"Brownies, cookies, cheese cake—Woah!"
Tiffany membulatkan matanya saat tiba-tiba wajah Delfano muncul di depan matanya. Dia sedang memeriksa kue-kue di etalasenya dan di kejutkan dengan wajah Delfano yang lumayan dekat sudah terpampang di etalase tersebut, meskipun terhalang kaca.
Dia segera menegakkan tubuhnya, berdecak pinggang sambil menatap sebal lelaki yang kini tengah tertawa itu. Dia berjalan memutari etalase, berdiri tepat didepan lelaki itu. "Lo ngapain sih? Ngagetin aja!" Tukas Tiffany kesal, dia menatap tajam Delfano yang masih tertawa.
"Muka Lo lucu banget sih!" Tukas Delfano, dia terkekeh membayangkan wajah kaget dengan mata membulat dan tak lupa mulut yang terbuka lebar milik Tiffany.
Tiffany mendengus, mendesis pelan sambil kembali berdecak pinggang. Dia masih memperhatikan Delfano yang masih belum menghentikan tawanya. Percaya atau tidak, baru pertama kali dia melihat wajah datar dan songong itu tertawa lepas.
Delfano menarik napasnya, dia mencoba mengontrol perasaannya. Sekuat tenaga dia menahan tawanya yang rasanya belum mau hilang.
"Udah puas?"
Delfano menatap Tiffany, dia mengangguk sambil mencoba menahan tawanya. Dia berdehem menatap Tiffany yang masih menatap tajam dan jengah dirinya.
"Lo lucu banget sumpah. Andai tadi gue video in, gue kasih tau gimana lucu nya muka jutek Lo itu. Pasti Lo juga ketawa." Tukas Delfano.
Tiffany memutar bola matanya jengah, dia menatap jengah Delfano. "Bodo amat." Balas Tiffany ketus yang membuat Delfano menatapnya. "Lagian, Lo ngapain sih disini? Ngagetin gue lagi!" Dengus Tiffany.
Tiffany menatap dalam Delfano yang tiba-tiba diam. Lelaki itu mengerutkan keningnya, semakin mendekatkan wajahnya kearah Tiffany. Sontak Tiffany membulatkan matanya, menatap was-was Delfano.
"Lo gak sakit kan?" Tanya Delfano, tangannya terulur menyentuh kening Tiffany beberapa saat sebelum kemudian kembali menegakkan tubuhnya.
Tiffany berdecak. "Apaan sih!? Ya enggaklah! Aneh Lo!"
Delfano terkekeh, dia menunjuk dirinya sendiri. "Gue aneh? Terus Lo apa?"
"Gue?"
"Tadi siang tiba-tiba baik, sekarang keluar lagi sifat asli Lo. Aneh Lo!"
Tiffany membulatkan matanya. Dia bahkan lupa dengan misi nya. Bagaimana mungkin dia lupa coba? Harusnya saat ini dia masih bersikap manis pada Delfano. Oh ralat, maksudnya baik bukan manis. Dengan cepat, dia menampilkan senyumnya, terkekeh pelan sambil menepuk pelan—mungkin—pundak Delfano.
"Ye.. sekarang gue masih baik kali. Cuma tadi Lo nyebelin banget, ngagetin gue." Tukas Tiffany, dia tersenyum tipis. Dia berjalan kearah kursi tunggu yang kosong, diikuti Delfano di belakangnya.
"Ya.. gue sebenarnya gak berniat ngagetin Lo sih, karena gak minat itu. Tapi, entah kenapa Lo kaget kayaknya karena kedatangan gue."
Mereka duduk dengan jarak yang lumayan jauh. Kebetulan kursi tunggu itu berupa sofa dengan ukuran yang panjang sehingga bisa muat 4-5 orang.
Tiffany mencebik. "Ya gimana gue gak kaget coba? Lo tiba-tiba muncul di depan mata gue, mana deket lagi!" Tukas Tiffany, dia melirik sekilas Delfano yang kini kembali tertawa. Ternyata, lelaki itu kembali memikirkan wajah kaget Tiffany. Andai tadi diabadikan, mungkin sampai kapanpun dia akan tertawa melihat wajah kaget itu.
Tiffany diam, dia senantiasa menatap Delfano. Entah ada apa, ada tarikan dalam dirinya untuk terus memperhatikan lelaki yang tengah tertawa itu. Karena kalau boleh jujur, ini hal langka yang tak pernah dilihatnya sejak bertemu dengan Delfano. Jadi, boleh dia menikmati tawa lelaki itu sejenak?
"Ternyata Lo bisa ketawa juga ya,"
Ucapan Tiffany sontak membuat Delfano terdiam, menghentikan tawanya dan kembali menampilkan wajah datarnya. Aduh, Tiffany menyesal rasanya mengucapkan kalimat itu. Kalau saja dia tak berucap seperti tadi, mungkin sekarang dia masih menikmati tawa renyah lelaki itu.
Tapi, tunggu dulu?!
Apa untungnya dia menikmati tawa Delfano? Apa coba? Ck! Otak Tiffany mulai rusak sepertinya.
Mereka masih dalam mode diam, saling diam dengan wajah yang sulit diartikan. Tiffany berdehem, mencoba mencairkan suasana yang terkesan canggung karena ulahnya ini.
"Jadi, Lo mau ngapain kesini?"
Delfano mengangguk, dia membuka ransel hitamnya kemudian mengeluarkan kotak makan hitam yang sama seperti tadi pagi diberikan perempuan itu kepadanya. Dia menyerahkan kotak makan itu pada Tiffany. "Thank you." Ucap Delfano datar.
Tiffany menerima kotak makan yang terasa ringan itu. Dia yakin, pasti isinya sudah habis dimakan oleh lelaki itu. Dia menatap Delfano, tersenyum tipis. "Gimana? Enak kan? Masih sama kayak rasa bikinan dia?" Tanya Tiffany, dia menaikkan kedua alisnya.
Delfano diam, kemudian mengangguk.
Tiffany tersenyum lebar. Entah kenapa dia merasa tak senang, ada bagian hatinya yang tak senang mendapat jawaban seperti itu dari Delfano. Padahal, dia berharap Delfano—Oh! Tidak..tidak.. Dia seharusnya senang dong? Iya, senang!
"Lo dapat resep itu darimana?"
"Kan gue udah bilang, dari temen gue."
"Iya, temen Lo punya nama kan? Masa iya, Lo cuman panggil dia temen. Gak mungkin." Dengus Delfano, dia menatap sinis Tiffany. "Jadi, siapa nama temen Lo?" Lanjut Delfano.
"Tasya,"
Terkejut? Tentu.
Delfano terkejut mendengar nama yang disebutkan Tiffany. Dia tak salah dengarkan? Tolong bilang tidak. Karena dia sangat yakin, perempuan dihadapannya baru saja menyebutkan nama 'Tasya'.
Tasya? Natasya kah?
"Natasya?"
Tiffany mengerutkan keningnya, dia mengerjap mendengar pertanyaan Delfano. "Maksudnya?" Tanya Tiffany bingung.
"Nama temen Lo, Natasya?"
Tiffany mengangguk, membuat senyum tercetak lebar di bibir Delfano. Namun, detik kemudian perempuan itu langsung menggeleng.
"Eh bukan, nama temen gue tuh Tasya. Gak pake Na, cuma Tasya doang."
Jawab Tiffany. Toh memang dia taunya Tasya. Dia tak mau mengiyakan pertanyaan Delfano, takut salah. Dan daripada di berikan harapan palsu, lebih baik dia cari aman saja kan? Iya, rasanya sih iya.
Delfano mendesah pelan, dia pikir Tasya yang dimaksud Tiffany adalah Natasya. Ternyata dia salah. Pupus sudah harapannya.
"Kenapa emangnya?"
Delfano menggeleng, "Gakpapa kok. Yaudah, gue balik dulu deh." Ucap Delfano, dia beranjak dari duduknya. Tiffany hanya mengangguk, dia menatap Delfano yang mulai berjalan menjauh.
"Del!"
Delfano menoleh, menaikkan sebelah alisnya menatap Tiffany yang baru saja memanggilnya. "Lo panggil gue apa tadi?" Tanya Delfano, dia kembali berjalan menghampiri Tiffany yang kini sudah berdiri.
"Del?"
Delfano menarik sudut bibirnya. "Baru Lo aja yang panggil gue gitu. Yang lain pada panggil gue Fano. Sengaja ya Lo? Supaya beda."
Tiffany mendesis, dia merutuki kepedean lelaki itu dalam hati. "Ye..geer banget. Lagian, gue gak mau aja disamain sama Lo karena nama panggilan kita hampir sama. Udah, itu aja kok."
Delfano mengendikan bahunya, berusaha tak peduli. "Yaudah, kenapa Lo panggil gue?"
Tiffany terdiam, dia sedang mengumpulkan keberaniannya. Dia menatap Delfano, memasang wajah acuhnya. "Lo mau di bikinin lagi gak besok?"
Akhirnya, Tiffany berani bertanya seperti itu.
Delfano diam kemudian mengangguk. "Boleh, tapi buat pagi ya. Soalnya gue besok ada kelas pagi." Jawab Delfano yang diangguki Tiffany. "Yaudah, gue cabut. Bye!"
Sudah sekuat tenaga dia menahan bibirnya untuk tak melengkung, membentuk sebuah senyuman yang sangat di rutukinya. Lagian, untuk apa coba dia tersenyum? Untuk jawaban yang diberikan Delfano barusan? Haduh, gila rasanya kalau memang benar iya.
Tiffany menggeleng, dia mencoba mengenyahkan segala pikiran tentang Delfano di benaknya. "Enggak..enggak.. Ini demi Jani, gak lebih. Fiks, cuma demi Jani!"
***
Hm.. tumbuh benih-benih cinta nih kayaknya..wkwkwk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Miels Ku
miels mampir berbagi like dan komen
2020-07-11
1
haluannisa
Like mendarat di dua bab sekaligus kak😊
2020-07-05
1