Tiffany berjalan menuju motor matic yang terparkir di pekarangan toko kue nya. Dia menyampirkan tasnya, mengikat rambut panjangnya sebelum kemudian memakai helm dan duduk diatas motor legend itu. Dia mendongak, menatap langit cerah yang perlahan berubah menjadi gelap. Berbagai bangunan dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap sudut jalan kota, membantu bulan menyinari kota ini.
Tiffany segera mengendarai motornya, melajukan motor itu membelah jalanan kota dengan lampu-lampu di setiap penjuru nya. Senandung pelan meluncur seperti biasa dari mulutnya, nyanyian lagu favoritnya menemaninya setiap kali dia pulang dengan suara pas-pasan nya. Namun, netra matanya malah menemukan keributan yang cukup membuat dia tak bisa mengacuhkan itu semua begitu saja. Dia segera membelokkan motornya ke tempat perkelahian, menguatkan hatinya bahwa dia berani.
Tiffany mengehentikan motornya, bergegas turun tanpa melepas helm nya. Dia segera berlari kearah orang-orang yang tengah berkelahi itu. Dia ternganga, tak percaya melihat pemandangan yang mengganggu matanya itu. Tiga orang, menyerang satu orang? Huh! Tiffany tak boleh membiarkan ini semua!
Tiffany mengedarkan pandangannya, berdecak saat melihat orang-orang yang merasa tak peduli dengan perkelahian ini. Dia tersenyum lebar, segera merongoh ponsel di tasnya dan langsung memencet tombol play sebuah bunyi sirine polisi.
Satu,
Dua,
Ti— ga ...
Tiffany tersenyum lebar melihat orang-orang itu kelimpungan karena bunyi yang sebenarnya berasal dari ponselnya. Dan tak butuh waktu lama, orang-orang itu pergi meninggalkan satu orang yang kini sudah terkapar tak sadarkan diri.
Bergegas kakinya melangkah menghampiri orang itu. Dia berjongkok, memutar wajah orang itu yang tertutup. Bola matanya membulat sempurna dengan rahang yang tiba-tiba terasa lemas, dia ternganga tak percaya.
“Cowok songong.”
***
Tiffany meletakkan secangkir teh manis hangat diatas meja, kemudian berjongkok untuk melihat wajah si cowok songong yang tak sadarkan diri itu. Iya, cowok songong yang berkelahi di area kampus dan malah memakinya saat dia memisahkan perkelahian itu. Cowok yang—
“Ganteng juga,” gumam Tiffany, dia mengendikan bahunya sambil terkekeh. Namun, dia langsung menggeleng keras, menepis pikiran konyolnya.
Percuma ganteng, kalau songong.
Hatinya memang membenarkan ucapannya yang baru saja terlontar itu. Lelaki itu mempunyai wajah diatas rata-rata, meskipun ada beberapa luka yang mengotori wajahnya namun ketampanan itu tak berkurang sedikitpun. Tangannya terulur menyentuh luka di sudut bibir lelaki itu yang sudah mengering, namun belum sampai tangannya menyentuh luka itu dia dikejutkan suara keras yang berasal dari si cowok songong.
“Mau ngapain Lo!?” tukas lelaki itu, dia memundurkan tubuhnya sambil menatap tajam Tiffany.
Secepat mungkin dia menegakkannya tubuhnya, menggeleng kuat atas tuduhan lelaki itu terhadapnya. “Enggak kok, gue gak mau ngapain-ngapain.” jawab Tiffany, dia membalas tatapan tajam itu tak kalah tajam pula.
Bisa dilihat, lelaki itu tengah mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah ini. Dan seolah paham akan tatapan bingung itu, Tiffany kembali berucap.
“Lo di rumah gue. Tadi, Lo di keroyok sama tiga orang. Terus gue—”
“—lo ngapain bawa gue kesini? Mau sok pahlawan Lo?”
Tiffany ternganga mendengar pertanyaan bernada marah itu terlontar dari mulut si lelaki. Tak ada kah kalimat lain yang bisa di ucap? Terimakasih, contohnya. Bukannya malah ucapan ketus seperti itu.
Tiffany berdecak pinggang, menatap sebal lelaki di hadapannya. “Heh, Lo tuh gak ada terimakasih sama sekali, ya? Udah bagus gue tolongin Lo, kalau enggak udah sekarat Lo sekarang!” marah Tiffany, dia berdecak kesal.
“Gue gak minta Lo bantuin,”
Dia berdesis, memicingkan matanya sambil terus menatap tajam lelaki itu. “Nyesel gue bantuin lo.”
“Gak ada yang minta,”
Tiffany mengepalkan tangannya, ingin rasanya dia mengeluarkan kemampuan bela dirinya waktu sekolah dasar. Tangannya terasa gatal ingin menyumpal mulut itu, ingin menghajar orang tak tahu terimakasih itu. Dia hanya diam dengan kekesalan yang merajalela, netranya memperhatikan lelaki itu yang kini mencoba beranjak dari duduknya. Ingin acuh dan tak peduli, namun akhirnya pertahanannya runtuh. Dengan sigap dia langsung menahan tubuh yang tiba-tiba akan tersungkur saat mencoba berdiri.
“Makannya jangan sok kuat deh. Udah lemah gini aja, masih sok.” cibir Tiffany, dia membantu lelaki itu untuk kembali duduk.
Tangannya terhempas begitu saja dan itu semua ulah lelaki itu. “Gak usah sok baik Lo.” ucap tajam lelaki itu.
Lelaki itu kembali mencoba berdiri, berjalan sekuat tenaga menahan rasa sakit di perutnya akibat pukulan brutal dari musuhnya tadi. Namun, baru beberapa langkah dia kembali terjatuh dengan rasa sakit yang kian menjadi.
Sedangkan Tiffany, dia berniat ingin kembali menolong. Namun, saat ingat sifat sombong dan songong lelaki itu, dia urungkan niatnya itu. Yang hanya dilakukannya kini adalah diam dengan mata yang menatap lekat lelaki yang tengah meringis itu. Ada rasa iba dalam hatinya, namun dia mengusirnya cepat-cepat mengingat sikap lelaki itu tadi.
“Fany, itu kenapa?”
Mereka menatap kearah datangnya suara. Berdiri di ambang pintu, seorang pria paruh baya dengan kemeja dan tas kerja di tangan kanannya beserta jas putih yang tersampir di tangan kirinya. Itu adalah Ayah Tiffany yang merupakan dokter spesialis di salah satu rumah sakit besar Kota ini.
“Kamu gakpapa?”
Tiffany hanya menatap ayahnya yang tengah membantu lelaki itu untuk beranjak berdiri dan kini tengah di papah kembali menuju sofa yang sempat menjadi tempat lelaki itu tadi. Dia hanya bisa diam dengan bibir mencebik saat melihat tatapan tajam sang ayah.
“Ya, bukan salah aku, Yah. Padahal tadi aku udah bantuin kok, dia sendiri yang nolak dan malah marah-marah sama aku.”
Ayah Tiffany menggeleng mendengar pembelaan dari mulut putrinya itu. Dia menatap lelaki dengan wajah yang dipenuhi luka lebam, ringisan keluar dari mulut lelaki itu.
“Nama kamu siapa? Kamu berantem?”
Lelaki itu meringis, menatap pria paruh baya di depan matanya. Dia mengangguk. “Delfano, nama saya Delfano.”
***
Tiffany menatap Delfano yang duduk di sampingnya. Tatapan tajam sekaligus kesal masih di layangkan matanya untuk lelaki yang sejak tadi diam itu. Ogah sebenarnya untuk mengantarkan lelaki itu pulang, namun karena paksaan sang ayah dan keadaan lelaki itu, mau tak mau dia mengiyakan.
“Harusnya Lo tuh makasih sama gue, bukannya marah-marah.” tukas Tiffany, dia melirik sinis Delfano yang tak menghiraukannya. Lelaki itu memilih menatap lurus ke depan, ke jalanan yang cukup lenggang.
Rasanya Tiffany ingin mengumpat sekarang juga. Kalau boleh, dia ingin menurunkan dan menghajar wajah datar lelaki itu. Tapi, dia masih sayang dengan umurnya. Dia tak mau, besok sampai ada berita yang berjudul ‘Seorang gadis cantik dengan teganya memukul seorang lelaki tampan’. Mau ditaruh dimana mukanya?
Tunggu dulu! Tampan?
Huh!
Sepertinya dia butuh pergi ke psikolog untuk memeriksa keadaan nya kini. Bagaimana tidak? Otaknya sudah mulai gesrek karena sempat berpikir bahwa lelaki songong di sampingnya itu tampan. Ya, meskipun memang benar adanya. Tapi, harusnya dia tak sampai berpikiran seperti itu. Absurd dasar!
“Ini kemana, belok kanan apa kiri?” tanya Tiffany kesal, dia tak tau jalan menuju rumah Delfano. Tapi, lelaki itu sejak tadi hanya diam tanpa ada niatan untuk menunjuk jalan rumahnya.
“Kanan,”
Tiffany mendengus mendengar ucapan singkat dan datar itu. Dia langsung menginjak rem dengan cepat, berharap lelaki di sampingnya terkejut atau apa gitu. Tapi sepertinya lelaki ini tak punya rasa. Bahkan, wajahnya masih terlihat santai dan datar seolah sudah biasa.
Mobilnya berhenti di sebuah rumah mewah. Tiffany melirik Delfano yang masih setia menutup rapat mulutnya. Dia memutar tubuhnya, menatap tajam dan kesal lelaki yang kini mengerutkan kening menatapnya.
“Lo tuh, ngomong kek dari tadi. Gue gak tau rumah Lo yang mana, tapi Lo malah diam aja, bukannya nunjukin!” kesal Tiffany, dia menunjuk kesal wajah Delfano yang masih saja datar.
“Nomor 17,”
Jawaban singkat itu seakan ingin kembali membuat Tiffany mengumpat dan berteriak keras di depan wajah datar itu. Dia menghela napas pelan, kembali melajukan mobilnya dan berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah dengan nomor 17—tepat seperti apa yang diucapkan Delfano barusan.
Delfano langsung membuka seltbelt-nya, melenggang keluar begitu saja dengan tertatih-tatih tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Tiffany yang melongo melihat itu semua.
"Dasar, gak tau terimakasih!" teriak Tiffany di dalam mobil, dia langsung menancapkan gas mobilnya meninggalkan rumah Delfano ini.
***
Tiffany menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang, dia menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli sebuah poster idolanya. Entah bagaimana bisa, salah satu wajah dari idola nya itu berubah menjadi wajah songong milik Delfano.
Iya, Delfano. Si cowok songong dan tak tahu terimakasih itu.
Tiffany menggeram kesal, “Ih, apaan sih!? Kenapa Lo ada disitu, cowok songong!” pekik Tiffany, dia langsung mengambil bantal dan melemparkannya ke udara, tepat pada wajah Delfano di sana.
Buk!
Bantal itu malah mendarat di wajahnya dan saat dia menyingkirkan bantal itu, wajah Delfano kembali terlukis di poster itu membuatnya semakin kesal.
“SEMOGA GUE GAK KETEMU LO LAGI!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Boy Vendra kesayangan oca
delfano berubah menjadi dingin
2020-07-08
1
👑🄽🄰🄽🆃︎🅰︎💣
knp delfano jd dingin gitu thor??
2020-06-18
2
arin
next
2020-06-12
2