakkan oleh bunyi sangkakala itu.
Maka, berteriak lah orang yang ada di paling depan. Beginilah yang dia katakan : Hentikan lah kiranya sangkakala kalian itu !! Sebab kami tidak akan bergeming ketakutan sedikitpun hanya dengan sangkakala saja ! Serang !!
Maka maju lah mereka semua, para pahlawan dan 500 pasukan terbaik itu. Pedang mereka terhunus ke atas langit, dan derap kaki mereka bagaikan gemuruh dari gempa bumi. Semakin ketakutan lah para penyerang itu, sebab salah satu dari mereka yang ada di paling depan, telah tewas oleh panah. Dalam sekejap mata, telah dibantainya para penyerang itu oleh para pahlawan. Tersisa satu dari antara mereka, yang berlari menyelamatkan diri dari kejaran pahlawan sambil meniupkan sangkakala.
Sebab, beginilah harapnya : Akan dibalaskannya dendam teman-temanku itu oleh naga !!
Dan terjadilah demikian, seperti yang diharapkannya. Naga muncul di hadapan orang itu, dan bertanyalah sang naga itu kepadanya.
Begini tanyanya : Hai, manusia pemberani. Di manakah kiranya teman-temanmu itu ? Dan kenapa pula engkau sangat ketakutan ?
Maka dijawabnya oleh orang itu : Kami semua telah dibantai !! Maka tersisa lah hanya aku seorang diri. Sebab akulah yang paling lemah, dan mereka semua melindungi aku !
Maka, naga itu menjawab demikian : Baik lah perbuatan mereka itu. Selamatkan lah dirimu, wahai manusia. Sebab sekarang lah telah tiba waktunya, bagi ku untuk berperang membela engkau !!
Maka terjadilah demikian. Sang naga bertarung sendirian, melawan para pasukan bala tentara pahlawan. Dikalahkannya mereka dalam sekejap mata, dan dibuat mundur lah mereka ke kota.
Sebab, beginilah perkataan mereka itu : Naga itu datang untuk membakar kota kita !!
...****************...
Scene 4 : Let the Curtain Falls
“Chalybe, apa kamu tahu yang namanya Opera ?”
Chalybe bersama dengan hologramnya sedang berdiri berhadap-hadapan dengan tuannya yang duduk di singgasana saat ini. Interior di dalam spaceship terlihat begitu gelap, dan hanya secercah cahaya dari hologram Chalybe saja lah yang menjadi sumber cahaya utama di sana. Walaupun wajahnya terlihat tidak berekspresi, namun dalam hatinya, Chalybe dibuat begitu kebingungan dengan pertanyaan tuannya yang aneh.
“Maaf ? Tapi saya tidak begitu paham dengan yang namanya Opera. Apa itu sebenarnya ?”
“Sejarah manusia sebelum semua ini terjadi selalu dipenuhi dengan kebiasaan aneh yang luar biasa, dan kamu juga tidak perlu memahami nya. Aku hanya ingin memberitahu mu kalau yang kita lakukan saat ini, adalah sebuah pertunjukan Opera juga.” jawab sang tuan yang sedang menyandarkan kepalanya di atas tangan.
“Apakah Opera selalu seliar ini saat dilakukan oleh manusia ? Ternyata mereka bukanlah makhluk yang sebaik yang kita kira.”
Sang tuan dibuat sedikit tertawa kecil melihat Chalybe yang masih kebingungan itu. Ia pun akhirnya menegakkan kepalanya kembali.
“Tidak, tidak. Aku hanya ingin membuat ulang pertunjukan Opera itu supaya terasa lebih nyata. Lagipula, mereka lah yang membuat ceritanya, dan aku hanya mengikuti alurnya saja.”
Sang tuan beranjak dari singgasananya, dan kemudian berjalan beberapa langkah untuk mengamati kekacauan yang baru saja dia ciptakan dengan pasukan warden nya. Chalybe kemudian mengikuti sang tuan mengamati kekacauan yang sedang terjadi di bawah sana, kota manusia. Mau dilihat dari sisi manapun, tuannya itu terlihat sangat senang saat ini.
“Cerita tentang naga dan pahlawan, dan saat ini aku sedang membuat naganya.”
Beberapa saat kemudian, sang tuan merentangkan kedua tangannya, dan secara tidak langsung juga membangkitkan para pasukan miliknya yang tersisa di spaceship.
“Jadi.... Biarkanlah tirai pertunjukan itu jatuh. Supaya pertunjukannya, bisa segera dimulai !!”
...****************...
Scene 5 : Catastrophe of the Dragon
Pusat ruang bawah tanah Grandbeltz, ruangan Matrix.
“Aku sudah menduga kalau kamu butuh bantuan ku untuk menyalakan itu, bukan, Aerius ?”
Aerius yang sedang berbaring di kasur penuh dengan pemesinan medis pun menoleh ke arah pintu the Matrix yang berada jauh di samping kiri. Terlihat seseorang masuk dengan berjalan cepat, segera menghampirinya dengan wajah agak panik. Aerius pun memegangi tongkat yang ada di samping kanannya, dan berusaha untuk bangkit berdiri dari kasur medis itu dengan susah payah.
“Ah, ternyata itu kamu, Vir. Hah, aku menunggumu sudah lama sekali. Apa yang terjadi sebenarnya ?”
Vir membantu Aerius untuk berdiri dan juga berjalan menuju ke sebuah platform besi berbentuk lingkaran besar dengan beberapa cincin raksasa di sekitarnya, yang terletak tidak jauh di depan mereka.
“Jangan kaget, dan jangan paksakan dirimu juga. Para warden menyerang kota lagi, bersama dengan beberapa monster aneh yang misterius. Warga-warga sedang menunggumu untuk mengaktifkan portal Matrix ini, jadi cepatlah.”
Tiba-tiba Aerius menghentikan langkahnya begitu mendengar kata monster, kemudian menoleh ke arah Vir dan menatapnya dengan tajam.
“Monster ?”
“Sudah kubilang, jangan pedulikan mereka.”
Vir terlihat sangat memaksa, sehingga Aerius pun menghela nafasnya dan juga mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi. Namun di saat itu juga, sebuah getaran yang dahsyat dapat dirasakan oleh mereka berdua, membuat Vir harus menarik pedangnya dari sarungnya.
“Apa itu !?”
“Jangan pedulikan mereka, Aerius !! Masih ada ribuan warga yang sedang menunggumu di atas sana membuka portal sialan ini ! Cepatlah !!” seru Vir sambil memegangi pedangnya dengan dua tangan sekarang.
Beberapa saat kemudian, yang ditakutkan oleh Vir pun benar-benar terjadi. Berbagai warden dan juga monster-monster aneh yang tidak diketahui keluar dari segala arah mengerumuni mereka berdua. Tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi di sekitarnya, Aerius menyalakan tongkatnya yang seketika diselimuti oleh petir berwarna kuning, dan setelah itu menghentakkan tongkat itu ke lantai. Raungan yang keras pun keluar dari tongkat itu, namun tidak ada apa-apa yang terjadi saat ini. Seharusnya, saat raungan keras tersebut dihasilkan, platform besi lingkaran bersama dengan keenam cincinnya itu mulai berputar dan membuka gerbang yang di luar sana untuk membiarkan para warga dapat masuk ke dalam bunker bawah tanah satu-satunya di Grandbeltz. Namun yang kali ini, platform beserta keenam cincinnya tersebut hanya bergetar sedikit saja, setelah itu berhenti kembali.
“Vir ! Platform nya tidak mau terbuka ! Seperti ada sesuatu di bawahnya !!”
“Apa !!?”
Karena dipanggil, Vir pun menoleh ke arah Aerius, yang tanpa sadar dirinya telah ditarget oleh beberapa monster dan juga warden dari kejauhan.
“Cih, sialan.” gumam Vir.
Vir pun berusaha untuk menyelamatkan Aerius dari mata buas kerumunan warden dan monster. Namun saat ia sedang berlari menghampiri Aerius, langkahnya dihentikan oleh beberapa tembakan warden dari belakangnya, menciptakan asap tebal yang menghalangi penglihatannya.
“AAAARGGH !!”
“Aerius, apa yang terjadi di sana !?”
Vir terlihat sangat panik saat mendengar teriakan kesakitan Aerius itu. Ia sempat menebas beberapa monster dan warden yang mengelilinginya, dan setelah dirasanya ada sedikit celah untuk berhenti menyerang, Vir pun menoleh ke belakang lagi untuk sementara waktu. Pertanyaannya tentang apa yang sedang terjadi pada Aerius masih ada di dalam kepalanya, namun itu terjawab seketika saat Vir kemudian melihat seekor monster raksasa berupa ular besi baru saja melahap Aerius bulat-bulat. Asap yang masih membumbung tinggi pun bahkan tidak menghalangi matanya menyaksikan kejadian mengenaskan yang dialami oleh Aerius itu. Vir menggertakkan rahangnya, dan saat itu juga, Vir mengamuk sejadi-jadinya. Pedang dua tangan miliknya seketika diselimuti oleh aura berwarna kuning yang membentuk sebuah pedang yang jauh lebih besar dan panjang lagi, dan Vir menggunakannya untuk membantai para monster dan warden yang terus-menerus mengerumuninya itu.
Sementara itu, di menara bunker kota Grandbeltz. Elizabeth dan Rex terlihat sedang berdiri bersebelahan di balkon menara pengawas itu. Di bawah mereka, adalah kerumunan para warga yang sudah menunggu tidak sabar supaya gerbang bunker bawah tanah itu terbuka. Tangisan, jeritan, dan juga berbagai kekesalan dilontarkan kepada mereka berdua oleh para warga. Sementara di kejauhan, di belakang kerumunan warga itu, Ferre, Fradelle, dan juga banyak pasukan Grandbeltz yang lainnya sedang berusaha menahan berbagai serangan monster raksasa di luar sana. Elizabeth dan Rex sedang ingin membicarakan sesuatu, namun bising yang berasal dari para warga itu memekakkan telinga mereka dengan begitu keras, sampai-sampai Rex pun merasa terganggu karenanya. Rex membuka pintu di balkon itu, kemudian menyuruh Elizabeth untuk ikut masuk dengannya.
“Kita bicarakan ini di dalam saja, Elizabeth.”
“Tapi-“
“Pembicaraan ini juga untuk mereka, bukan ?”
“Ah.... Uhm, baiklah.”
Elizabeth sempat menoleh sejenak ke arah para warga yang sedang berkumpul di luar itu, sebelum akhirnya mengikuti Rex untuk masuk ke dalam ruang istirahat di belakang pintu balkon. Elizabeth memasuki ruangan itu sambil menutup pintunya, dan di wajahnya masih terlihat perasaan khawatir yang begitu jelas.
“Rex, Ferre dan Fradelle tidak bisa menahan ini lebih lama lagi. Mereka menahan begitu banyak serangan dari berbagai arah secara bersamaan !”
“Aku tahu itu. Bagaimanapun juga, mereka terlihat sangat menikmati bertarung dengan mereka saat ini.”
Elizabeth sempat tersenyum kecil saat itu, namun senyum itu tidak bertahan lama sebelum akhirnya digantikan oleh rasa khawatir lagi.
“Yah, mereka selalu maniak perang sejak dulu. Tapi, bagaimana dengan para warga yang ada di bawah sana !? Monster-monster aneh itu pastinya tidak akan lama lagi sampai ke sini dari arah yang lain, kan !?”
Wajah Rex pun terlihat sama khawatir nya dengan Elizabeth. Namun ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak termakan oleh emosinya saat ini.
“Kalau masalah itu, kita tinggal menyerahkan pada orang yang ditugaskan-”
Pintu terbuka dengan sangat keras dan secara tiba-tiba, dan setelah itu Vir masuk ke dalam ruangan dengan nafas terengah-engah.
“Vir !? Aku kira kamu pergi ke bawah sana untuk membantu Aerius membuka pintunya. Kenapa sampai sekarang pintu bunker sialan itu masih belum terbuka juga !?” tanya Elizabeth yang sempat termakan emosi, sebelum akhirnya ditenangkan oleh Rex saat itu juga. Elizabeth menenangkan dirinya sendiri, bersamaan dengan Vir yang juga melakukan hal yang sama. Vir pun akhirnya terpaksa mengatakan penjelasan dan juga fakta yang menyedihkan itu.
“Aku memang turun ke bawah sana tadi, tapi monster dan warden juga sudah ada di sana... Menyerang kami. Dan Aerius-”
“Aerius KENAPA !?”
Walaupun sebenarnya Elizabeth sudah tahu dengan apa yang dikatakan oleh Vir selanjutnya, namun ia tetap saja masih bertanya. Betapa bodoh dirinya itu. Rex juga dibuat semakin tertekan saat mendengar berita buruk itu, sama seperti apa yang dialami oleh istrinya. Dengan sebuah keputusan yang sudah bulat di dalam kepalanya, Rex pun mengambil seruling dengan ujung seperti pisau itu dari dalam saku celananya, senjata utamanya yang dia miliki.
“Kalau begitu, sudah tidak ada pilihan lain lagi. Kita lakukan rencana B.... Evakuasikan warga dengan cara manual.”
“Rex ? Jangan lakukan itu....”
“Ini demi keselamatan para warga, Elizabeth.” ucap Rex dengan lirih.
Di saat itulah, mata Elizabeth mulai berlinang air mata. Ia sudah tahu akan ada kejadian buruk yang menimpa Rex jika rencana B itu dilakukan. Tidak hanya Rex, namun juga semua orang yang akan mengamankan jalan mereka hingga keluar dari gerbang kota.
“Vir... Kamu dan aku, bersama dengan beberapa tentara di sini, akan mengamankan jalan dan bertarung sampai mati melawan monster dan warden. Sementara Elizabeth, kamu, Ferre, dan juga Fradelle, akan memimpin barisan mereka dalam tiga rute yang berbeda. Berpencar pasti akan membuat mereka kesulitan untuk mengejar dan membantai kita secara langsung. Masing-masing dari kalian pergilah ke kota Tenebris, Aurora, dan juga Miseriae. Walaupun itu bukanlah kota yang baik, setidaknya ketiga kota itu paling dekat dengan kita dari sini dan juga aman dari serangan monster- warden sialan itu.”
Elizabeth termenung dalam kesedihan sejenak. Dalam telinganya, ia dapat mendengar suara-suara kesedihan dan kehilangan yang sebentar lagi akan segera datang menghampiri mereka. Namun, ini sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki kekuatan untuk menjaga orang-orang yang lemah dan tidak berdaya. Ini sudah menjadi tugasnya sebagai ratu dari Grandbeltz, dan Rex sebagai raja. Ini adalah tugas yang selalu diemban oleh Revolucio, untuk menjaga nyawa orang-orang yang lemah sejak dulu.
Dengan suara yang lirih, Elizabeth pun akhirnya menjawab perkataan Rex itu.
“Baiklah.... Aku sudah siap untuk melakukannya !!”
“Begitulah istriku yang seharusnya, ratu pertama dari Grandbeltz.” ucap Rex sambil tersenyum kecil. Ia kemudian menghampiri Elizabeth secara perlahan, dan setelah itu, keduanya saling berpelukkan dalam kesedihan, mengucapkan selamat tinggal dalam diam. Vir yang melihat itupun memegang erat pegangan pedangnya yang sedang tersarung. Ia bersumpah dalam hatinya, bahwa hal yang sama yang dialami oleh Aerius tidak akan terjadi juga pada Rex kali ini. Sang raja dan ratu tidak boleh saling dipisahkan oleh alam kematian, atau apa yang terjadi pada akhir cerita dongeng itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Tidak ada yang ingin akhir dari dongeng itu menjadi kenyataan, begitu juga dengan dirinya sendiri. Grandbeltz akan selamanya berdiri teguh, menjadi tempat aman satu-satunya bagi mereka yang membutuhkan perlindungan. Grandbeltz akan tetap selamanya... Menjadi surga bagi yang selama ini tersiksa dalam neraka, yang bernama Proelium.
“Kalau begitu, aku akan mengatakan ini pada para warga. Dan kalian berdua.... Beritahu Ferre dan Fradelle tentang ini.” ucap Elizabeth sambil mengakhiri pelukannya dengan Rex. Keduanya pun saling mengangguk paham saat itu juga.
...****************...
Elizabeth, bersama dengan Rex dan juga Vir, saat ini sudah ada di balik panggung yang berada tidak jauh dari pintu bunker bawah. Elizabeth dan Rex saling menatap satu sama lain sebentar, dan kemudian, mereka berdua pun saling mencium pipi, mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya dalam diam sekali lagi. Setelah itu, Elizabeth pun berpisah jalan dengan Rex dan Vir. Elizabeth pergi menuju panggung, sementara Rex dan Vir akan segera turun tangan dalam kekacauan yang ditimbulkan oleh monster dan warden di luar sana, sekaligus memberitahu Ferre dan Fradelle tentang rencana yang selanjutnya sekalian.
Elizabeth membuka pintu menuju panggung yang cukup besar itu seorang diri, dan di sanalah, matanya langsung disambut oleh kerumunan warga yang mulai mengamuk karena ketakutan.
“Kenapa bunker nya masih belum dibuka juga !?”
“Apakah kalian berniat untuk membuat kami semua mati di sini !!?”
“Biarkan kami masuk ke bunker itu !! Setidaknya anak-anak kami saja sudah cukup !!”
Kepanikan warga terdengar begitu bising di telinganya, namun Elizabeth menolak untuk naik pitam saat ini. Dan di sanalah, Elizabeth tampil di atas panggung dengan baju tempurnya, juga dengan pedang suci sebagai senjata utamanya. Ia memejamkan matanya sejenak, menenangkan pikirannya sendiri yang sedang tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada para warga di hadapannya, di bawah panggung yang cukup lebar itu. Setelah beberapa saat berpikir, Elizabeth pun membuka matanya kembali, membuang seluruh kegugupan dan perasaan negatif yang menyerang dirinya saat ini. Ia harus segera mengatakan ini dan melakukan rencana B itu, atau jika tidak, semua yang sedang bertarung di luar sana akan semakin kewalahan dan terpojok. Elizabeth pun menggunakan sihir pengeras suara untuk menenangkan warga yang masih saja berisik dalam kepanikan mereka sendiri itu.
“Warga-warga dari Grandbeltz yang kucintai sekalian, saya sebagai ratu di sini, mengharapkan kalian untuk tenang ! Sebentar saja, seraya aku mengabarkan berita buruk yang sedang terjadi saat ini.”
Riuh warga yang sedang berlangsung, seketika berubah menjadi keheningan saat itu juga. Bagaimanapun juga, kepanikan masih ada dalam hati tiap-tiap warga saat itu, karena Elizabeth yang mengatakan tentang kabar buruk barusan.
“Terima kasih.... Di sinilah, saya Elizabeth, ratu dari kota Grandbeltz berdiri. Dengan rasa bersalah yang teramat besar, terpaksa memberitahu kalian semua, bahwa pintu bunker ini tidak akan pernah terbuka bagi kalian, karena serangan para warden dan monster yang juga telah mencapai ke bagian dalam bunker ini.”
“APA KATAMU !!?”
“JADI BENAR, KALAU BAJINGAN SEPERTI KALIAN AKAN MEMBIARKAN KAMI MATI MEMBUSUK DI LUAR SINI !?”
“DAN KAMU MENYEBUT DIRIMU SENDIRI SEBAGAI RATU !!?”
Hati Elizabeth terasa begitu sakit dalam sekejap saja saat mendengarkan berbagai protes dan hinaan yang dilontarkan oleh para warga kepadanya. Namun dalam kepedihan itu, dirinya tetap memiliki keinginan yang sama untuk melindungi para warga yang bermuka dua di hadapannya ini.
“Kita semua tahu, bahwa kota Grandbeltz, telah berdiri kembali selama tiga tahun. Dibangun di atas Padang gurun gersang dengan suhu panas ekstrim saat siang, dan suhu dingin yang dapat membekukan manusia saat malam. Terlahir dari reruntuhan dan tanah yang hangus terbakar akibat kekejian para warden. Selama 50 tahun atau lebih, leluhur kita, hingga menurun kepada orang tua dan kita sendiri, telah hidup di dalam kota yang terasa seperti neraka ini. Namun 3 tahun yang lalu, kota ini telah terlahir hingga akhirnya menjadi seperti sekarang. Dan siapa yang telah membuat kota ini terlahir kembali hingga menjadi layak huni seperti sekarang, bebas dari ancaman para warden !? Kita, adalah orang-orang yang membangun kembali kota ini dari tumpukan tanah dan debu !! Dengan mimpi sama yang selalu turun-temurun dari leluhur kita, bersatu, dan akhirnya seluruh kerja keras selama ini terbayarkan. Kita telah bangkit dari serangan para penyerang, karena kita sama-sama menyatukan apa yang dimiliki diri kita selama ini !! Sebuah api semangat yang membara dalam hati kita, itulah yang membangun kota ini kembali dari reruntuhan. Dan sekarang pun, saat sang naga kembali, api dalam hati kita itu tidak akan pernah padam !! Aku, berdiri di atas panggung ini, untuk mengatakan bahwa takdir Grandbeltz tidak akan berakhir begitu saja karena naga itu !! Aku, ada di sini, untuk mengatakan bahwa akhir dari dongeng naga dan pahlawan itu tidak akan datang menghampiri dan menimpa kita hari ini juga !! Dan bahkan sampai selamanya pun juga akan tetap seperti demikian !! Anak-anak kita, akan tetap hidup dan membangun kota ini menjadi jauh lebih sempurna lagi, supaya orang lain yang menderita di luar sana, dapat ikut merasakan kemerdekaan yang berhasil kita raih ini ! Kita, dan anak-anak kita, akan membuktikan bahwa dunia ini bukanlah sebuah neraka yang bertahan untuk selamanya !! Aku, Elizabeth sebagai ratu Grandbeltz, di sini untuk mengatakan, bahwa kota Grandbeltz akan berdiri untuk selamanya !! Kita akan bertahan dari serangan naga itu !! Aku, sebagai ratu dari kota ini, akan mengatakan sekali lagi bahwa, kota Grandbeltz akan bertahan untuk selamanya !! Demi GRANDBELTZ !!”
Pidato panjang Elizabeth, terdengar tidak seperti bahwa itu tidak dihiraukan oleh para warga. Mereka dibuat menjadi seharu mungkin oleh kata-kata panjang Elizabeth. Mereka semua teringat akan akhir dari dongeng naga dan pahlawan itu. Sebuah akhir yang sangat mengerikan. Di saat itulah, hati mereka kembali terbakar oleh api semangat yang sama seperti dulu. Untuk pertama kalinya setelah kota Grandbeltz ini merdeka dari penindasan warden, mereka sekali lagi bersatu dalam tujuan yang yang sama. Keputusasaan, kepanikan, jeritan, dan amarah mereka terhadap Elizabeth waktu itu, kini telah dibuang jauh-jauh oleh mereka. Para warga akhirnya bersatu kembali, untuk mengalahkan sang naga itu bersama-sama.
“DEMI GRANDBELTZ !!!”
Para warga bersorak dalam satu suara, satu hati, dan satu tujuan yang sama. Itulah yang mengharukan Elizabeth saat ini. Ia menarik pedang sucinya dari sarungnya, dan menancapkan pedang tersebut di atas panggung, bersumpah.
Terima kasih, kalian semua. Aku berjanji, bahwa serangan naga itu, tidak akan pernah bisa menyentuh Kota ini. Bahkan jika bayangannya masih ada sekalipun, aku tetap akan maju dan memeranginya. Begitulah sumpahku sebagai seorang ratu, terhadap kota bernama Grandbeltz ini !!
Beberapa saat kemudian, para warga telah dibagi menjadi tiga barisan yang sangat panjang. Ferre dan Fradelle juga telah kembali dari garis depan digantikan oleh Rex dan Vir, dan mereka pun segera berlari menemui Elizabeth yang sedang mengamati segalanya. Setelah beberapa detik melihat kesana-kemari, sosok Elizabeth pun akhirnya ditemukan oleh mereka berdua. Fradelle lah yang paling pertama menghampiri Elizabeth dengan berlari seperti anak kecil, disusul oleh Ferre yang hanya berjalan dengan santai dan masih memegangi tombak merahnya. Ferre sempat tersenyum sebal karena melihat tingkah laku Fradelle yang selalu saja kekanak-kanakan itu.
“Elizabeth, aku sempat dengar pidato panjangmu tadi, lho ! Itu adalah pidato yang paling memotivasi sepanjang sejarah, tahu !!”
“Tidak ada waktu untuk mendengarkan pujian mu itu. Tapi terima kasih.” jawab Elizabeth dengan singkat tanpa menoleh sama sekali ke arah Fradelle.
“Ehhh, kenapa kejam begitu !!?”
“Yang dikatakan Elizabeth itu benar. Berhenti bercanda, Fradelle. Habis ini, kamu juga bakal mimpin salah satu barisan itu, bodoh !” kesal Ferre sambil menekan kepala Fradelle dengan tinjunya. Yang dilakukan oleh Ferre itu kelihatannya juga sama-sama membuat Fradelle menjadi kesal, hingga ia memanyunkan bibirnya.
“Baiklah, aku akan menjadi orang 'dewasa' sebentar saja. Ehem !!”
“Bukankah kamu tidak pernah jadi dewasa, Fradelle ?” sindir Elizabeth yang kali ini membalikkan pandangannya ke arah Fradelle yang ada di belakangnya, dan Ferre juga.
“Entah kenapa, tapi rasanya kata-katamu tambah lama tambah nyebelin, huh !!?” tanya Fradelle sambil mengepalkan tangannya dan berusaha menahan emosinya. Ferre dan Elizabeth tertawa kecil karena puas setelah itu. Faktanya, itulah yang selalu mereka lakukan sejak masih kecil. Mempermainkan emosi Fradelle yang mudah tersinggung.
“Ratu Elizabeth, semuanya sudah siap ! Begitu juga dengan rutenya !!”
Tawa kecil mereka berdua berhenti di saat itu juga oleh seruan salah satu prajurit dari kejauhan. Ketiganya pun menoleh ke arah sumber suara itu, dan masing-masing menyiapkan diri mereka dalam hati untuk yang selanjutnya.
“Sepertinya ini akan segera dimulai. Bukankah begitu, Ferre ?”
“Sepertinya begitu.” jawab Ferre dengan singkat.
Elizabeth menghela nafasnya sebentar sambil memandang ke seluruh barisan para warga, sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah Ferre dan Fradelle.
“Baiklah, sepertinya aku akan memilih barisan paling tengah untuk dipimpin. Kalau kalian ?”
“Aku pilih kanan.” jawab Ferre mendahului. Dan tersisa lah barisan untuk Fradelle pimpin. Barisan yang dimana banyak anak-anak dan remaja yatim-piatu biasa, yang menurutnya pasti akan sangat menyebalkan. Fradelle lagi-lagi terlihat sangat kesal.
“Haaah, kayaknya ga ada pilihan lagi, huh ? Kalo gitu, selamat berpisah. Hati-hati kalian berdua !!” seru Fradelle sambil berjalan menuju barisan kiri dan menyeret kapak besarnya di tanah.
“Jangan mati juga, bocah.”
Sindiran Elizabeth itu lagi-lagi terbukti sangat ampuh untuk membuat Fradelle mengamuk kembali, yang dengan segera menghentikan langkahnya dan langsung menoleh ke Elizabeth dengan wajah kesal nan imutnya itu.
“Jangan panggil aku bocah, bangsat !!
Ferre dan Elizabeth kembali dibuat tertawa oleh kekesalan Fradelle, sementara Fradelle sendiri, lagi-lagi memanyunkan bibirnya.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun akhirnya saling berpisah satu sama lain, berjalan menuju barisan yang akan mereka pimpin menuju kota tujuan masing-masing.
...****************...
Elizabeth dan barisannya telah meninggalkan area bunker itu, dan kini sedang berjalan di antara rumah-rumah warga yang telah hancur akibat berbagai macam serangan dari para monster dan juga warden. Walaupun pemandangan di sekitar cukup kacau, jalanan sejauh mata memandang sangatlah sepi, sudah tidak ada monster ataupun warden sama sekali.
ini semua pasti karena kerja keras Rex, Vir, dan yang lainnya. Mereka semua telah mengamankan jalan untuk evakuasi, dan itu berarti adalah saatnya bagi kami segera keluar dari Grandbeltz. Terima kasih semuanya !!
Elizabeth menoleh ke arah barisan para warga yang dipimpinnya, yang hampir sebagiannya adalah perempuan dari segala umur, dan juga pasukan-pasukan yang menjaga mereka semua.
“Semuanya, jalan ini sudah diamankan sejak lama. Itu artinya kita bisa segera pergi meninggalkan kota ini. Tingkatkan kecepatan gerak kalian !!”
“Baik !!”
Semuanya terlihat setuju dengan yang dikatakan Elizabeth. Mereka pun akhirnya mulai berlari di antara puing-puing kota, dan semakin dekat dengan gerbang kota Grandbeltz. Para pasukan juga sambil mengawasi sekeliling mereka, kalau-kalau ada bahaya yang terlihat.
Hingga akhirnya sampailah mereka di luar gerbang kota, dan saat ini sedang melewati jalan menanjak yang dikelilingi oleh tebing curam dari dua arah sekaligus. Perjalanan mereka selama ini terbilang lancar-lancar saja, bahkan tidak ada serangan warden atau monster sekalipun. Beberapa warga dari barisan Elizabeth terlihat mulai kelelahan, dan beberapa juga ada yang mulai merengek, kebanyakan adalah yang masih bayi hingga umur 5 tahunan. Butuh berjam-jam untuk mencapai jalanan yang menanjak ini, dan semua yang dilakukan oleh para perempuan dalam barisannya boleh dibilang cukup masuk akal. Beberapa juga ada yang menghentikan langkah mereka dan menoleh kembali ke arah kota kesayangan mereka, Grandbeltz, yang telah hancur lebur hingga menyisakan asap yang membumbung tinggi hingga ke langit sana. Namun mereka segera disuruh para pasukan untuk segera melanjutkan berjalan kembali.
Kecepatan mereka mulai melambat, dan baik Elizabeth, para pasukan, maupun barisan mereka berjalan dengan santai saat ini. Dari kejauhan, mata Elizabeth sudah tidak melihat adanya para monster aneh itu yang menghalangi jalan mereka di depan, maupun para warden yang terbang di langit atas.
Hei, Elizabeth.... Ini.... Aku, Fradelle.
Elizabeth saat itu juga menjadi terkejut dan menghentikan langkahnya segera, diikuti dengan isyarat berhenti yang muncul dari gerakan tangannya. Baik para pasukan maupun barisannya, semuanya berhenti saat itu juga dan dibuat kebingungan.
“Ratu Elizabeth, ada apa ?”
“Sebentar saja. Fradelle menghubungi ku lewat telepati. Dan dari suaranya, dia terdengar seperti... Terluka parah.”
“A-apa yang terjadi dengan nyonya Fradelle !?”
Para warga bertanya dalam kekhawatiran dan juga ketakutan. Bukankah itu berarti baru saja terjadi serangan di sana ?
Barisan ku diserang..... Dan aku sendiri juga terluka parah.... Elizabeth, kenapa sepertinya.... Aku sudah dekat dengan kematian ?
“Jangan bilang seperti itu, Fradelle !!”
ini menyakitkan..... Aku.... Benar-benar..... Sakit....
.....
Tidak ada kelanjutan dari telepati Fradelle. Semuanya hening, berhenti dengan seketika. Elizabeth hampir menjatuhkan air mata saat itu juga, namun keadaan memaksanya untuk tetap kuat saat tidak lama setelah itu, monster-monster mulai bermunculan dari dalam tanah dan meraung dengan keras ke arah Elizabeth dan seluruh barisannya.
“Kyaaaa !!” teriak seluruh barisan itu.
“Semuanya, lindungi barisan kita !! Jangan biarkan ada satu yang terluka sedikitpun dari mereka !!”
“Baik, ratu Elizabeth !!”
Elizabeth menatap tajam para monster itu, kemudian menarik pedang sucinya keluar dari sarungnya. Elizabeth menggeram karena kesal, tidak jauh berbeda dengan para monster itu.
“Setengah dari kalian, maju bersama ku melawan monster-monster ini !! Dan yang setengahnya lagi, lindungi barisan kita !!”
“Mengerti !!”
Dan begitulah. Elizabeth maju melawan para monster di hadapan yang berbentuk mirip dengan kalajengking dari besi bersama dengan setengah dari pasukannya. Sementara itu, setengah yang lainnya berdiri di sekitar barisan Elizabeth melindungi mereka semua. Elizabeth menebas, menusuk, dan terkadang, juga terpaksa untuk memotong bagian tubuh para monster itu. Walaupun tubuh monster itu nampak sulit untuk dipotong ataupun diserang bagi prajurit yang lainnya, itu tidak berlaku bagi Elizabeth yang dapat dengan mudahnya membunuh 3 monster secara langsung dengan ledakan suci dari pedangnya. Beberapa prajurit sudah terluka begitu saja bahkan saat pertama kalinya mereka maju bersama dengan Elizabeth, sementara yang lainnya bisa dibilang cukup beruntung untuk bertahan lebih lama daripada rekan mereka yang lainnya.
“Cih ! Jangan menyerah, semuanya !! Monster sialan ini masih bisa dibunuh dengan pedang kita !!”
Walaupun seruan Elizabeth cukup keras, tidak ada yang mendengar ataupun menjawab sama sekali. Semuanya terlihat sedang disibukkan oleh serangan para kalajengking monster yang semakin lama semakin beringas. Walaupun ketakutan mulai membuat bulu kuduk mereka berdiri, para prajurit yang pemberani itu masih berjuang sekuat tenaga mereka untuk menyerang balik para kalajengking monster yang haus akan darah itu. Walaupun situasi mulai menjadi semakin sulit, namun keadaan mereka masih jauh dari kata terpojok. Masih ada kesempatan untuk membalikkan keadaan, setidaknya sampai seseorang menyerukan kabar terburuk mereka.
“Warden !! Para warden mulai berdatangan !!” seru salah satu prajurit yang telah kehilangan tangan kirinya sambil menunjuk ke atas langit. Setelah mengalahkan monster kalajengking yang lainnya, Elizabeth pun mendongak ke atas. Benar saja, beberapa warden penembak terlihat dengan jelas sedang terbang di langit, dan tak lama kemudian, warden paling depan menembakkan laser pertamanya langsung ke arah barisan Elizabeth yang ada di belakang.
“Sialan ! Dasar warden sialan !! Pemanah, tembaki mereka-” seru Elizabeth sambil menoleh ke belakang.
Namun, tidak ada satu pemanah sekalipun yang menjawab perintahnya itu dengan setidaknya satu tembakan saja. Mereka semua sudah kacau balau, diserang oleh ekor dari beberapa monster kalajengking yang muncul dari dalam tanah, bersama dengan barisan yang dipimpinnya. Teriakan para perempuan yang ada di kelompok itu menggelegar hingga mencapai ujung dari langit ketujuh. Ada yang menjerit karena kesakitan, berteriak histeris karena kehilangan sosok yang mereka sayangi, dan ada yang menangis karena ketakutan.
“Anakku tertusuk !! Tolong, anakku tertusuk !!”
“Jangan ambil Emily !!”
“Kyaaa !! Tanganku ke mana !!?”
“Kepalanya menghilang.... KEPALANYA MENGHILANG !!!”
Amarah Elizabeth meluap seketika. Kekejian yang terjadi di depan matanya, perempuan-perempuan itu tidak layak untuk menerimanya. Ia menggeram, dan menatap para warden yang seolah tidak merasa bersalah dengan sangat tajam. Tangannya semakin erat memegang pedang suci miliknya, dan di saat itu juga, sihir yang ada di dalam tubuhnya keluar menyelimuti pedangnya dalam jumlah yang sangat besar.
“Kalian warden bangsat..... Pergilah Ke Neraka Sekarang Juga !!!!”
Elizabeth melompat setinggi mungkin dengan kekuatan penuhnya. Ia mengangkat pedang sucinya yang mengeluarkan aura sihir yang memanjang hingga ke langit atas, dan setelah itu menghantamkan pedangnya ke tanah saat mendarat kembali. Sihir yang memanjang dari pedangnya itu telah meledakkan dan menghancurkan semuanya, hingga satu warden di udara tidak terlewat sekalipun. Namun keadaan tidak akan berubah begitu saja hanya karena ia telah mengeluarkan seluruh kekuatan penuhnya. Monster-monster yang lain mulai bermunculan dari balik bebatuan besar. Kebanyakan dari mereka berbentuk seperti beruang dan burung elang mekanis, yang pastinya tidak kalah merepotkannya dari monster kalajengking yang mereka lawan barusan.
Berbagai suara mengerikan terdengar dari belakang sana. Pecahan baju armor, pedang yang patah, cipratan darah, hingga derap kaki dari beberapa warga selamat yang memilih untuk kabur kembali ke Grandbeltz dan meninggalkan yang lainnya dihancurkan oleh ekor kalajengking yang muncul dari bawah tanah itu. Elizabeth masih bertahan dengan pedangnya dari serangan para beruang, dengan terpaksa harus menyaksikan burung-burung besi itu membunuh diri mereka sendiri dengan terbang melesat ke arah kelompok yang dipimpinnya itu, meledak bersama dengan korban yang sedang tidak beruntung. Kembali ke kota Grandbeltz adalah pilihan yang bagus memang, hanya saja mereka yang memilih untuk melakukan itu tidak menyadari bahwa para warden yang lainnya telah muncul kembali entah dari mana, membunuh mereka dengan tembakan laser dari kejauhan.
“Apa-apaan ini !? Kenapa aku tidak bisa melindungi mereka semua !!?” gumam Elizabeth sambil menebas leher para monster beruang yang menyerang dirinya satu per satu. Hanya penyesalan dan kekecewaan sajalah yang dirasakannya saat ini. Elizabeth memutuskan untuk membunuh sebanyak mungkin monster yang menghalangi jalannya, sebagai ganti dari nyawa-nyawa wanita Grandbeltz yang menghilang dalam pimpinannya. Namun aksinya itu tidak berlangsung begitu lama, saat seorang prajurit meneriakinya dari belakang.
“Ratu Elizabeth, di atas mu !!”
Elizabeth pun mendongak ke atas, dan saat itu juga, dirinya langsung disambut dengan hangat oleh sebuah pilar cahaya berwarna biru-keputihan yang menghantam dirinya dari atas dengan sangat cepat. Elizabeth terhempas ke belakang, dan kesadarannya hampir menghilang saat itu.
Sakit.... Tubuhku rasanya pada sakit semua. Tapi..... Masih ada banyak yang.... Membutuhkan ku. Masih ada orang.... Yang butuh perlindungan dari.... Pedangku.
“Ratu Elizabeth ! Kamu tidak apa-apa !!?”
Suara itu, walaupun diteriakkan dengan sangat keras, Elizabeth hampir tidak dapat mendengarnya sama sekali. Telinganya mendengung kencang, dan penglihatannya sangatlah kabur. Hampir dari seluruh tubuhnya telah dipenuhi oleh luka bakar dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan armor kerajaan yang dipakai olehnya telah kehilangan banyak bagian penting yang seharusnya digunakan untuk melindungi bagian vital dari tubuhnya. Namun, bahkan dalam kondisi yang parah seperti itu, Elizabeth masih memaksakan dirinya sendiri untuk bangkit berdiri kembali. Jantungnya berdegup kencang, dan suhu panas mulai membakar kulitnya. Terdapat sebuah sihir dalam luka bakarnya itu, dan Elizabeth sangat paham bahwa sebentar lagi, ia akan terbakar hidup-hidup. Ia menyadari bahwa dirinya tidak akan bertahan jauh lebih lama lagi, sehingga ia memutuskan untuk memilih opsi terakhir, yaitu.... Mengorbankan dirinya sendiri.
“Kalian semua..... Kalian semua, pergilah kembali ke kota Grandbeltz.... Sementara aku...”
“Tidak. Jangan katakan itu, ratu !!”
“Aku... Akan menahan makhluk ini di sini, SEKARANG JUGA !!!”
Elizabeth mengangkat pedang sucinya sekali lagi, sekaligus untuk yang terakhir kalinya. Ia menoleh, menatap para prajurit di belakang yang masih terus berjuang melindungi perempuan-perempuan Grandbeltz, namun juga mengkhawatirkan dirinya di saat yang bersamaan. Ia tersenyum kecil, karena bangga terhadap mereka semua.
“Kalian semua..... Baik itu warga, maupun prajurit semuanya.... Aku bangga terhadap kalian. Aku mencintai kalian semua. Karena itu.... Kalian jauh lebih layak untuk tetap bertahan hidup di Grandbeltz, daripada mati sia-sia di tempat terkutuk ini.”
Keheningan, sebelum akhirnya dipecahkan oleh suara tangis yang mulai terdengar dari para warga.
“Teruslah untuk tetap hidup...... Dan jaga kota Grandbeltz... Agar tidak runtuh seperti jaman dulu.....”
Sebelum Keres dapat mengunjunginya.... Dan melihat sebuah surga yang selalu diimpikannya.
Benar....
Sebelum Keres, dapat melihatnya.....
“.....”
“Ratu mengorbankan dirinya supaya kita bisa terus bertahan hidup !!! Maka dari itu, semuanya !! Kita kembali ke kota Grandbeltz !!!”
Di saat itu, seluruh prajurit yang tersisa, dan juga para warga yang masih bertahan hidup, semuanya dengan enggan dan sangat terpaksa berlari kembali menuju Grandbeltz, meninggalkan Elizabeth sendirian di jalan menanjak perbukitan ini. Baru pertama kalinya dalam sejarah, warga-warga kota jauh lebih rela mati bersama dengan pemimpin mereka daripada hidup di dunia yang penuh dengan kekejaman ini.
Elizabeth menurunkan pedangnya kembali, sebab tangan kanannya sudah tidak kuat lagi menahan beban dari pedang sucinya. Ini terasa sangat aneh baginya, karena dulu, hanya dialah orang yang mampu mengangkat pedang suci ini. Elizabeth menatap pilar cahaya yang masih bertahan hingga sampai saat ini yang berada di depannya, saat sosok bayangan seorang wanita perlahan mulai muncul dari dalamnya.
“Ah.... Senang rasanya, bisa bertemu langsung dengan pahlawan manusia.”
“Siapa kamu !!?”
Pilar cahaya itu akhirnya menyusut dan menghilang, dan seluruh tubuh wanita akhirnya dapat terlihat dengan jelas di mata Elizabeth. Seorang wanita yang tingginya hampir sama dengan dirinya, dengan seluruh tubuh mulai dari bawah leher hingga ke ujung kaki terbuat sepenuhnya dari logam besi. Wanita itu terlihat sedang tersenyum sinis ke arah Elizabeth, dan meregangkan telapak tangan kanannya dengan mengepalkannya beberapa kali.
“Namamu Elizabeth, kan, manusia ?”
Elizabeth tercengang dan mematung seketika, saat sosok wanita itu tanpa bertanya padanya sama sekali menyebut namanya. Setelah beberapa saat keheningan berlangsung, wanita bertubuh besi itu mulai terlihat kesal dan membalas tatapan tajam Elizabeth.
“Hei, manusia. Aku sedang bertanya dengan kamu, brengsek.”
Elizabeth memegangi pedangnya dengan kedua tangan, karena tubuhnya entah kenapa sudah tidak kuat lagi menahan berat senjata utamanya itu.
“Siapa kamu !!?”
“Oh, benar juga. Kamu yang bertanya pertama kali, ya ? Maafkan ketidaksopanan ku ini.”
Wanita itu kemudian melambaikan tangan kanannya, dengan seketika menenangkan seluruh monster yang menggeram di belakangnya itu.
“Aku ? Kamu bisa memanggilku sebagai pemimpin dari seluruh warden di dunia ini. Atau kamu juga bisa memanggilku dengan sebutan nama.... Trinity.”
Elizabeth dibuat terkejut, dan seolah tidak percaya. Trinity, nama itulah yang disebutkan oleh Rex saat membaca nama penulis dari surat aneh kota Impius seminggu yang lalu.
“Jadi kamu yang menulis surat sialan dari Impius itu ? Ketahui ini.... Kamu akan mati di hari juga, brengsek !!!”
“Paling tidak, sadar diri sedikit, bodoh !” cibir Trinity dengan raut wajah kekesalannya.
Elizabeth berlari sambil berteriak dengan keras ke arah Trinity. Pedang sucinya semakin lama terasa semakin berat, bahkan saat ia sudah mengerahkan seluruh tenaga ke kedua tangannya itu.
Apa ini ? Kenapa semakin lama, tubuhku semakin panas ?
“Hah... ?”
Di saat itulah, Elizabeth baru menyadari kalau seluruh tubuhnya saat ini sedang terbakar hebat oleh sebuah api aneh yang berwarna merah gelap keunguan.
Sepertinya.... Memang aku tidak akan bertahan lama lagi....
Karena itulah, walaupun terasa sangat panas di sekujur tubuhnya, Elizabeth masih saja memaksakan dirinya untuk berlari ke arah Trinity. Elizabeth secara perlahan juga dapat merasakan bahwa sihirnya semakin lama semakin berkurang saat ia mulai semakin dekat dengan Trinity.
Jadi.... Hanya dengan kehadirannya saja.... Makhluk ini bisa menyerap sihir seseorang dengan mudah ?
Dia sangatlah kuat.....
Api yang membakar tubuh Elizabeth semakin besar, dan setelah dirasa terlalu besar, Trinity pun menjentikkan jarinya. Di saat itu juga, sebuah kubah api menghanguskan tubuh Elizabeth hingga tak tersisa.
Panas.... !
Panas.... !
.....
“Cih, dasar manusia. Apakah makhluk yang bernama manusia ini semuanya keras kepala dan menyebalkan sama seperti orang itu ?”
...****************...
Ferre berjalan kembali menuju Grandbeltz, seorang diri. Tidak ada pasukan atau satu orang warga selamat yang mengikuti dirinya sama sekali. Di wajah lesunya, terlihat hanya penyesalan dan kebencian terhadap diri sendiri saja yang tersisa. Langkahnya membawa dirinya semakin dekat, dan semakin dekat lagi dengan sebuah tempat dimana ia dapat melampiaskan seluruh penyesalan dan rasa bersalah itu dalam bentuk sebuah tangisan keras. Gerbang kota Grandbeltz, terlihat mulai membesar di depan matanya. Kini tinggal selangkah lagi bagi dirinya untuk masuk ke dalam kota tersebut. Namun Ferre berhenti seketika, saat dirinya telah disambut dalam diam oleh dua orang pria yang jauh melampaui tinggi tubuhnya. Hanya dua orang pria itu saja, Vir dan Rex. Tidak ada yang lainnya.
“Ferre, kamu kembali ?”
“Rombongan ku dibantai semua. Tidak ada yang tersisa, bahkan tubuh mereka sekalipun.”
Vir dan Rex tidak terkejut sama sekali dengan berita duka dari Ferre itu, ataupun merasa sedih saat mendengarnya. Wajah mereka keduanya semua sama. Datar, dan tidak berekspresi sedikitpun.
“Di mana yang lainnya ? Mereka tidak kembali seperti aku, kan ?”
Tidak ada jawaban dari keduanya. Seolah, Ferre sedang berbicara kepada dua buah patung manusia realistis saat ini, dibuat langsung dari daging manusia itu sendiri.
“Hei, kenapa muka kalian murung begitu ? Bukankah kalau mereka tidak kembali, artinya perjalanan mereka lancar-lancar saja-”
“Ini.” ucap Vir dengan sangat singkat, memotong pertanyaan Ferre yang akhirnya mulai agak bersemangat itu.
Vir menyodorkan tangannya, dan sebuah layar hologram kecil berbentuk persegi panjang terletak di atas telapak tangannya.
“Rekaman telepati ?”
Aku dan Fradelle mengalami hal yang sama.... Kami semua dibantai.... Dan aku... Terluka parah-
Mata Ferre melebar seketika. Ia mulai berlinang air mata, terkejut, dan berusaha untuk menolak apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri itu.
“Itulah kata-kata terakhir.... Dari ratu kita.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments