Tiffany bergegas turun dari motornya yang baru saja terparkir di area parkir kampus. Tangannya terus menerus menyampirkan tasnya yang selalu merosot saat dia berlari. Mulutnya tak henti-hentinya menggerutu, memaki kebiasaan buruknya sejak sekolah dasar sampai sekarang yang tak pernah hilang, yaitu mencetak rekor kesiangan.
Sepertinya, memang tak ada hari tanpa kesiangan, untuknya.
Sejak otaknya yang terus menerus memikirkan si cowok songong, Tiffany sampai lupa kalau semua mahasiswa baru di wajibkan mengikuti acara yang diselenggarakan panitia kampus. Sebenarnya acaranya sih biasa saja, perkenalkan tentang area kampus dan semua yang berbau kampus mereka. Tapi ini wajib diikuti semua mahasiswa baru, artinya dia juga harus ikut karena dirinya mahasiswa baru disini. Begitu.
Matanya kembali melirik jam yang menyatu dengan gelang di pergelangan tangannya, kakinya terus melangkah lebar sambil sesekali berlari pelan. Dia tak mau, tak mau kalah harus di hukum hanya karena kesiangan lagi. Sudah cukup kemarin saja, sekarang dia tak mau lagi. Apalagi hukumannya gak asik, masa harus mendengarkan ocehan para senior tentang kedisiplinan yang seharusnya dirinya miliki.
Membosankan.
Langkah Tiffany terhenti saat netranya menatap kumpulan mahasiswa baru. Kepalanya menggeleng kuat dengan kaki yang kini berjalan mundur. Hatinya berkata, bahwa hanya dirinya lah yang lagi-lagi terlambat. Tidak. No way. Enggak banget kalau dia harus mendengarkan ocehan seniornya itu, lagi.
“Sumpah, gue gak mau denger ocehan mereka lagi.”
Tiffany menggeleng keras, kakinya masih melangkah mundur dengan kecepatan yang kian bertambah setiap langkahnya. Tepat saat tubuhnya berbalik, dia malah menabrak sesuatu. Alhasil, bokongnya kini mendarat dengan sempurna di atas tanah. Rintihan pelan langsung meluncur dari mulutnya saat merasakan bokongnya yang terasa perih sekaligus kepalanya yang kini berdenyut.
Tiffany menabrak apa sih? Sampai-sampai jatuh terduduk dan kepalanya berdenyut.
Tiffany mengusap keningnya, mendongak menatap seseorang yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya. Matanya sedikit memicing saat wajah itu tak terlihat begitu jelas karena cahaya mentari pagi yang lumayan bersinar cerah hari ini. Dan perlahan, wajah itu terlihat membuat dia membulatkan matanya saat tahu siapa orang jangkung di hadapannya.
“Bisa jalan gak si Lo?”
Boleh tidak dirinya mengumpat sekarang saat mendengar pertanyaan tak berbobot itu? Ya iyalah, bukannya membantu, orang itu malah bertanya demikian. Tak tahu apa kalau bokongnya ini sakit. Dasar.
“Bantuin kek, malah diam aja.”
Tiffany beranjak berdiri sendiri kemudian menepuk-nepuk jeans bagian belakangnya yang baru saja mencium tanah. Dia mencebik saat orang di hadapannya hanya diam saja dengan wajah tampan yang sayangnya ingin sekali di pukul menggunakan tangannya saat ini juga.
Mereka saling tatap dengan tatapan tajam yang saling menghunus satu sama lain.
Tiffany memutar bola matanya jengah, membalikkan tubuhnya berniat pergi meninggalkan orang di hadapannya ini. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, dia di kejutkan dengan keberadaan senior dengan kemeja khas panitia acara untuk mahasiswa baru yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini juga.
Dia mengedarkan pandangannya, berniat mencari tempat aman agar tak sampai ketahuan. Matanya berhenti pada orang yang sempat ditabraknya tadi yang kini sudah melangkah pergi. Tiffany tak punya pilihan, dia belum tau seluk beluk kampus ini dengan jelas. Akhirnya dia berlari mengejar langkah lelaki yang tak jauh darinya.
“Eh, cowok songong!”
Ya, tepat sekali. Orang yang ditabraknya tadi adalah si cowok songong a.k.a Delfano. Dia langsung mengejar langkah lelaki itu, namun lagi-lagi dirinya menabrak tubuh itu. Alhasil, keningnya lagi yang menjadi korban. Beruntung Delfano adalah laki-laki, sehingga lelaki itu mampu menyeimbangkan tubuhnya.
“Bantuin gue, ya. Pokoknya Lo harus sembunyiin gue dimana pun. Asalkan jangan sampai senior di sana pada tau, gue gak mau dihukum.” tukas Tiffany dengan menggebu-gebu. Raut cemas nya tak hilang dari wajahnya.
Keterdiaman dan tatapan datar dari Delfano justru membuat dirinya kesal. Apalagi pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut kurang ajar itu.
“Harus banget gue peduli?”
Tiffany berdecak pinggang, menatap kesal dan marah Delfano. “Lo tuh ya, gak tau terimakasih banget sih! Harus nya tuh Lo bantuin gue, karena gue udah bantuin lo, dua kali.” ucap Tiffany, dia menunjukkan kedua jarinya tepat di hadapan Delfano. “Ya sebagai balas budi, Lo bantuin gue balik dong!” lanjut Tiffany sambil mencebik.
Delfano menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis sambil mengendikan bahunya. “Gue gak peduli,” jawab Delfano kemudian melenggang pergi meninggalkan Tiffany yang kesal karena sikap lelaki itu.
“DASAR COWOK SONGONG!!”
“TIFFANY!”
Mati gue.
***
“Ayo!”
Tiffany menggeleng, dia menatap memelas kedua senior perempuan yang berdiri disampingnya. Sejak mereka menangkap basah dirinya yang hendak kabur, sejak saat itu pula dia harus menyiapkan mental untuk menjalankan hukuman. Dia pikir, dia akan mendapat hukuman seperti kemarin yaitu hanya mendengar ocehan mereka saja. Ternyata, dia salah. Kali ini, hukumannya lebih serius.
Mereka berdecak pelan menatap Tiffany yang memelas menatapnya.
“Please kak, yang lain aja deh. Gue gak bisa kalau ini.”
Ya, mana mau Tiffany kalau harus menyebur ke danau kampus. Apalagi yang dia tau, kedalamannya itu lumayan. Serta, trauma dan memori buruk tentang danau masih belum bisa dia lupakan begitu saja.
“Gak bisa, cepetan!”
“Atau Lo mau, hukuman ditambah nanti.”
Tiffany mengangguk cepat. “Iya, gakpapa deh hukumannya di tambah. Asal gak nyebur aja, gue soalnya trauma kak.” jawab Tiffany yang membuat senior di hadapannya ternganga mendengar itu semua.
Mereka saling bertatapan dan itu semua tak lepas dari Tiffany yang memperhatikan mereka. Kemudian dia tersenyum lebar saat mereka mengangguk.
“Oke, kalau begitu. Gue bakal kasih hukuman, bersihin perpustakaan kampus—”
“Siap-siap!”
“Belum selesai!”
Tiffany terdiam.
“Dan, Lo harus bisa dapetin tanda tangan, nomor handphone sama foto selfie bareng Delfano.”
Tunggu, dia tak salah dengar kan.
Delfano?
Apa yang seniornya maksud adalah Delfano si cowok songong itu? Ah, mana mungkin. Lagian, dia yakin kok kalau nama Delfano disini tuh banyak, bukan hanya si cowok songong itu.
“Gimana?”
Tiffany mendongak, kemudian mengangguk. “Oke. Tapi, boleh gue tau yang mana orangnya?” Tanya Tiffany, dia tak mau sampai salah orang.
Mereka tersenyum sinis. “Ya Lo cari tau sendiri lah. Lagian, for information aja. Delfano di kampus kita tuh cuma satu. Jadi, Lo cari sendiri aja deh.”
What!
Jadi, benar dong kalau Delfano yang mereka maksud adalah si cowok songong. Huh!
“Kalau gue gak bisa? Maksud gue, kalau gue gak bisa lakuin hukuman kedua, gimana?”
“Liat aja nanti.”
Setelahnya, mereka meninggalkan Tiffany seorang diri di pinggir danau. Matanya menatap danau yang dia yakin cukup dalam. Keningnya kini berkerut dan bibirnya mencebik sambil berdecak pinggang.
“Kenapa harus cowok itu sih!”
***
Tiffany mengelap peluh di dahinya, dia berdecak pinggang saat sudah selesai dengan hukuman pertamanya. Dia melangkah memasuki kantin, mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Yolanda. Perempuan itu tadi sudah mengirimkan pesan kepadanya untuk bertemu di Komawa atau Koperasi Khusus Mahasiswa a.k.a kantin.
Tiffany segera melangkah menghampiri Yolanda yang tengah duduk seorang diri di temani segelas es jeruk. Tanpa rasa malu, dia langsung menyambar gelas tersebut dan meneguk isinya membuat Yolanda yang tadinya diam kini mendongak menatapnya.
“Haus banget ya?”
Entah kenapa, Yola sering sekali melontarkan pertanyaan seperti itu setiap kali dia meneguk paksa minuman miliknya.
Tiffany duduk dihadapan Yolanda. “Lumayan. Ya, Lo bayangin aja gue bersihin perpustakaan dan gak minum dari tadi. Kebayang dong, gimana hausnya.” jawab Tiffany yang di angguki polos oleh Yolanda.
“Mau pulang sekarang?” tanya Yolanda yang mendapat gelengan dari Tiffany.
“Enggak, hukuman gue masih ada satu.”
“Apa?”
“Ada deh, lo pulang duluan aja.” titah Tiffany, dia beranjak dari duduknya. ”Udah ya, gue duluan. Mau melaksanakan hukuman yang lain. Thank you minumannya, bye!”
“Dih, dasar. Ketemuan cuma buat ngabisin minuman gue aja. Fany... Fany...”
Tiffany hanya terkekeh mendengar gerutuan Yolanda yang masih sampai di telinganya. Kini kakinya sudah melangkah pergi, menyusuri area kampus hanya untuk mencari keberadaan orang bernama Delfano itu.
“Mana sih tuh orang?”
Tiffany mengedarkan pandangannya dan langsung tersenyum lebar saat mendapati orang yang dicarinya tengah duduk manis di pinggir lapangan, lebih tepatnya di kursi penonton dengan earphone yang menyumpal telinganya. Dia segera melangkah menghampiri orang itu.
“Delfano!”
Tiffany menghentikan langkahnya saat melihat orang-orang yang tiba-tiba menatapnya. Apalagi saat semua kegiatan mereka terhenti hanya karena satu nama yang terlontar dari mulutnya. Terganggu sih, tidak. Hanya... Terkejut sedikit. Saat dia memanggil satu nama, kenapa malah semua orang yang menoleh kearahnya. Sedangkan orang yang dipanggilnya malah tak menoleh, asik menikmati sesuatu yang berasal dari ponselnya yang terhubung melalui earphone itu.
Tiffany mengendikan bahunya, kembali melangkah menghampiri Delfano kemudian menepuk pelan pundak lelaki itu agar menatapnya. Tiffany tersenyum, dia mencoba mentransfer energi positif nya. Kan mungkin saja nanti Delfano tak akan bersikap seperti biasanya, lebih baik mungkin.
“Kenapa?”
Huh, rasanya kalian hanya boleh berangan. Pasalnya Delfano masih sama, datar dan ketus. Dia tak peduli, dia harus bersikap baik agar tujuannya tercapai. Dia langsung duduk di samping Delfano kemudian mengeluarkan alat tulis dan ponselnya dari dalam tas.
Dia menyodorkan buku beserta pulpen. “Gue minta tanda tangan sama nomor handphone Lo,” ucap Tiffany yang membuat Delfano terkejut. Tiffany tersenyum, menggerakkan buku ditangannya agar diterima Delfano.
“Ayo!”
“Gak jelas Lo!”
Delfano melepas earphone nya, kemudian memasukkan nya dengan cepat bersama ponselnya kedalam tas. Lalu, dia beranjak berniat pergi meninggalkan Tiffany yang tak jelas menurutnya. Tiffany sudah was-was tentunya saat melihat Delfano yang kini sudah beranjak pergi.
“Eh, sebentar. Gue mau minta tanda tangan Lo!”
Tiffany segera beranjak, mengejar langkah Delfano yang lumayan cepat. Dia tak peduli, tak peduli saat harus menjadi pusat perhatian. Dia menghalangi jalan Delfano, meskipun lelaki itu tetap jalan lurus ke depan tanpa menatap kearahnya sedikitpun.
”Eh, gue minta tolong. Ini gue dihukum, gue suruh minta tanda tangan, nomor handphone sama foto selfie bareng Lo. Please dong bantuin gue!”
Delfano tak peduli. Tiffany berdecak.
“Eh, please dong.”
Bahkan sudah sampai parkiran pun Delfano tak peduli, lelaki itu langsung berjalan menuju mobilnya—masuk—menutup keras pintu mobilnya meninggalkan Tiffany yang terkejut diluar mobil.
Tiffany tak putus asa, dia mengetuk kaca mobil lelaki itu. Tak peduli meskipun mobil sudah mulai menyala bahkan sudah bergerak. Dia tak peduli.
“Delfano... Delfano... please... Aduh!”
Tiffany menatap mobil Delfano yang semakin menjauh, dia mengeram kesal sambil berdecak kesal.
“Cowok songong belagu!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
san
baca sequel 1 terbiasa sama natsha cs
jd kangen natasha,sebastian,antonio...
2020-09-10
1
Nandini
lanjjut thoor kapan up
2020-06-13
2