Hay bebebkuuu semuanya..
Aku mohon bantuannya ya, tolong vote dan komen di setiap chapter ceritaku karena itu semua yang membangkitkan semangat ku. Aku selalu suka komen apapun dari kalian, terutama komen yang berhubungan sama isi ceritanya. Terimakasih untuk yang sudah rate, favorit, vote apalagi komen.
JANGAN LUPA BACA CERITA AKU YANG LAIN :
• FRIENDSHUT
• PAST AND FUTURE
• JUST MARRIED
PS: DISARANKAN SAAT MEMBACA GUNAKAN LATAR HITAM :)
......................
...----------------...
Dia melipat tangan didepan dada dengan bibir yang sudah mencebik sejak tadi. Matanya melirik sinis Delfano yang tengah terfokus pada jalanan. Dia memutar bola matanya jengah, menghela napas kasar sambil kembali menatap lurus jalanan. Menyebalkan sekali melihat wajah datar dan songong itu. Tck. Dan lebih menyebalkan lagi saat mendengar komentar lelaki itu tadi. Huh, menyebalkan.
Btw, dia terpaksa satu mobil dengan cowok songong di sampingnya itu. Dia sempat menolak, namun saat ingat dirinya tak membawa motor ke toko akhirnya dia mengiyakan. Ya, meskipun sempat ada drama sedikit lah diantara mereka. Tapi, seperti memang harus ada itu drama. Karena jika tak ada drama diantara mereka, akan membosankan.
Mobil milik Delfano kini sudah berhenti di sebuah pekarangan rumah yang sepertinya untuk kedua kali dilihatnya. Pertama, saat dia mengantarkan Delfano malam itu. Kedua, ya saat ini.
“Mau sampai kapan disini? Sampai lumutan?”
Dia otomatis memutar kepalanya menatap Delfano yang masih menatap lurus kedepan. Matanya memincing sempurna dengan dengusan yang keluar dari mulutnya. “Ya, sabar kek. Ini juga mau turun kok.”
Detik berikutnya, dia segera turun dari mobil Delfano dan sebelumnya menutup kasar pintu mobil lelaki itu. Dia bisa melihat kekesalan yang tercetak jelas di wajah lelaki itu saat keluar dari mobil.
“Bisa santai gak?”
Posisi mereka berada di sisi mobil, saling berlawanan. “Gak jelas banget sih. Tadi minta gue cepat-cepat, sekarang minta santai. Gak konsisten banget sih.” Dengus Tiffany, dia menatap sebal Delfano yang juga menatapnya demikian.
“Cape ngomong sama cewek gak jelas kayak lo.” Ucap Delfano kemudian melenggang pergi meninggalkan dia yang masih bertahan pada posisinya.
“Yaudah, jangan ngomong sama gue.”
Dia menghela napas pelan, menyampirkan kembali backpack hitam nya kemudian melangkah mengikuti langkah Delfano di depannya. Dia terpana sih melihat bangunan yang kini di tapakinya. Terlihat mewah dan elegan dengan gaya khas Eropa. Dia yakin, siapapun yang masuk kesini pasti akan terkesima.
“Fany,”
Dia langsung tersenyum lebar saat matanya menangkap Sinora yang tengah menuruni anak tangga. Dia segera menghampiri Sinora, mengabaikan Delfano yang jelas-jelas tengah memperhatikannya. Bukan ge-er, tapi memang benar adanya.
Dia langsung menyalami punggung yang Sinora saat sudah berhadapan dengan wanita paruh baya yang masih terlihat muda dengan pakaian yang dia yakini milik brand-brand ternama.
“Maaf banget ya, Tante nyusahin kamu dengan nyuruh kamu kesini. Kamu gak lagi sibuk kan?”
Dia menggeleng. “Gakpapa, Tante. Lagian aku gak sibuk ini.” Jawab Tiffany, dia sudah digiring Sinora untuk duduk di sofa mewah ruang utama rumah ini.
“Syukur deh kalau begitu, Tante takutnya kamu lagi sibuk dan Tante ganggu.”
“Enggak kok.”
“ Jadi, gini. Tante punya saudara, dia pengen banget bisa belajar bikin kue gitu. Sedangkan, tante. Tante gak terlalu bisa kalau harus bikin kue. Jadi, maksudnya tante mau minta kamu ajarin saudara tante itu. Kamu mau?”
Dia terdiam beberapa saat. Bergumam pelan.
“Kamu tenang aja, nanti kamu bakalan di bayar kok. Ya, semata cooking class aja lah.”
Dia segera mengibaskan tangannya, membantah capan Sinora. “Bukan gitu tante. Aku gak ngarep di bayar kok. Cuma, gimana ya? Aku kan kuliah, takutnya—”
Sinora tersenyum. “Gakpapa sayang, nanti kita sesuaikan aja sama jadwal kamu. Gimana?” Tanya Sinora, lagi.
Dia mengangguk. “Yaudah, oke. Aku bersedia kok. Nanti, tinggal kasih tau aja kedepannya gimana.”
“Tenang, nanti tante suruh Fano buat hubungi kamu.”
“Hah?”
“Iya kan, Fano?”
Delfano yang sejak tadi hanya diam pun menghela napas kasar. “Kok aku sih?” Protes Delfano tak terima.
“Fano, kok gitu sih. Kan biar efisien sayang ... Udahlah, kamu dengerin kata Mami.”
Delfano berdecak. “Terserah, deh.”
“Kamu mau kemana?”
Delfano yang baru saja beranjak berniat pergi ke kamarnya pun di urungkan. “Kamar lah.”
“Kamu gimana sih. Ini ada temen kamu, tungguin sebentar kek. Kok malah di tinggal.”
“Temen? Sejak kapan aku temenan sama dia. Ogah banget.”
Dia mencebik, menatap sebal Delfano. “Lo pikir, gue juga mau gitu temenan sama Lo. Ish, mimpi!”
“Liat kan? Dia nya aja gitu. Males tau berurusan sama cewek gak jelas kayak dia.”
Dia beranjak dari duduknya, menatap tajam Delfano. “Lo pikir gue juga gak malas berurusan sama cowok songong kayak Lo? Dih, malas banget. Kalau bukan karena tante Nora. Gak mau banget.”
“Lo tuh ya ... Selain gak jelas, bar-bar juga.”
“Eh, maksud Lo apa? Lo pikir—”
Sinora yang terlihat kebingungan melihat perselisihan dua remaja itu pun akhirnya turun tangan. Dia berdiri, merentangkan kedua tangannya diantara dua remaja itu. “STOP! Kok kalian ribut sih!”
“Dia duluan tante,”
“Lo!”
“Lo ...”
“Lo ...”
Sinora menghela napas kasar. “Aduh ... Udah-udah! Fano, diam!”
Delfano mencebik. “Aku lagi yang di salahin.”
Dia melipat tangan di depan dada. “Ya emang Lo salah!”
“Fani kamu juga diam. Duduk. Tante ambil minuman dulu.”
Semakin Sinora meninggalkan mereka, justru semakin panas pula pertikaian yang tak ada hentinya ini. Mereka saling tatap, saling adu tatapan tajam.
“Dasar cewek gak jelas sekaligus bar-bar!”
Napasnya memburu karena marah. Dia langsung berdiri kasar kemudian melangkah menghampiri Delfano yang mengerutkan keningnya bingung. Mereka sudah berhadapan dengan dia yang sudah menatap Delfano tajam dan marah.
Baru saja tangannya siap melayangkan pukulan ke wajah songong Delfano, namun tangannya lebih dulu di tangkap lelaki itu.
“Mau ngapain? Pukul gue?” Tanya Delfano, dia menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum sinis. “Lihat, bahkan ke bar-bar-an Lo keluar juga sekarang.” Lanjut Delfano.
Dia menggerakkan giginya, mencoba melepaskan tangan Delfano yang mencekal tangannya. Namun tenaga lelaki itu cukup kuat, membuatnya sedikit kesusahan. Mereka saling tatap, bukan tatapan cinta atau apalah itu. Melainkan sebuah tatapan perang yang saling dilemparkan satu sama lain. Sebelum akhirnya tatapan itu terputus saat Delfano melepas cekalannya dengan kasar.
Drtt ...
Dia rasanya ingin memaki Delfano saat ini juga. Namun, dering ponsel dari benda pipih di celana jeans mengalihkannya. Dia mengambil ponselnya, menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
“Hallo?”
"...”
“Apa?”
Tiffany kaget mendengar ucapan Anjani diseberang sana—di telepon.
“Emang bener-bener nya tuh si Nana, Nana... Gue kasih pelajaran deh!”
“...”
“Tunggu, gue ke apartemen Lo sekarang juga.”
Tut.
Dia kembali memasukkan ponsel ke saku celana jeans-nya kemudian kembali menatap tajam dan sebal Delfano. Dia bingung, ada apa dengan raut wajah lelaki itu. Bukan marah, datar, atau apa. Dia sendiri bingung, sebenarnya ada apa dengan lelaki itu.
Delfano terlalu cepat berubah-ubah.
“Fany, ada apa?”
Dia segera menghampiri Sinora, tersenyum menatap wanita paruh baya yang tengah membawa nampan berisi jus. “Maaf tante, aku harus pulang sekarang.”
“Loh, kok cepat banget?”
“Maaf aku gak bisa kasih tau. Aku permisi ya.”
Dia segera mencium punggung tangan Sinora saat wanita itu sudah menyimpan nampan berisi jus tersebut diatas meja. Kemudian, bergegas pergi meninggalkan rumah ini dan melewati Delfano begitu saja.
Baru saja kakinya berjalan melewati gerbang depan, tangannya sudah lebih dulu di cekal. Otomatis, dia membalikkan tubuhnya menatap orang yang mencekal lengannya.
“Kenapa?”
“Gue anterin lo,”
Keningnya mengerut bingung mendengar ucapan Delfano. Sejak kapan lelaki itu baik? Maksudnya sejak kapan lelaki itu—
“Gak usah banyak mikir. Cepetan!”
“Eh ... ”
Dia sudah ditarik menuju mobil Delfano, dimasukkan begitu saja ke dalam kursi di samping kemudi. Dia hanya bisa diam dengan kebingungannya, menatap Delfano yang kini sudah duduk manis di balik kemudi dan mulai menyalakan mesin mobilnya.
“Lo kenapa sih? Kenapa tiba-tiba baik gitu.”
“Tadi Lo bilang Nana?”
Keningnya kembali mengerut sebelum kemudian mengangguk.
“Itu cewek kan?”
“Kepo banget sih Lo!”
Delfano mendengus. “Tinggal jawab aja. Iya atau enggak.”
“Iya! Udahlah, gue mau pulang.”
Baru saja tangannya menyentuh pintu mobil, bersiap keluar kembali dari mobil milik Delfano itu. Namun, lagi-lagi Delfano lebih cepat darinya. Alhasil, dia masih terjebak didalam mobil bersama lelaki itu yang kini sudah mulai menjalankan mobilnya.
“Lo mau pulang naik apa? Lo kesini sama gue. Ayo gue anter!”
Dia menoleh menatap Delfano. “Lo kesambet ya? Aneh banget. Sok baik banget sama gue!”
Delfano tak peduli, dia tetap menjalankan mobilnya dan terfokus ke jalanan. Sedangkan, dirinya hanya bisa diam dengan bibir mencebik sambil melipat tangan didepan dada.
“Lah ... Lah ... Kenapa berhenti?”
Dia lagi-lagi di buat kebingungan saat mobil Delfano berhenti seketika. Dan bola matanya langsung membulat sempurna saat tiba-tiba Delfano mencondongkan tubuhnya membuat dia otomatis mundur. Dia sekarang merasa tersudutkan karena Delfano di depan matanya. Bahkan, rasanya dia sulit untuk bernapas saja.
Klek!
Suara seltbelt yang terkunci menyadarkan pikirannya. Dia kembali menampilkan wajah kesalnya, mengalihkan tatapannya ke jalanan. Dia tak bisa seperti ini terus, dia tak bisa kalau harus berdekatan dengan Delfano terus. Hatinya tak kuasa.
Mobil itu sudah kembali melaju, meninggalkan suasana hening dan awkward seketika.
“Sebutin alamat orang yang Lo maksud Nana,”
Dia menoleh menatap Delfano. “Maksud Lo apa sih? Lo kok pengen banget ikut campur urusan gue.”
“Sebutin aja,”
“Gue bukan mau ketemu Nana okay?" Desah Tiffany, dia mendesah pelan. “Gue mau ketemu temen gue, Anjani. Puas Lo!?”
“Bohong! Lo tadi sebut-sebut nama Nana, bukan Anjani.”
“Gue emang nyebut nama Nana, tapi bukan berarti gue mau ketemu sama cewek itu. Lagian masalahnya adalah cewek itu yang ngeganggu rumah tangga sahabat gue, Anjani. Makanya gue mau ngasih tuh cewek pelajaran.”
“Berarti Lo tau dong, dimana Nana sekarang?”
Tiffany menghela napas kasar. “Enggak. Gue gak mau ketemu Nana, gue mau ketemu Anjani. Ya ampun ... ”
“Oke, gue anterin Lo ke tempat Anjani. Lo tinggal sebutin alamatnya.”
TO BE CONTINUED ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Desiree Van
Haii kak, aku sudah baca sebagian. sudah aku like+rate 5+fav dan juga follow. Semangat ya kak
jangan lupa mampir. Trimakasih
2020-07-02
0
𖣤᭄☘𝑺ᴇᴎᴤᴇᴎ͠ ⍣ᶜᶦᶠ//@sensen_se
uluh uluuuhh...
2020-06-24
1
Katatokoh16
Jangan lupa cek cerita aku yang lain ya bebb. lope yu
2020-06-22
1