RUANG tunggu utama itu memiliki interior dan desain yang unik dengan luas kurang lebih 100 meter persegi. Di beberapa tempat bahkan ada patung-patung yang cukup familiar. Namun hanya beberapa patung saja yang Farhan kenali. Beberapa di antaranya adalah patung dewa-dewa Olympus dan Nordik, seperti Poseidon dan trisulanya, Thor dan palu fenomenalnya, dan sang dewa pengetahuan, Apollo.
Meskipun patung-patung tentang dewa-dewa kuno cukup banyak berjejer, namun di dinding bermaterial marmer itu juga terdapat banyak pigura yang sepengetahuan Farhan beraliran realisme abad ke-18. Kebanyakan dari mural itu menggambarkan kehidupan para petani dan kehidupan industri. Dua sisi kehidupan yang, menurutnya, saling bertolak belakang.
Sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat dan Ilmu Budaya di Universitasnya, hal-hal semacam ini tidak asing bagi Farhan. Farhan juga adalah salah satu mahasiswa terbaik yang mendapatkan beasiswa langsung dari Kementrian Pendidikan. Meskipun dia tidak begitu ahli dalam hal ini, namun paling tidak dia cukup familiar dengan seni klasik dan modern.
"Bagaimana lukisannya, suka?"
Suara itu membuat Farhan tersadar dari lamunannya - yang sedang menikmati interior di ruang tunggu utama gedung mewah itu.
Sempurna, pikirnya.
"Iya, Pak," jawab Farhan berusaha menutupi kekagumannya.
Itu adalah paman dari wanita kasar itu. Dengan t-shirt putih dan celana puntung yang dia kenakan, membuatnya tidak tampak seperti pengusaha sukses pada umumnya. Selain pecinta seni, ternyata dia juga orang yang sangat sederhana.
Farhan tiba-tiba bertanya-tanya, bagaimana bisa gadis yang hidup di keluarga yang mencintai seni seperti pamannya ini bisa memiliki tempramen yang kasar. Dia percaya orang yang dibesarkan di antara pecinta seni seharusnya tidak memproduksi wanita barbar semacam itu.
Bulu kuduknya tiba-tiba merinding mengingat apa yang wanita itu lakukan padanya beberapa menit yang lalu.
"Bagus kalau kau suka. Kami punya banyak koleksi seni yang disimpan di tempat lain. Kalau kau mau, kapan-kapan kita bisa ke sana," tawar paman wanita itu dengan ramah.
Sepertinya dia terbiasa berbicara sopan. Apa ini tata krama orang kaya? Tanyanya membatin.
"Haha, makasih! Dengan senang hati, Pak."
"Ya. Sepertinya kau tahu seni dan mitologi."
"Ngga juga."
"Juga? Jadi kau tahu kalau kau tahu, tapi kau ragu bilang iya?"
"Haha..." Farhan tersipu, seolah paman wanita itu bisa membaca pikirannya.
"Oke, cukup basa-basinya. Aku sudah dengar situasimu. Nenekmu diculik dan kau jadi buruan beberapa gangster yang mungkin adalah anggota IGIS."
"IGIS?"
"Mafia yang berkuasa di Distrik Utara."
Farhan baru mendengar nama itu. Dia tahu kalau tadi mereka dikejar oleh beberapa orang preman karena ketahuan mengintip. Namun dia tidak menyangka ini bakal berhubungan dengan sindikat berbahaya semacam itu.
"Jadi, apa hubungannya dengan nenekku? Karena kata perempuan gila itu..."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia sadar kalau dia baru saja mengumpat karena memanggil Iyal dengan sebutan wanita gila tepat di depan pamannya sendiri.
"Ehem... maksudku, kata Iyal, nenekku diculik sama kelompok bernama Pemburu atau apalah."
Paman wanita itu tampaknya tidak begitu peduli, dan mengangguk pelan.
"Ya, tapi itu hanya kemungkinan. Karena biasa mereka hanya menculik atau membunuh orang yang berpengaruh dan yang dianggap berbahaya saja."
"Jadi, Pak?"
"Jadi, aku harus memastikan identitasmu dulu."
Itu jawaban yang terlalu berterus terang dan frontal. Namun Farhan tidak begitu terkejut.
"Kenapa?"
"Biar aku tahu apakah kau dan nenekmu benar-benar ancaman bagi mereka atau tidak. Terus aku juga mau tahu siapa orang tua dan nenekmu. Dengan begitu..."
Farhan menatap lekat-lekat pria itu. Namun dia tidak bisa menahan tangannya yang tiba-tiba mengepal dengan sendirinya.
"... Kau juga bisa mendapatkan petunjuk tentang di mana nenekmu sekarang berada," lanjut paman wanita itu.
Itu jawaban yang memuaskan, meskipun sulit untuk di-iya-kan. Tapi tidak ada cara lain yang terbaik selain apa yang diusulkan oleh pria yang berusia 40-an tahun itu.
"Oke aku ngerti, untuk sekarang aku setuju."
Paman wanita itu pun tersenyum puas.
"Kalau begitu, kau istrahat lah di sini. Nanti akan ada pelayan yang mengantarkanmu ke kamar khusus. Kita bisa mengobrol besok pagi. Dan... "
Paman itu tiba-tiba memberikan tangannya.
"Maaf perkenalannya terlambat. Aku Herman."
Farhan pun menyambut salaman itu.
"Farhan."
Setelah perkenalan yang singkat itu, Herman pun berbalik dan segera pergi meninggalkan Farhan. Namun...
"Tunggu!" Ucap Farhan cukup keras sehingga membuat suaranya sedikit memantul di dinding-dinding ruang tunggu utama itu.
Herman pun berbalik.
Farhan tiba-tiba menunjuk sebuah lukisan abstrak yang aneh di dinding yang bersebelahan dengan jam dinding antik yang tampaknya buatan Jerman di era Nazi.
"Apa yang bapak lihat di lukisan itu?" Tanyanya sembari menatap mata pria paruh baya yang kini berjarak 10 meter darinya.
Herman cukup terkejut dengan pertanyaan yang sangat tiba-tiba dari anak yang bahkan baru mencapai 1/2 tahun usianya itu. Namun dia memakluminya.
Anak-anak memang suka bertanya, pikirnya.
"Topeng," jawabnya sembari tersenyum.
Dia pun berbalik dan pergi meninggalkan Farhan.
...***...
Bilik itu tampak tak terurus. Cat temboknya pun usang. Di lantai ada banyak sekali sampah, terutama botol minuman keras dan puntung rokok - menunjukkan si pemilik sedang dalam masa-masa sulit.
Di ranjang yang reyot tampak seorang pria tengah terkulai lemas. Kepalanya yang terluka tampak dibungkus perban yang penuh dengan bercak darah. Sementara tangan kirinya melelai di atas tali kain - yang disambungkan di loteng karena mengalami cidera - patah tulang.
Pria bertubuh besar dengan tinggi sekitar 180 cm itu hanya bisa mengutuki kondisinya saat ini.
Semuanya menjadi berantakan sejak pertempuran semalam dengan kelompok lain. Namun yang paling membuatnya frustasi adalah pria yang tak dikenal yang tiba-tiba mematahkan tangan kirinya.
Siapa laki-laki itu?
Dia menengok kondisi tangannya. Matanya memerah karena kesal.
Jika sekali lagi kita bertemu, 'kubunuh kau! Dia mengeritkan giginya karena amarah.
Mungkin akan membutuhkan waktu beberapa bulan sampai dia kembali ke kondisi primanya. Lebam di pergelangan tangan dan perutnya adalah bukti bahwa kondisinya saat ini benar-benar parah.
Tiba-tiba ponselnya yang dia letakkan di meja tidurnya berdering.
Dia penasaran siapa yang pagi-pagi buta seperti ini menelepon.
...Unknown...
Itu adalah nomor yang tak dikenal. Namun dia tahu siapa yang meneleponnya. Singkatnya itu adalah nomor rahasia yang hanya diketahui oleh para ketua geng kecil di Distrik Utara.
Dia lalu menaruh ponselnya di telinga. Tidak begitu sulit meskipun tangan kirinya cidera. Dia bersyukur tangan kanannya masih dapat digunakan.
"Halo."
Pria yang meneleponnya itu memberikan perintah kepadanya untuk mencari sebuah mobil Mercedes-Benz merah dengan dua anak muda, seorang pria dan wanita, yang berumur sekitar 20 tahun. Pencarian ini distatuskan sebagai "URGEN-RAHASIA". Artinya ini benar-benar penting.
Tampaknya perintah ini juga disampaikan kepada ketua-ketua kelompok kecil lainnya.
"Baik, baik, Pak," jawabnya penuh hormat dan kehati-hatian.
Dia sudah menyiapkan catatannya.
Dia mencatat nomor plat mobil Mercedes-Benz yang oleh pria di ujung telepon tersebut minta untuk dia dan anak buahnya temukan.
...DN 123 H...
Dia penasaran, mengapa IGIS mencari pemilik mobil mewah ini? Bajingan mana yang punya nyali untuk membuat masalah dengan IGIS? Mereka pasti bosan hidup.
Dia pun berteriak memanggil anak buahnya untuk segera melaksanakan perintah yang diberikan. Karena setiap perintah IGIS adalah hal yang harus diutamakan. Meskipun Distrik Utara dikuasai oleh banyak kelompok gangster kecil dan terkadang saling bertikai, mereka tetap memiliki satu komando terpusat: IGIS.
IGIS sebenarnya tidak begitu peduli jika para preman di wilayahnya membuat kelompok mereka sendiri-sendiri selama itu tidak mengganggu otoritas dan bisnis IGIS. Inilah salah satu keunikan di Distrik Utara.
Tak berselang lama, pintu kamarnya diketuk.
"Masuk."
Pintu pun terbuka.
Itu adalah seorang pria kekar yang tak mengenakan pakian untuk menutupi tubuh bagian atasnya; Dia hanya mengenakan jeans panjang. Terlihat jelas otot dada dan perutnya. Seluruh tubuhnya dipenuhi rajah. Namun yang paling mencolok adalah luka-luka akibat tebasan pedang dan juga luka tembak sehingga membuat pria ini tampak menyeramkan.
"Bos, saya sudah menyuruh anak-anak untuk mencari mobil itu. Terus grup-grup lain juga sudah mulai bergerak."
"Jangan biarin bajingan-bajingan itu dapetin mangsanya. Kita harus dapetin pengakuan IGIS supaya kita bisa dipercaya buat ngelolain beberapa bisnis mereka!"
"Siap, bos!"
Seluruh kelompok geng-geng kecil di Distrik Utara pun mulai melakukan pengejaran terhadap Farhan dan Iyal yang dicurigai sebagai mata-mata dari mafia saingan di Distrik Selatan, KELO.
Perang besar di Kota Tadulako tampak tak akan lama lagi meletus.
...----------------...
CATATAN: Lukisan yang ditunjuk oleh Farhan adalah lukisan yang dirancang oleh psikolog Swiss bernama Hermann Rorschach. Biasa dipakai untuk tes psikologi (tes berkas tinta Rorschach) dengan menanyakan apa yang dilihat seseorang saat melihat gambar abstrak yang simetris untuk melihat apa yang terjadi di alam bawah sadar seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Liu Zhi
GG kamu Farhan
2023-04-20
0
Ummu Kalsum
🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
2023-04-14
0
Bintang Ray234🌸🌸
Ceritanya menarik✨
2023-04-08
0