DI SEBUAH komplek perumahan yang terletak di lingkungan yang penuh kehidupan itu terlihat seorang wanita berambut pendek sebahu dengan blouse dan rok denimnya sedang berjalan dengan langkah perlahan.
Lingkungan penduduk yang berlokasi di Distrik Barat kota Tadulako itu bernuansa tradisional modern. Meskipun terletak di Ibukota provinsi dan di antara menara dan gedung-gedung tinggi, tetapi pemukiman ini masih tampak laiknya sebuah pedesaan. Pemandangan hijau dan aroma hutan pun masih sangat terasa.
Rumah penduduk setempat dibangun bertingkat-tingkat dengan warna-warni cerah sehingga memberi kesan seperti berada di negeri pelangi. Konon katanya, Buluri adalah kawasan tinggal tertua di antara pemukiman lain di seluruh Tadulako.
Wanita berambut sebahu itu masuk ke sebuah pekarangan rumah bertingkat yang berwarna kuning. Di sana dia melihat Farhan dengan kemeja hitam dan celana skinny fit kotak-kotaknya sudah bersiap-siap.
"Ada apa manggil jam-jam segini?" Tanya Gina yang bahkan Farhan tidak sadari kedatangannya.
Setelah pertemuan semalam, Farhan menghubungi dua sahabatnya Rio dan Gina untuk bertemu dengannya besok siang. Dia mengatakan bahwa ada hal yang ingin dia sampaikan kepada mereka.
"Ikut aja."
Farhan lalu mengunci pagar rumahnya yang tampak lapuk itu.
"Gimana kabar nenek? Udah ada informasi?" Tanya Gina sembari berjalan bersama sahabat masa kecilnya itu.
Farhan menggeleng dengan ekspresi cemberut.
"Aku dan Rio udah ngepost di sosial media dan nempelin banyak brosur."
Farhan mengangguk tersenyum, "Aku udah lihat. Aku hanya ngarep nenek baik-baik aja, di mana pun dia."
Gina lalu merangkul sahabatnya itu untuk menenangkannya.
"Nenek pasti baik-baik aja," ujarnya tersenyum, "Terus gimana dengan bantuan yang ditawarin orang kaya itu?"
Ya, inilah alasan aku memanggil kalian.
"Entar aku ceritain."
Siang itu matahari sangat terik, Farhan dan Gina harus menunggu dan mengantre panjang untuk sebuah bus yang akan mengantarkan para penumpang sampai ke tujuannya.
Akhirnya setelah berjemur cukup lama, bus yang dinanti-nanti pun datang juga. Buluri walaupun eksotik dan asri tapi bukan lingkungan yang mainstream, sehingga fasilitas untuk masyarakat sangat terbatas.
Suasana Buluri sangatlah berbeda dengan pusat kota. Tidak ada hiruk-pikuk, kecuali suasana perumahan yang tenang.
Farhan dan Gina lalu melintasi sebuah jalan raya yang berbatasan langsung dengan Teluk Tadulako. Meskipun mereka sudah melihat pemandangan itu nyaris sepanjang hidupnya, mereka berdua tetap menikmati pemandangan tersebut.
Begitulah, alam tak pernah bosan untuk dinikmati.
Hanya memakan waktu tiga puluh menit saja, akhirnya mereka sampai di sebuah taman indah yang gerbangnya bertuliskan: TAMAN FANTASI AGARTHA. Tempat di mana mereka bertiga akan bertemu.
Taman Agartha adalah taman yang selalu menjadi objek wisata kota yang populer. Taman ini dikenal karena memiliki tiga spot khas yang membuatnya berbeda dari taman-taman lain, yaitu: Konservatori Forest dengan beragam spesies tanaman globalnya. Kubah Bunga yang memiliki berbagai tanaman unik yang berasal dari berbagai tempat di dunia seperti Mediterania dan Afrika Selatan. Lalu ada Taman Dapur yang memamerkan sekitar 40 spesies sayuran yang disusun dalam tambalan yang berwarna-warni dan teratur.
Meskipun tiket masuk ke taman ini mahal, namun ketika memasuki taman ini siapapun akan melupakan kepenatan hidup. Seolah harga tiket tak sebanding dengan keindahan dan kedamaian taman yang mampu memanjakan mata dan pikiran, sama seperti yang dirasakan Farhan saat ini. Dengan lanskap taman yang saling menyatu di ruang-ruang berkelok yang mereka lewati, mereka merasa seolah sedang memasuki labirin dunia.
Ketika mereka sedang berjalan menikmati panorama Agartha, mereka melihat beberapa stan makanan yang menjual makanan-makanan khas luar negeri seperti makanan Italia dan Turki. Gina pun meminta Farhan untuk mampir ke tempat tersebut karena sejak tadi dia sama sekali belum mengisi perutnya.
Gina menyarankan Farhan untuk mencoba spageti hitam. Namun Farhan enggan mencobanya karena dia tidak terbiasa melihat spageti yang berwarna gelap. Farhan pun menjatuhkan pilihannya pada sesuatu yang lebih familiar untuknya: Pizza. Sementara Gina, di sisi lain, memesan Calamari.
Mereka lalu mengambil pesanannya dan duduk di bawah pohon rindang yang menawarkan kesejukan di tengah teriknya matahari pukul 2 siang.
Karena ini bukan hari libur maka tidak heran jika pengunjung taman yang datang saat ini sangat sedikit. Hanya sesekali saja mereka melihat pengunjung lain yang melintas sembari bersua foto.
Setelah makan, mereka berdua pun menuju ke sebuah gazebo yang saling berhadapan dengan taman bunga yang lengkap dengan patung serigala perunggunya. Mereka tidak tahu mengapa patung serigala diletakkan di sana, sementara tidak ada serigala di Tadulako. Namun begitu, patung itu mengingatkan Farhan pada kisah Romulus dan Remus yang konon merupakan pendiri Kota Roma.
Ketika mereka baru saja duduk di gazebo, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Rio meneleponnya.
"Halo."
"Aku baru nyampe di Agartha. Kalian di mana?" Tanya Rio dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal.
Apa dia berlari ke taman?
"Aku sama Gina udah dari tadi nyampe. Sekarang kita lagi di tengah-tengah taman yang ngga jauh dari Taman Dapur. Jalan aja ke sini, nanti bakal nemu gazebo yang di depannya ada patung serigala. Kita nunggu di situ," jawab Farhan sedikit kesal karena keterlambatan Rio. Padahal mereka janjian akan bertemu di taman jam 2:15 siang - paling lambat 2:30, tapi sekarang sudah pukul 2:58.
"Rio?" Tanya Gina.
Farhan mengangguk.
Gina hanya menggelengkan kepalanya, "Ya ampun, ini udah jam berapa."
...***...
"Maaf aku terlambat," ujar Rio mencari alasan, "Tadi ada urusan dikit."
Farhan dan Gina tidak menggubrisnya. Mereka tahu pasti dia ketiduran karena semalam sibuk dugem di klub malam.
"Jadi kenapa manggil aku sama Gina ke sini?" Tanya Rio.
Farhan sedikit mengambil nafas. Dia harus memilih diksi yang tepat untuk mengucapkan salam perpisahan kepada dua sahabatnya itu. Karena dia tidak tahu berapa lama dia akan meninggalkan mereka.
"Lima hari lagi aku ngga tinggal di sini lagi," ucap Farhan.
Rio dan Gina masih menatapnya kebingungan. Itu pernyataan yang ambigu.
"Lima hari lagi ngga di sini? Maksudnya gimana?" Tanya Gina.
"Maksudnya aku bakal pergi ke tempat lain," Farhan menghela nafasnya, "Ke luar negeri."
"Hah?" Keterkejutan kedua sahabatnya tidak bisa terbendung.
"Ke mana?" Tanya Rio dan Gina bersamaan.
"Rusia."
"Hah!?" Mereka semakin terkejut. Memangnya dia ngapain di sana?
"Kok bisa?" Tanya Gina penasaran.
"Ini adalah tawaran dari Pak Herman yang pernah aku omongin itu," jawab Farhan sembari memandang mereka berdua.
Keduanya terdiam sejenak mencoba mencerna apa yang Farhan katakan.
"Aku tahu tentang tawaran itu, dia minta kamu buat kerja di tempatnya untuk sama-sama mencari nenek. Tapi pergi ke Rusia? Apa hubungannya ke Rusia dan hilangnya nenek?" Tanya Gina dengan tatapan serius.
Itu pertanyaan yang sulit bagi Farhan. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya akan menanyakan hal itu. Tetapi di sisi lain dia juga tidak mungkin memberitahukan tentang rencana Pak Herman dan tentang Pemburu. Itu mustahil dan mereka tidak akan percaya sekalipun jika dia menceritakannya. Dia terjebak dalam kebingungannya.
Setelah lama berpikir dia akhirnya menemukan jawaban alternatifnya, "Aku juga ngga tahu. Yang jelas itu yang dia minta."
Kenapa dia ngasih jawaban pasif? Pikir Gina.
"Kamu ngga nutupin sesuatu dari aku, kan?"
Rio menatap Farhan mencoba mencari tanda apapun yang bisa membikin dirinya yakin bahwa sahabatnya sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu.
"Ngga ada. Karena Pak Herman sekarang atasanku, jadi aku ngga bisa nolak apa yang dia suruh. Dia nyuruh aku ke Rusia tanpa ngasih alasan apapun," jawab Farhan berusaha meyakinkan mereka.
Farhan sebenarnya berharap bahwa kepergiannya tidak akan membuat mereka berdua khawatir. Tetapi membuat mereka tidak mencurigai keputusannya saja sudah cukup sulit, apalagi membuat mereka tidak khawatir.
Untungnya kedamaian dan udara segar di taman ini cukup membantunya untuk berpikir lebih jernih sehingga dia bisa mengimprovisasi jawaban yang tepat meskipun terkesan mengada-ngada untuk menghindari keduanya sekaligus.
Gina dan Rio pun hanya terdiam. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Keputusan yang tiba-tiba ini membuat mereka sedikit kecewa, karena mereka merasa tidak begitu dianggap sebagai sahabat; apa yang mereka inginkan adalah mendiskusikan hal sepenting ini terlebih dahulu sebelum dia mengaminkan permintaan bosnya.
Di sisi lain, sekeras apapun Gina berpikir, dia tidak bisa menepikan kecurigaannya bahwa ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Karena dia sangat mengenal sahabatnya itu. Dia bukan tipe orang yang akan mengiyakan permintaan orang lain tanpa alasan yang jelas.
Namun begitu, untuk sekarang dia akan menerima keputusan sahabatnya itu. Meskipun dia sulit menerima, tetapi dia yakin bahwa Farhan pasti punya alasannya sendiri mengapa dia menerima permintaan Pak Herman.
Itu keputusan yang besar, Han. Aku kecewa, tapi di sisi lain aku takut kau pergi.
...***...
Tak terasa waktu terus bergulir. Sekarang sudah pukul 5:50 sore. Matahari tampak sudah menunjukkan tanda akan terbenam. Sebelum langit menjadi benar-benar gelap, Farhan dan Gina pun berpisah dengan Rio. Mereka harus segera pulang sebelum malam tiba. Karena area tempat di mana taman cantik ini berada, saat malam hari, situasinya bisa sangat berbahaya.
Sejak pertemuannya dengan Pak Herman, Farhan menjadi tahu tentang gangster dan wilayah kekuasaan mereka. Menurut penjelasan Pak Herman, lokasi taman ini masih berada di Distrik Utara, artinya ini adalah wilayah kekuasaan gangster yang beberapa hari lalu mengejarnya dan Iyal.
Siapa ya namanya? IGIS? Pikir Farhan mencoba mengingat-ngingat nama kelompok mereka.
Jadi adalah keputusan yang tepat jika mereka kembali lebih cepat, meskipun taman ini biasanya akan ditutup jam 7 malam.
Farhan, Rio, dan Gina sekarang berada di luar taman. Dan Rio sudah bersiap-siap pulang dengan motor bebeknya.
"Kau yakin ngga mau dianterin Rio?" Tanya Farhan pada sahabat masa kecilnya yang sejak tadi itu diam. Gina hanya menggelengkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Tapi lebih baik ka..."
"NGGA!" Gina langsung menimpali kata-kata Farhan bahkan sebelum kata-kata itu diselesaikan. Farhan mencoba untuk memahaminya. Emosi sahabatnya mungkin sedang tidak bisa dikompromikan sejak percakapan mereka tadi.
Dia pun menyuruh Rio untuk meninggalkan mereka terlebih dahulu. Rio mengangguk dan langsung menarik gas motornya meninggalkan mereka berdua.
Farhan dan Gina lalu berjalan bersama menuju halte. Bus terakhir akan tiba kurang lebih 30 menit lagi. Halte bus tidak begitu jauh dari taman, jadi mereka masih punya banyak waktu.
Sepanjang perjalanan tak ada dari mereka yang mengobrol. Sambil berjalan, Gina hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, sementara Farhan hanya bisa memperhatikan wanita di sebelahnya itu dalam diam.
Jalanan masih begitu ramai. Ada beberapa orang yang tampak baru pulang dari kantornya, ada yang hanya duduk di kursi pedestrian sambil menikmati senja, dan ada pula dua orang yang berjalan bersama tanpa saling mengobrol satu sama lain; itulah Farhan dan Gina.
Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di halte bus. Tidak ada siapapun di sana kecuali mereka berdua. Hanya kendaraan yang melintas saja yang meramaikan jalanan sepi itu. Mereka lalu duduk menunggu. Tak butuh waktu lama, bus yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dalam suasana kaku itu Farhan mencoba untuk memulai percakapan terlebih dahulu.
"Gin."
Gina hanya diam, dan sama sekali tidak melihatnya.
"Maaf ngga ngasih tahu kamu tentang ini sebelumnya."
Farhan berusaha untuk menenangkan sahabatnya itu. Dia tidak terbiasa melihat Gina terdiam seperti itu, karena Gina yang dia kenal adalah Gina yang berisik, cerewet, gesit, dan aktif. Dia bukan wanita yang pasif. Dia akan mengatakan sesuatu apa adanya; jika dia tidak menyukai sesuatu maka dia akan mengatakan kalau dia tidak menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Tapi sekarang, sosok Gina di sampingnya seolah menjadi sesuatu yang lain.
"Aku salah. Aku ngga tahu berapa lama aku di sana, tapi aku janji akan kembali."
Air mata Gina tiba-tiba terjatuh. Seolah diamnya tadi hanyalah untuk membendung semua air mata itu. Dia bahkan menangis tanpa bersuara.
"H-Han, kau masih ingatkan kan janji yang kau buat waktu kita masih sekolah dasar?"
"Ya, aku ngga bakal ninggalin kamu, dan kita bakal bareng terus."
Ada sedikit senyum terukir di wajah Gina. Namun dia cepat-cepat menutupinya.
"Itu masih berlaku, kan?" Tanya Gina masih dengan menundukkan kepalanya. Dia tak ingin pria di sampingnya melihat wajah sembabnya.
"Kamu ngga usah nanya. Itu udah pasti, masih," jawab Farhan yang tiba-tiba menjatuhkan kepalanya dan melihat wajah Gina, yang basah karena air mata, itu dari bawah. Gina pun langsung menutup wajahnya dengan tangan kirinya berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, dan lalu memukul bahu pria yang mengusilinya itu.
Farhan pun tersenyum puas. Sekarang dia lega bahwa kepergiannya tidak akan mengganggu Gina dan Gina juga sudah kembali tersenyum. Mereka akhirnya kembali bercakap-cakap seperti biasa di sepanjang perjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Rosie🌹
👍👍👍
2023-04-04
0
Ayano
Iya silahkan berpikir begitu sebelum. masalah datang menikmati 'kebahagiaan' di kehidupan mu 🤣🤣🤣
2023-04-03
0