Dead By The Snake

Ibuku selalu berdoa pada sosok yang ia sebut sebagai Tuhan. Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya keberadaan Tuhan itu, dan aku selalu bertanya padanya, kenapa harus berdoa pada sosok itu. Ia hanya menjawab : Karena dia bisa segalanya. Apakah benar-benar ada orang yang bisa melakukan segalanya ? Kalau memang sosok sepertinya ada, kenapa ia tidak pernah menolong keluarga kami sama sekali ? Bahkan saat ibuku berdoa setiap hari pun, 'Tuhan' tidak pernah datang dan menjawabnya.

“Apa yang kamu lakukan, Daemones Virginis !!?”

Anguis mengayunkan pedangnya hingga menghempaskan Virginis jauh ke belakang. Ia mengerang kesakitan, dan penglihatannya mulai kabur seketika. Anguis, dia adalah musuh yang terlampau kuat baginya.

"Lemah dan tidak berguna, sama seperti biasanya. Apakah kamu tidak pernah berubah selama ini, Virginis !?”

Dengan cepat, Virginis telah kehilangan kesadarannya. Bagaimana bisa dia dikalahkan dengan sangat cepat seperti ini ?

...****************...

Beberapa saat yang lalu, di awal pertarungan.

Daemones melihat ke atas, dan dengan cepat menghindari terkaman ular besi tersebut. Sulit dipercaya, ular besi itu ternyata berasal dari sebuah pedang rantai yang dipegang oleh wanita yang mirip dengan Daemones yang aku lihat sedang berbincang dengan Bellator malam itu.

“Daemones ? Apa aku baru saja mendengar kata Daemones diucapkan ? Sepertinya aku menemukan orang yang ku cari.” ucap wanita itu sambil berjalan keluar dari kepulan asap.

“Apa apaan ini !? Kenapa dia mirip banget sama gw, bangsat !?”

“Karena kita punya genetik yang sama, bodoh. Bagaimana ? Apa kamu masih perawan, Virginis ?”

“Sialan, itu bener bener nusuk hati gw.”

Anguis menatap Virginis dengan tajam. Ekspresinya terlihat sangat kecewa, entah karena alasan apa.

“Beneran ? Lu ga inget gw ?”

“Singkatnya kayak gitu. Kayaknya kepala gw harus kebentur dulu, deh.”

“Kalo itu yang lu mau.” gumam Anguis sambil melesat kearah Virginis. Virginis pun sangat terkejut karena itu. Ia memblokir serangan tersebut dengan kedua tangannya, membuat kedua tangannya gemetaran dan sedikit terdorong ke belakang. Itu adalah sebuah kebodohan yang luar biasa, mengingat ia tidak menggunakan pelindung tangan apapun. Kenapa gw lakuin itu, bangsat !?

“Bodoh, mengecewakan, dan juga tidak berguna. Kamu ga banyak berubah, ya ?”

“Apa mau lu, bangsat !?”

“Kamu masih tidak sadar ? Keluarga Daemones membutuhkan seorang yang bisa menggulingkan Deus, tapi yang jelas itu bukan aku."

“Deus ? Siapa itu, bangsat !?”

“Cari aja sendiri.” gumam Anguis sambil melesat ke arah Virginis kembali. Virginis menghindari semua serangan Anguis dengan kewalahan. Sudah jelas levelnya tidak setara dengan Anguis.

“Sialan ! Lu gak gampang diajak ngomong, ya !?”

“Diem aja, bajingan !!” seru Anguis sambil menendang perut Virginis dengan cepat. Virginis tidak melihat sama sekali tendangan itu, begitupun dengan kaki kiri Anguis yang telah diperkuat oleh sihir petir.

“Aaakkh !!”

Virginis pun tersetrum seketika, dan kemudian jatuh berlutut di tanah. Tanpa rasa kasihan sama sekali, Anguis mengayunkan pedang ularnya hingga menghempaskan Anguis ke kiri. Anguis memperhatikan Virginis yang dengan susah payah berusaha berdiri kembali, menatapnya dengan tatapan jijik. Anguis kemudian menyelimuti tangan kirinya dengan petir kembali, bersiap untuk melanjutkan serangannya terhadap Virginis yang terlihat sudah sekarat parah hanya beberapa menit setelah pertarungan ini berlangsung.

“Kakak perempuan sang setengah iblis, itu kamu, kan ? Menyedihkan sekali, padahal orang lain menyebutmu sebagai orang yang kuat, tapi kenyataannya ternyata adalah tidak. Memangnya kamu bisa apa, perawan ?”

“Aku ? Bisa apa ? Udah pasti bisa ngehajar lu, bangsat !!” seru Virginis sambil melesat ke arah Anguis. Ia mengeluarkan kedua katar nya, namun Anguis tidak melihat itu sebagai ancaman sama sekali. Ia hanya berdiri diam sambil menunggu Virginis dekat dengannya.

“Miris banget, sih.” gumam Anguis. Seketika, pedang ular Anguis memanjang dan bergerak dengan sendirinya menyerang Anguis dari bawahnya dengan sebuah gigitan. Tentu saja Virginis tidak menduga serangan itu. Lebih tepatnya tidak tahu sama sekali kalau Anguis akan menyerangnya.

“A - apa !?”

Pedang ular Anguis itu terus memanjang ke atas hingga mencapai langit, membawa Virginis bersama dengannya dalam gigitan mulutnya. Virginis berusaha melepaskan dirinya dari gigitan pedang ular Anguis tersebut dengan memukul-mukul kepala ular itu, namun tentu saja itu tidak akan bermanfaat sama sekali.

"Cih, membosankan.” gumam Anguis. Setelah beberapa saat menjulang ke atas langit, pedang ular itu pun menukik ke bawah, menghantamkan Virginis ke puing-puing bangunan dengan keras. Virginis mengerang kesakitan lagi, dan tubuhnya kini benar-benar sudah kaku, tidak bisa digerakkan. Ia hanya terbaring sambil merutuki kelemahannya itu, sementara Anguis berjalan menghampirinya dengan beberapa anggota tubuhnya sedang diselimuti oleh petir kuning yang menyala-nyala dengan terang.

Kenapa aku harus terlahir lemah kayak gini, bangsat ? Kenapa, aku ga bisa ngelakuin hal hebat kayak si ****** pirang bernama Keres itu ? Kenapa, aku harus dilahirin sebagai tidak berguna seperti ini, ibu ?

Virginis dibuat sangat kelelahan akibat lukanya yang begitu parah. Namun, saat ia ingin menutup kedua matanya, ia sekilas melihat Anguis sedang berdiri di atasnya. Virginis berniat untuk menyerang, namun tubuhnya menolak untuk digerakkan. Ia ingin mencibir Anguis yang menatapnya dengan tajam itu, namun mulutnya terasa seperti terkunci oleh sesuatu. Virginis pada akhirnya hanya bisa membalas tatapan Anguis dengan tatapan yang lemah tanpa melakukan apapun. Ia sudah pasrah, karena sejak lahir, ia memang sudah ditakdirkan untuk tunduk di hadapan yang lebih kuat darinya.

“Ini masih belum selesai, bodoh !!”

Baru saja Virginis dekat dengan mimpi indahnya, ia seketika dibangunkan oleh setruman listrik dari kaki kiri Anguis yang menginjak perutnya. Virginis sampai dibuat batuk beberapa kali, namun Anguis tetap tidak memberinya kesempatan untuk bernafas sesaat saja. Anguis menarik kaos Virginis dan memaksanya berdiri kembali, kemudian pukulan dari pedang ular Anguis itu langsung menyambut Virginis yang masih setengah sadar saja.

“Apa benar orang lemah kayak gini yang akan menghancurkan keluarga atas Daemones ??”

Anguis mengambil beberapa nafas sejenak, kemudian memandang Virginis dengan tatapan yang begitu merendahkan. Tidak hanya itu saja, Anguis juga mendecih kesal dan juga menyemburkan ludahnya kepada Virginis, kemudian memperkuat kaki kanannya dengan sihir petir miliknya.

“Jangan mimpi, Ursa !!” seru Anguis sambil menendang Virginis yang masih tersungkur dengan sangat kuat hingga Virginis terlempar jauh ke belakang dan mengenai reruntuhan bangunan yang lainnya. Deus dan Ursa..... Terdengar seperti nama yang aneh, namun juga cukup familiar di telinganya.

Sakit. Apa kepala ku berdarah ? Kayaknya begitu. Ular beludak sialan, dia selalu saja menyebut nama yang aneh dari mulut sialannya itu, membuatku kembali teringat dengan kalangan bangsawan brengsek itu. Deus, dan juga Ursa, mereka berdua lah yang membuat aku dan Constantes tersiksa selama berada di kota Impius waktu itu. Dan sekarang, si ular ini ternyata juga bekerja sama bareng dua orang brengsek itu ? Menyebalkan !! Aku harus membunuh ****** itu, dengan kedua tanganku sendiri !

Virginis berusaha untuk bangkit berdiri kembali dengan susah payah. Keseluruhan tubuhnya gemetaran dengan begitu hebat, dan mulutnya sendiri juga tidak henti-hentinya mengucurkan darah. Dengan berpegangan pad sebuah puing-puing bangunan, Virginis meraih kantong celananya, mengambil tiga buah jarum tajam yang biasa ia gunakan sebagai jebakan pelumpuh para warden. Virginis kemudian menoleh ke arah Anguis dan menatapnya dengan tajam.

“Makan nih, ****** !!” seru Virginis sambil melemparkan ketiga jarum tersebut kepada Anguis secara bersamaan. Anguis hanya diam saja, dan seketika itu juga, pedang ularnya sudah bergerak dan menangkis ketiga jarum tersebut dengan cepat.

“Cih, gak guna sama sekali !! Kalo gitu, biar gw yang langsung ngehajar muka Lo, BANGSAT !!”

Virginis berlari menuju Anguis yang masih berdiri diam. Walaupun ia sempat tersandung oleh puing-puing bangunan, ia tetap melanjutkan untuk berlari kembali dan akhirnya mengayunkan katar nyake depan, meskipun serangan itu tidak mengenai Anguis sedikitpun. Anguis menyeringai kecil, kemudian memegang erat-erat senjatanya.

“Hmph, paling nggak, kamu sudah mencoba.”

Anguis mengayunkan pedang ularnya ke atas dengan sangat kuat, membuat Virginis lagi-lagi terlempar ke belakang dan menghantam reruntuhan yang sama.

Arrrgh, menyebalkan !! Kenapa nyerang aja gw ga bisa, bodoh !! Apa kalo gw doa ke orang yang namanya Tuhan itu, dia bakal bantu gw !? Kayaknya layak dicoba.

Virginis memaksakan dirinya untuk berdiri kembali, kemudian berlari dan menyerang Anguis secara asal-asalan. Anguis dapat dengan mudah menghindari serangan beruntun Virginis tersebut, dan ia tidak ingin menyerang balik karena sedang mempermainkan Virginis yang terluka parah.

“Dasar keras kepala.” gumam Anguis. Anguis mengeluarkan sihir petir di tangan kanannya dan kemudian menunduk untuk menghindari tebasan Virginis sekali lagi, setelah itu, ia memukul perut Virginis hingga membuatnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Virginis merasakan ada yang aneh dengan pukulan Anguis yang barusan itu, dan memang, itu bukanlah pukulan sihir yang biasa. Tiba-tiba, Virginis dijatuhi puluhan tombak petir dari atas dibarengi dengan ledakan yang sangat kuat, membuatnya mati rasa seketika. Virginis berhasil menahan tubuhnya agar tetap berdiri, namun responnya terlalu lambat untuk mengetahui bahwa Anguis akan melanjutkan serangannya.

“Apa yang kamu lakukan, Daemones Virginis !?”

Dan begitulah. Virginis menghantam reruntuhan sekali lagi tepat dengan kepalanya, membuatnya jatuh pingsan seketika.

...****************...

“Di mana ini ?”

Virginis terbangun kembali di sebuah tempat yang keseluruhannya berwarna putih. Ini jelas bukanlah dunia nyata, dan Virginis juga segera menyadarinya. Ia sedang berada di alam bawah sadarnya ! Virginis berjalan ke arah depan sambil mengamati sekitarnya. Kosong, tidak ada apapun. Di saat itulah, ia teringat kembali akan serangan terakhir Anguis yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Apa ini yang namanya mati ? Ternyata damai juga, ya ?”

Setelah mencari-cari apapun yang bisa ia temukan di tempat ini, Virginis pun akhirnya menyerah, memutuskan untuk duduk di tengah-tengah ruang yang hampa ini. Ia terus merenung, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ini. Ia telah diperhadapkan kembali pada masa lalu oleh Anguis, orang yang bekerja pada bangsawan Daemones. Deus dan Ursa, itulah nama mereka. Dua orang yang mengirimkan para Daemones kalangan bawah untuk bertarung melawan para warden tanpa perlengkapan yang memadai sedikitpun. Masa lalunya begitu suram karena mereka berdua, namun ia tetap saja tidak dapat membalas dendam. Dia mati, tanpa melakukan apapun yang akan mengubah keluarga Daemones. Inikah yang diinginkan oleh Anguis ? Sebuah perubahan di keluarga besar Daemones ? Apa yang sebenarnya sedang terjadi, hingga Anguis tidak ingin melakukannya sendiri ? Kenapa Anguis harus menyuruhnya ? Pikiran-pikiran itu memenuhi otaknya, seakan ia sedang dibombardir oleh waktu di masa lalu dan juga masa sekarang. Hingga tanpa sadar, ia baru saja meneteskan air mata.

“Virginis, kenapa kamu menangis ?” tanya seseorang entah dari mana. Virginis mengangkat kepalanya dan melihat ke area di sekitarnya, namun tetap saja pemandangannya tidak berubah sama sekali. Putih kosong, tidak ada siapapun kecuali dirinya sendiri. Mungkin saja itu hanyalah halusinasinya saja.

“Virginis, kenapa kamu menangis ?”

Suara itu kembali memanggilnya, membuat Virginis sedikit merinding ketakutan dan langsung berdiri serta bersiap untuk menyerang menggunakan katar nya, namun ia baru sadar kalau tidak ada senjata apapun di tangannya. Suara itu kemudian mengeluarkan tawa kecil, dan suaranya agak sedikit familiar di telinganya, namun ia tidak dapat mengingat pemilik suara itu di kepalanya. Siapa sebenarnya dia ?

“Bocah kurang ajar, mau menyerang ibunya sendiri ?”

“Apa katamu !?”

Suara tersebut mulai menampakkan wujud aslinya dari balik warna putih di sekeliling tempat ini. Sosok yang terlihat begitu cantik, dengan rambut perak dan senyuman lembutnya yang sangat dikenali oleh Virginis. Kini Virginis saling berhadap-hadapan dengan sosok ibunya yang sudah lama mati, membuat matanya secara perlahan meneteskan air mata dengan lebih deras lagi. Virginis mencoba untuk mengingat saat pertama kalinya sang ibu mengucapkan namanya. Tentu saja Virginis masih sangat kecil waktu itu, membuatnya sulit untuk mengingat nama dari ibunya sendiri. Sang ibu kemudian berjalan mendekatinya dan memeluk dirinya dengan erat. Rasanya terasa begitu nyata bagi Virginis, membuatnya teringat pada masa kecilnya saat ia selalu dekat dengan sang ibu.

“Mama, aku kangen sama mama.”

“Dasar bocah kecil, kamu masih sama seperti dulu, ya ?”

Ingatan saat dirinya masih berusia 3 tahun, menciptakan sebuah gambaran dirinya yang masih sangat kecil sedang berdiri di sampingnya. Virginis menatap dirinya yang lalu itu dengan tatapan yang sedih, kemudian kembali menenggelamkan dirinya dalam pelukan hangat sang ibu. Benar juga, ibunya bernama Leviora, Daemones Leviora. Sebuah nama yang indah, bukan ? Mereka berdua terus berpelukan, hingga akhirnya Leviora juga ikut meneteskan air matanya.

“Virginis, aku tahu kamu sedang mengalami hal yang sulit di sana. Benar, kan ?” tanya Leviora. Tangisan Virginis akhirnya pecah. Ibunya itu selalu mengetahui apa yang sedang dialami oleh kedua anaknya, tidak peduli apapun kondisinya. Bahkan setelah mati pun, ibunya masih sama seperti dulu, begitu peduli terhadap anaknya.

“Mama ! Si Anguis itu.... Siapa sebenarnya dia !? Kenapa si bajingan itu begitu kuat, sementara aku sangat lemah seperti seekor semut melawan singa !?”

Leviora hanya diam dan terus mendengarkan tangisan anak perempuan satu-satunya yang sama seperti dirinya itu, tidak pernah berubah sama sekali. Mungkin anak laki-lakinya juga sama, namun saat ini hanya ada anak perempuannya saja, Daemones Virginis.

“Virginis, dengarkan ibu dulu, oke ? Bukankah lebih baik kalau kita bicara sambil duduk santai di sini ?”

Ucapan sang ibu yang terdengar begitu lembut seketika membuat Virginis menjadi tenang kembali dan juga berhenti menangis. Pemandangan di sekitar tiba-tiba berubah menjadi tempat yang begitu dikenal oleh dirinya sendiri, yaitu sebuah gereja tua dengan banyak sekali reruntuhan di sekitarnya, tidak layak huni sama sekali. Namun, bagaimanapun juga, itu adalah tempat mereka tinggal sejak dulu, semenjak Virginis dilahirkan hingga saat Virginis dan adiknya iy kehilangan ibu mereka satu-satunya, Leviora.

Mereka saat ini sedang berada di dalam bangunan utama, tempat dimana sinar matahari menembus melalui kubah kaca sebagai atap di atas mereka. Sebuah tanda salib besar terpasang di ujung belakang di tembok yang terlihat akan sangat mudah untuk diruntuhkan. Nyatanya, itu adalah bagaimana orang-orang Daemones atas mendobrak masuk ke dalam gereja yang begitu besar dan luas ini. Virginis berdiri diam mengamati seluruh ruang utama gereja tersebut, dan kemudian, Leviora yang berdiri di sampingnya seketika berlari dan kemudian berlutut di hadapan salib besar itu, sedang memanjatkan doanya. Itulah yang selalu dilihat olehnya saat ia masih kecil, dan juga selalu menjadi pertanyaan baginya. Kenapa ibu selalu berdoa, walaupun tidak pernah di jawab sama sekali ?

Virginis terus mengamati ibunya yang sedang berdoa sambil berlutut itu, dan beberapa saat kemudian ia memutuskan untuk melakukan hal yang sama yang selalu ibunya lakukan saat masih hidup. Virginis berlutut di hadapan salib, dan kemudian melipat kedua telapak tangannya dan mulai memejamkan matanya.

“Anak yang baik.” gumam Leviora. Virginis yang terkejut pun langsung membuka matanya sekali lagi, dan saat ia melihat ke samping kanan, ia mendapati ibunya sedang tertawa kecil melihat kelakuan anak perempuannya itu.

“Mama, doa mu sudah selesai ?”

“Begitulah.” jawab Leviora sambil mengangguk. Leviora kemudian membelai rambut kusut Virginis dengan tangan kirinya sambil bertanya dalam hatinya sendiri, sudah berapa lama kamu tidak keramas, sih, nak ?

“Mama berdoa apa ?” tanya Virginis sambil menyingkirkan tangan Leviora agar tidak terus-terusan membelai rambut kusutnya itu. Baginya, ibunya itu tidak perlu mengetahui apakah ia selalu merawat rambutnya atau tidak dengan tangannya sendiri. Hany tinggal dilihat sedikit saja semua orang sudah tahu betapa tidak terawatnya rambut perak Virginis itu.

“Tentu saja mendoakan agar kamu bisa mengalahkan musuh brengsek yang tidak menghargai anak perempuan ibu itu !” jawab Leviora. Jawaban itu langsung membuat Virginis tertawa, namun juga sekaligus tertawa kecil dan juga tersadar, bahwa tidak semua orang di dunia adalah jahat, termasuk ibunya sendiri.

“Terima kasih, mama !” seru Virginis sambil memeluk ibunya sekali lagi. Leviora membiarkan Virginis melakukan hal itu dengan senyuman di wajahnya, kemudian ia mulai menepuk-nepuk punggung Virginis dengan lembut.

“Virginis, pasti selama ini kamu bertanya, kenapa ibu selalu berdoa, bukan ? Yah, anggap saja itu adalah langkah paling terakhir yang bisa dilakukan oleh ibu untuk bertahan hidup di dunia ini.”

“Langkah terakhir ?” tanya Virginis kepada Leviora sambil menatap kepada Leviora.

“Benar. Ibu sudah pernah bilang, bukan ? Kalau dulunya ibu adalah petarung yang hebat sebelum kalian berdua lahir. Namun semua kekuatan itu telah memudar sekarang.”

“Apa itu karena kami berdua ?”

“Jangan pernah berpikir seperti itu, Virginis. Ibu sudah memutuskan ini semenjak kamu dan Constantes lahir. Yang paling penting, ingatlah, bahwa dari dalam pikiran, muncul kekuatan yang luar biasa. Asalkan kamu punya keinginan yang kuat, dan juga yakin akan dirimu sendiri, kekuatan itu pasti akan muncul. Percayalah, aku sendiri tidak yakin kalau 'Tuhan' itu ada, tapi di saat manusia berada dalam kondisi yang begitu terpuruk, di saat itulah mereka akan mulai menciptakan sosok yang bisa melakukan segalanya dalam pikiran mereka. Aku pun juga melakukan hal yang sama bodohnya itu, namun sejak dulu aku juga sudah percaya bahwa ada sosok yang berada jauh di atas kita. Entah apapun makhluk itu, yang pasti dialah yang memegang seluruh rantai penyiksaan di dunia ini, dan suatu saat, ia pasti akan datang dan membawa perubahan bagi dunia ini. Dan sampai sekarang pun, aku masih percaya bahwa semua doa ku itu akan dijawab nantinya oleh sosok tersebut, 'Tuhan'.”

Yakin pada diri sendiri, huh ? Selama ini aku hanya menganggap diriku adalah yang paling lemah di antara orang-orang. Aku selama ini tenggelam di antara cacian orang-orang yang menganggapku lemah, dan aku pun tidak pernah berusaha untuk keluar dari dalam dasar keterpurukan itu. Aku hanya berusaha untuk lari dari kenyataan dengan melakukan hal yang tidak berguna bersama si ****** pirang itu, dan walaupun itu cukup membantuku, itu tidak akan pernah mengubah ku. Mungkin inilah saatnya untukku keluar dari dalam laut ketidakyakinan ku ini. Benar, inilah yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Betapa bodohnya aku selama ini.

“Mama, kamu tidak perlu menjelaskan siapa sebenarnya si ular itu padaku. Yang penting, pastikan mama mendoakan ku selama ini berlangsung, oke ? Aku akan keluar dari sini sekarang juga, karena pertarungan ku masih belum selesai untuk saat ini.”

“Heh, kamu sudah banyak berubah hanya dalam beberapa menit yang terasa singkat ini, Virginis. Tentu saja, ibu akan mendoakan mu dari sini, selamanya aku akan melakukan hal yang sama. Dan jangan lupa untuk memukul pantat bocah yang kurang ajar itu untukku, Virginis.”

Terkadang, ibuku terlihat sama saja seperti aku saat ini, brengsek dan juga begitu menyebalkan.

“Tentu saja !”

Namun itu semua ia lakukan untuk mendukung kedua anaknya ini, aku dan Constantes. Aku tidak perlu bisa segalanya seperti yang selalu kuinginkan sejak dulu. Aku tidak perlu sama hebatnya dengan si ****** pirang itu yang bisa membunuh seseorang hanya dengan sekali tebas, atau si ular beludak bajingan di sana yang bisa menyerang musuhnya tanpa bergerak sedikitpun. Aku hanya perlu yakin, kalau nantinya, aku akan bisa melampaui dua ****** ini dengan caraku sendiri.

“Terima kasih, mama. Memang pertemuan ini begitu singkat, tapi aku akan selalu merindukan mu, dan akan selalu mengingat namamu. Aku selalu ingat dengan momen ini, mama Leviora !!” ucap Virginis sambil tersenyum lebar ke arah ibunya, Leviora. Leviora seketika meneteskan air mata saat melihat anak pertamanya itu akhirnya terlihat seperti telah berubah menjadi sosok yang lebih baik. Menjadi seseorang, yang tidak perlu mengandalkan bantuan orang saat tidak diperlukan. Kalau bisa dikatakan, sebagai seorang ibu, ia begitu bangga terhadap anaknya itu.

“Sialan, kamu membuat ibu menangis, Virginis.” ucap Leviora sambil mengusap air matanya. Mereka pun akhirnya tertawa bersama-sama, dan juga meneteskan air mata mereka bersama-sama. Dalam hatinya, Virginis juga mengatakan hal yang sama. Ia begitu bangga, memiliki Leviora sebagai ibunya.

“Kalau begitu, selamat tinggal, mama !!” seru Virginis berlari menjauhi Leviora menuju pintu dari gereja tua tersebut sambil melambaikan tangannya. Leviora pun berdiri, menatap anaknya dengan berderai air mata, dan perlahan, mulai memudar menjadi debu. Kalimat terakhir yang yang diucapkan Leviora adalah dalam hatinya adalah : Ibu memang merindukanmu, selalu merindukanmu. Namun, dunia telah memisahkan kita, jadi.... Jangan temui ibu sebelum waktunya, Virginis.

Virginis menatap ke arah ibunya sekali lagi, dan hal terakhir yang ia lihat adalah senyuman dari ibunya yang perlahan ikut bersatu menjadi debu, menghilang entah kemana.

Benar juga, ibu sudah meninggal sejak lama, jauh saat aku masih berumur 4 tahun. Tapi kenapa aku masih berpikir dia hidup di suatu tempat yang jauh ?

Ah, lupakan itu. Aku harus menghajar pantat ular kurang ajar itu seperti kemauan ibu.

Mama, lihatlah anakmu yang akan membalaskan dendam mu selama ini.

...****************...

"Lemah dan tidak berguna, sama seperti biasanya. Apakah kamu tidak pernah berubah selama ini, Virginis !?”

Virginis bangun kembali dan mengusap darah yang keluar dari dalam mulutnya. Ia kemudian menatap Anguis dengan tajam.

“Nggak pernah nyerah, huh ? Menyebalkan.”

“Ini waktu terakhir buat lu kabur sekarang, ******.”

Anguis terlihat sangat geram setelah mendengar perkataan Virginis itu. Ia menyemburkan ludahnya ke atas puing-puing bangunan, kemudian memegang senjatanya lebih kuat daripada biasanya.

“Katakan, apa yang membuatku harus kabur sekarang, bajingan ?”

“Aku... Punya racun terkuat di dunia.” jawab Virginis sambil meraih ke belakang celananya. Memang benar, dia punya simpanan racun terkuat itu. Namun ia tidak yakin akan menggunakannya di area terbuka seperti ini. Racun tersebut sudah pasti akan menyebar dengan cepat dan bisa saja meracuni kedua rekannya yang lain. Dan lagi, sepertinya itu tertinggal di rumahnya saat ini. Tapi hanya itulah satu-satunya cara untuk mengalahkan musuhnya kali ini.

“Terdengar seperti omong kosong. Kamu kira bisa mengalahkan seekor ular dengan racunnya sendiri, bangsat !!?” seru Anguis sambil melesat ke arah Virginis. Sementara itu, Virginis sudah siap dengan superposisi miliknya. Dari kejauhan ia memang terlihat hanya berdiam diri sambil memasang kuda-kudanya, namun dari dalam, ia sebenarnya sudah bergerak maju dan memasang sebuah jebakan beruang di lintasan Anguis. Di saat itu juga, Anguis dibuat berhenti seketika karena kaki kirinya yang menginjak jebakan beruang Virginis tersebut. Ia pun melihat ke bawah dan tersenyum miring karena serangan yang tidak terduga dari Virginis itu berhasil mengenainya untuk yang pertama kalinya.

“Ah ? Menarik.”

Anguis mengumpulkan seluruh kekuatannya dalam tangan kanannya, dan kemudian mengayunkan pedang ularnya itu dengan sekuat tenaga sambil berseru.

“Mati aja kau, ****** !!”

Pedang ular milik Anguis itu, Viper, dengan cepat langsung bergerak dan memanjang ke atas, seketika menghancurkan area yang ada di depannya. Kemudian, dari balik asap, terlihat Virginis yang telah melompat tinggi di udara menghindari gigitan Viper dan setelah itu melemparkan tiga jarum ke arah Anguis. Anguis pun langsung menarik Viper kembali dan menangkis ketiga jarum tersebut.

“Inilah yang selalu ku cari, bangsat.” gumam Anguis sambil menyeringai tajam. Begitu Virginis mendarat, Anguis pun mengeluarkan sihir petir nya dan menginjak jebakan beruang yang menghentikannya itu hingga hancur, kemudian melesat dengan cepat menuju Virginis.

“Apa dari tadi kau menahan diri sendiri, bajingan !!?”

“Kayaknya begitu.” jawab Virginis.

Kini, mata Virginis yang fokus dapat membaca semua serangan Anguis yang terasa begitu kuat di setiap ayunannya. Virginis terus menghindari semua serangan Anguis itu dengan cepat, dan setelah sebuah celah terlihat, ia pun langsung memanfaatkan kesempatan tersebut tanpa basa-basi lagi.

Sejak dulu, aku selalu bermimpi untuk bisa melakukan segalanya di saat yang sama.

Anguis yang tidak melihat Virginis akan melakukan serangan tiba-tiba seperti terkena tendangan tepat di dagunya. Ia pun kembali menyeringai dengan tajam. Apakah ini yang dimaksud Ursa sulit untuk dihadapi ?

Dan itulah yang membuatku memiliki sihir semacam ini. Sihir yang membuatku mampu melakukan dua hal yang berbeda secara bersamaan tanpa terlihat sama sekali !

Anguis mengayunkan Viper sekali lagi ke arah Virginis, membuatnya harus menghindar dengan melompat ke belakang, namun di saat yang sama juga menusuk perut Anguis dengan katar nya. Virginis pun mendarat dan keduanya akhirnya saling berhadapan satu sama lain. Anguis menahan darah yang terus keluar dari lukanya itu, sementara Virginis memperhatikan seluruh tubuh Anguis dan mulai menduga serangan apapun yang akan ia lakukan selanjutnya.

“Jadi ini orang yang dimaksud oleh Ursa ? Menarik.”

“Apa maksudmu, bangsat ?”

“Heh, sepertinya memang benar. Orang yang seperti mu ini yang akan menggulingkan kekuasaan Deus dari keluarga besar Daemones. Kali ini, aku menaruh harapan besar padamu, Virginis !!”

Anguis kembali menyerang Virginis, dan semua serangan tersebut sudah diketahui olehnya. Alih-alih menjauhi serangan Viper, Virginis justru berlari mendekati Anguis yang masih berdiri diam. Ia semakin dekat dengan Anguis, sementara Viper sudah bergerak terlalu jauh darinya. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk melakukan serangan mematikan, namun sebelum ia melakukan itu, ia teringat kembali bagaimana Anguis akan memperlakukan lawannya dengan Viper. Ia begitu suka dengan serangan kejutan, dan mengingat bahwa Viper dapat ditarik kapan saja, Virginis pun memperlambat larinya dan bersiap untuk menghindari serangan kejutan lainnya dari Anguis. Benar saja, Anguis seketika menarik kembali Viper, kemudian mendorong Viper lurus ke depan dengan mulut Viper yang terbuka lebar sambil menunjukkan sihir petir di dalamnya. Virginis dengan cepat meluncur ke bawah sambil menghindari serangan itu, dan di saat yang bersamaan, bayangan dari superposisi nya menebas leher Anguis.

“Cih, luar biasa...” gumam Anguis. Virginis kemudian menyandung kaki kiri Anguis dan membuatnya hampir terjatuh ke tanah. Anguis yang baru saja terkena tebasan di leher tidak bisa berdiri dengan cepat, dan itu membuat Virginis mampu melakukan serangan lanjutan miliknya. Ia menendang kepala Anguis menggunakan lututnya, membuat Anguis terhempas jauh ke belakang. Namun, hal yang mengejutkan terjadi. Anguis masih bisa mendarat dan berdiri dengan cepat seperti biasanya, seolah luka tebasan di lehernya itu tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Anguis menghunuskan Viper ke arah Virginis, kemudian menghentakkan kaki kirinya ke tanah dan seketika itu juga, sebuah sambaran petir muncul, kemudian menyelimuti seluruh tubuh Anguis itu dengan perisai petir berwarna kuning.

“Selama kutukan ini masih ada bersama ku, aku tidak akan pernah mati dengan cara bodoh seperti ini, bangsat !!”

Kutukan ? Apa maksudnya itu, bajingan ? Itukah yang membuat ****** ini lebih memilih ku untuk membunuh si Deus daripada melakukannya sendiri ?

Mata Virginis tertuju pada perisai petir yang menyelimuti Anguis dalam bentuk bola itu. Terlihat simpel memang, namun jelas itu akan menghalanginya untuk melakukan kombo bersama dengan bayangan superposisi miliknya.

“Cih, ga masalah kan kalo gw nyoba sekali aja ?” gumam Virginis sambil terus memperhatikan Anguis. Anguis melesat dan kembali mengayunkan Viper dengan sangat kuat, sama seperti biasanya. Namun sebelum kepala Virginis hancur karena serangan itu, Virginis telah melompati Anguis dan melakukan satu tendangan kecil ke kepala Anguis dengan kaki kanannya, dan itu membuat dirinya tersambar petir seketika.

“Sialan !!”

Virginis dengan cepat menggunakan bayangan superposisi miliknya untuk menendang Anguis hingga terdorong ke belakang, membuat Virginis terbebas dari sambaran petir itu.

Badan ku mati rasa semua, bangsat !!

“Kamu ini bodoh atau apa !? Cih, sepertinya aku menaruh harapan terlalu besar padamu.”

Anguis seketika sudah berada di dekat Virginis, mengangkat Viper di atas kepalanya tinggi-tinggi, kemudian mengayunkannya ke arah Virginis. Namun, sebelum itu mengenai dirinya, Virginis telah menggunakan bayangan superposisi nya untuk menendang tangan kanan Anguis, membatalkan serangannya itu untuk sementara waktu. Mengetahui bahwa Virginis masih tidak bisa menggerakkan tubuhnya, Anguis kembali melanjutkan untuk menyerang Virginis dengan Viper.

“Kena kau, bajingan !!”

Di saat Viper hampir menghancurkan kepalanya, Virginis telah ber teleportasi ke atas langit dengan bantuan superposisi miliknya. Anguis berniat untuk tidak melepaskan Virginis begitu saja, sehingga ia memanjangkan Viper untuk mengejar Virginis yang masih ada di udara. Virginis masih tidak bisa menggerakkan tubuhnya itu, sehingga ia lebih memilih untuk.... Berdoa.

Tuhan, kalau kamu memang benar-benar nyata, biarkan badanku ini supaya bisa bergerak lagi. Dan juga, biarkan racun ini, membunuh si ****** itu dengan cepat.... Sekali, dan untuk selamanya !!

Sebuah keajaiban benar-benar terjadi di saat itu juga. Virginis mampu menggerakkan kedua tangannya. Ia kemudian menggunakan superposisi untuk mengambil tiga botol racun yang terletak jauh di gudang rumahnya, dan setelah itu ia melemparkan ketiga botol kaca yang terlihat kosong itu ke arah Anguis.

“Dia barusan aja berdoa ? Dan lebih lagi, sekarang dia melemparkan tiga botol kosong ke arahku ? Ini orang ngapain sih, BANGSAT !!?”

Viper dengan cepat menghancurkan ketiga botol itu, dan pertarungan ini pun pada akhirnya akan segera mencapai titik akhir. Gas beracun yang tak terlihat segera menyebar di area sekitar, dan tentu saja Anguis tidak menyadari itu, hanya Virginis lah yang mengetahuinya.

“Lebih baik menyelamatkan diriku dulu... Walaupun sebenarnya aku sendiri kebal terhadap racun.” gumam Virginis sambil mengenakan masker gas miliknya. Viper kembali menyerang, dan dengan cepat Virginis melompati mulut Viper yang menganga itu, kemudian meluncur di atas tubuh besinya.

“Sialan !! Kalau sudah berani meluncur di atas langit, sebaiknya kamu juga harus bersiap untuk jatuh dari atas langit, ****** !!” seru Anguis kepada Virginis. Ia menarik Viper kembali dengan cepat, membuat Virginis kini tidak memiliki pijakan lagi dan segera jatuh dari atas sana.

Eh ? Kenapa ? Kenapa penglihatan ku jadi kabur seketika ?

Anguis dapat merasakan ada hal yang aneh sedang terjadi pada dirinya saat ini. Penglihatannya menjadi kabur, serta reaksinya terasa menjadi lebih lambat daripada biasanya. Belum juga mendapatkan jawaban dari apa yang sebenarnya sedang terjadi pada tubuhnya saat ini, Anguis dikejutkan oleh Virginis yang telah muncul di depannya, sedang berlari mendekati dirinya dengan cepat.

“Beraninya kau - !!”

Anguis mengayunkan Viper dengan begitu lambat dan juga lemah, hampir tidak bertenaga sama sekali. Lebih buruknya lagi, Virginis baru saja berhasil mendaratkan sebuah tebasan telak di dadanya. Ia akhirnya tersadar bahwa perisai petir nya kini sudah menghilang entah sejak kapan. Kini, bagaimana Virginis mampu menebas dirinya sudah menjadi jelas.

“Bajingan !!”

Anguis mengangkat Viper kembali, berniat untuk menyerang Virginis yang berdiam diri membelakanginya, namun entah kenapa ia tidak dapat menggerakkan tangannya yang sudah terangkat itu. Kini, ia justru menjatuhkan satu-satunya senjata yang ia miliki, dan suara Viper yang terjatuh seketika membuat Virginis langsung berbalik ke arahnya dan menyerangnya kembali. Virginis menahan tangan kanan Anguis yang sedang terangkat itu dengan tangan kanannya, kemudian menusuk belikat Anguis untuk memberikan tambahan rasa sakit yang luar biasa untuk serangan terakhirnya, dan diikuti oleh kaki kanannya yang menyandung Anguis hingga hampir terjatuh ke tanah. Dengan tambahan kekuatan dari superposisi nya, Virginis memutar tubuh Anguis di udara, kemudian melemparkannya sejauh mungkin, hampir sama seperti sebuah olahraga. Di saat Anguis menimpa tanah dengan tubuhnya, ia langsung sadar bahwa ia baru saja menginjak sebuah ranjau yang tersembunyi di bawah reruntuhan bangunan. Beberapa detik kemudian, ranjau itu meledak seketika, diikuti oleh munculnya ledakan dari 100% kekuatan Tonitrui milik Keres di kejauhan. Hembusan angin kencang seketika membawa seluruh gas beracun di tempat bertarung Virginis ini ke arah Utara, membuat Virginis akhirnya lega karena gas beracun itu tidak akan menyebar ke arah tempat bertarung Keres dan Constantes lagi.

Dari kejauhan, Virginis dapat melihat bahwa tubuh Anguis terlihat masih utuh berkat pentagram sihir berwarna ungu yang terdapat di punggungnya. Hanya bajunya saja yang terkoyak, sementara keseluruhan tubuhnya baik baik saja.

Itukah yang dia sebut dengan kutukan ? Aneh banget, deh. Itu lebih terlihat seperti pelindung alami daripada kutukan bagiku.

Virginis pun akhirnya terpaksa untuk berjalan menghampiri Anguis yang terbaring di antara reruntuhan itu. Sepertinya, ia tetap saja harus membunuhnya dengan cara manual.

“Neurotoksin. Sejenis racun yang langsung menyerang sistem saraf otak dari korbannya. Itu biasanya bekerja dalam waktu setengah jam atau bahkan hingga berhari-hari untuk menimbulkan efeknya yang begitu mematikan. Namun itu semua tidak berlaku bagi Sarin. Sebuah racun terkuat yang ada di dunia ini.”

“Lu ngomong apa, bajingan !!?”

“Oh, gw lagi ngomong tentang Sarin, yang baru aja lu hirup itu. Bagaimana ? Efeknya begitu menyebalkan, bukan ?”

“Apa !?”

“Berbeda dengan racun neurotoksin yang lainnya, efek Sarin akan langsung bekerja hanya dalam waktu 1 sampai 10 menit saja. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, itu bahkan bisa bekerja dengan lebih cepat, bahkan bisa bekerja hanya dalam setengah menit saja.”

Virginis muncul dari balik asap ledakan, terlihat sedang menatap Anguis dengan begitu sinis.

“Dengan dosis tiga botol kaca yang berukuran 500 ml itu, bukankah sudah jelas badan mu akan menjadi kacau sepenuhnya ?”

“Sekarang apa maumu, bangsat !?”

Virginis berjalan ke samping kanan Anguis, kemudian jongkok di hadapannya. Ia kemudian melepaskan masker gas nya itu dan mengambil nafas dalam-dalam, seolah sedang menghirup udara segar.

“Bodoh. Kamu melepaskan masker gas mu sendiri !?”

“Yah, sebenarnya gw kebal sama semua jenis racun, termasuk anak nakal yang satu ini.”

“Terus masker gas itu buat apa, bangsat !?”

“Cuma candaan doang, kok.” jawab Virginis sambil tersenyum kecil kepada Anguis. Itu terlihat sama seperti hinaan paling keji di mata Anguis, membuatnya merasa ingin menampar wajah Virginis, namun sekujur tubuhnya sedang kaku saat ini.

“Jadi, katakan semuanya. Sebenarnya apa kutukan mu itu ? Dan siapa juga orang yang memasangnya ? Karena itu keliatan kayak mantra pelindung daripada kutukan buat gw.”

“Lu nanya !? Apa gunanya gw ngejawab pertanyaan mu itu, ****** !?”

“Gunanya adalah, Katar ini ga bakal nusuk matamu, ******.” jawab Virginis sambil mendekatkan ujung runcing katar nya ke mata Anguis. Anguis pun mendecih kesal karena paksaan Virginis itu. Ia sedang tidak sudi saat ia mengetahui bahwa dirinya telah dikalahkan oleh Virginis, Daemones lemah yang awalnya tidak bisa menyerang sama sekali.

“Harus gw kasih tahu, kah ? Kalau harga diri lu itu ketinggian. Bahkan lu kalah aja, masih beraninya berontak sama gw. Bukankah pemberontakan adalah hal yang buruk ?”

“Bajingan.... Jangan bawa-bawa pertanyaan khas si Deus brengsek itu, ******.”

“Hmph, masih inget juga lu ternyata. Sekarang, jelasin tuh kutukan di punggung lu.”

“Begitu memaksa, huh ? Apa kamu tahu yang namanya Trinity ? Kutukan ini dibuat sama si Deus brengsek itu buat manggil dia ke dalam tubuh seseorang, dan orang itu adalah aku, yang ada di depanmu saat ini. Apa kamu tahu betapa tersiksanya aku hidup bersama dengan kutukan ini !? Aku harus meliha orang-orang bodoh sepertimu mati tidak berguna, sementara warden yang membunuh mereka menjadi semakin kuat. Badanku mulai membusuk dari dalam, sementara para warden sialan itu mulai berevolusi dengan kekuatan ku sendiri. Karena itu, buat aku mati aja, Virginis !! Daripada kamu harus melihat dunia hancur dengan matamu sendiri !!”

Virginis menanggapi jawaban Anguis itu dengan berdiri sambil mengangkat katar miliknya ke atas. Semuanya menjadi lebih jelas sekarang. Alasan kenapa Anguis menginginkan dirinya untuk menggulingkan kekuasaan Deus dari keluarga bangsawan Daemones, bagaimana Anguis masih bisa bertahan hidup tanpa luka sedikitpun setelah menimpa ranjau miliknya itu, dan juga makhluk humanoid yang sempat di hadapi oleh si ****** pirang teman sekaligus musuh bebuyutannya itu. berkat Anguis yang masih hidup hingga saat ini, para warden mulai berevolusi, dan itu semua berkat segel kutukan yang dipasang oleh bangsawan bernama Daemones Deus untuk memanggil sosok bernama Trinity ke dalam tubuh seorang manusia, dan dia adalah Anguis sendiri. Berkat hubungan segel kutukan itu dengan sumber kekuatan para warden, sudah pasti itu memiliki semacam perlindungan diri untuk mencegah pemiliknya mati terbunuh, dan itulah bagaimana caranya Anguis berhasil bertahan hidup setelah terkena ledakan sebuah ranjau secara langsung.

“Begitu... Semuanya jadi jelas gara-gara kamu. Terima kasih, ular. Sekarang, apa bener lu mau mati ?”

Anguis memejamkan matanya, dan sekilas tersenyum kecil. Ia menghela nafas lega, setelah mengetahui bahwa seluruh penderitaannya akan berakhir setelah ini, pada hari ini juga.

“Ya, bunuh aku, sekarang juga. Dan maafkan aku, yang selalu merendahkan mu selama pertarungan tadi berlangsung.”

“Jadi begitu. Apa kamu sebenarnya bisa menjadi temanku ?”

“Kalau kutukan sialan ini tidak ada, mungkin itu bisa terjadi.”

Virginis menghela nafasnya sejenak, kemudian memaafkan semua perbuatan Anguis yang tanpa belas kasih itu selama pertarungan barusan berlangsung. Anguis melakukan hal itu, karena ada hal mengerikan di dalam tubuhnya yang ia tidak ingin orang lain ketahui. Sebuah tanda, yang selalu menyiksa dirinya selama ini. Sebuah tanda, yang akan membawa Virginis, Keres, dan juga Constantes kepada musuh yang lebih kuat lagi daripada yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

“Baiklah. Sebagai teman baru, aku akan mengabulkan permintaan mu itu. Matilah dengan tenang, Daemones Anguis.”

...****************...

Di mana sebenarnya si setan itu ? Ini sudah lewat terlalu lama. Dan menghabiskan waktu dengan berbincang bersama dead fans sialan ku ini benar-benar menyebalkan. Apakah aku harus mencarinya sendiri ? Dua orang ini benar-benar sama menyebalkannya.

“Senang ngeliat kalian ternyata masih hidup. Pulang sekarang ?”

Aku dan Constantes menoleh secara bersamaan ke arah sumber suara itu. Suaranya memang sama, tapi kenapa logatnya agak berbeda ? Tunggu, apa setan ini baru saja bertobat !? Tidak mungkin kenyataan seperti itu terjadi, kan ? Aku lebih memilih dia yang brengsek itu daripada yang sekarang. Logatnya terdengar begitu cringe di telingaku.

“Oi, setan. Kamu baru saja menyucikan dosa mu ? Aku bisa melihat cahaya ilahi di sini.”

“Bangsat ! Gw mau pulang sekarang, jadi cepetan geraknya !!”

(Sigh) Untung saja. Ternyata dia masih seperti yang dulu, tidak pernah berubah. Yang di awal-awal itu sepertinya hanyalah imajinasi ku saja.

“Baiklah. Aku juga mau tidur sekarang ini.” jawabku sambil berdiri, diikuti oleh dead fans sialan ku satu-satunya. Aku kemudian meregangkan tanganku. Ini benar-benar hari yang melelahkan. Aku terasa seperti baru saja turun dari rollercoaster emosi barusan ini. Sepertinya, setelah ini aku akan tidur sampai malam datang lagi.

“Keres !! Tidak mungkin aku akan membiarkanmu pergi dengan tenang seperti itu, bajingan !! Tidak setelah kamu membunuh tuan Ferrum !!”

Bukankah itu suara Glacio ? Aku kira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih hidup, toh. Sialan, dead fans ku yang satu ini tidak bisa dipercaya sama sekali. Aku menoleh ke belakang, mendapati si rambut es itu sedang berlari ke arahku sambil membawa pedang esnya yang agak... Mencair ? Menyedihkan. Kalau begini caranya, aku bahkan tidak perlu menghindari serangannya. Namun tiba-tiba, sebuah ingatan masa lalu muncul sekilas di benakku. Glacio..... Dia adalah, anggota scavenger juga !? Kalau begitu, tidak mungkin aku akan membunuhnya. Cukup sampai di sini saja rollercoaster emosi itu berhenti. Aku sudah muak karena menangis beberapa menit setelah membunuh si besi. Kalau aku membunuh si rambut es ini juga, bisa-bisa aku akan menangis seharian. Aku dengan cepat menghunuskan ujung pegangan Tonitrui sebagai tanda bahwa aku tidak ingin menyerangnya. Pedang es Glacio yang sedang mencair itu juga mengarah kepadaku, walaupun itu sepertinya tidak bahaya sama sekali. Tatapan Glacio begitu tajam, dan tentu saja penuh dengan amarah. Aku tahu alasannya bisa semarah ini, dan aku mengmakluminya. Aku baru saja membunuh seseorang yang selalu melindungi dirinya itu, dan bahkan juga bertarung mati-matian untuknya. Maafkan aku, rambut es.

“Pergilah, sebelum aku mengubah pikiran ku saat ini.”

Tatapan Glacio semakin tajam, dan beberapa saat kemudian menurunkan pedang esnya yang sudah mencair setengahnya.

“Hanya karena kita adalah sesama scavenger di masa lalu, bukan berarti aku akan memaafkanmu. Aku akan menyimpan dendam Tuan Ferrum ini, sampai aku membunuhmu dengan tanganku sendiri. Ingat itu.”

“Benar. Sebaiknya kamu menyimpan dendam itu sampai selamanya. Aku memang berdosa saat ini. Tidak, maksudku, aku memang berdosa selama hidupku.”

Dan begitulah. Glacio akhirnya berjalan ke belakang meninggalkan kami bertiga. Benar-benar hari yang terasa sangat panjang. Aku yakin, semua orang yang terlibat dalam pertarungan ini, mereka semua kembali dihadapkan oleh masa lalu mereka, sama sepertiku.

Begitulah kenyataannya. Kami hidup di sebuah dunia dimana anak-anak diburu oleh orang-orang yang lebih kuat dan juga berkuasa. Mereka semua kehilangan harapan. Mereka semua berdoa kepada Tuhan. Mereka semua meminta pertolongan, baik itu pada pihak yang benar, ataupun yang salah. Mereka semua membutuhkan tempat perlindungan, dan juga seseorang yang akan melindungi mereka dengan segenap hati. Anak-anak berlarian ketakutan. Yang mereka lihat hanyalah darah, pertarungan, dan juga kematian. Mereka membutuhkan seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk melindungi mereka dari kejahatan yang tersebar di seluruh dunia ini.

Mereka hanya membutuhkan satu tempat di dunia ini yang bisa menjamin hidup mereka selamanya..... yaitu surga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!