“Aw! Pelan-pelan, mbak.”
Tiffany terus meringis saat mbak Murni membersihkan luka di lengannya dengan antiseptik. Lengannya terluka dan penyebabnya adalah Delfano. Kalau saja pria itu mau memberikan apa yang Tiffany minta, mungkin Tiffany tak akan berlari, mengejar pria itu yang berakhir dengan dua terjatuh dan lengannya yang harus menjadi korban.
“Iya, ini udah pelan kok.”
“Tapi, sakit.”
“Namanya juga luka.” balas mbak Murni, dia tersenyum saat kegiatan mengobati luka bos muda nya itu selesai. “Nah, udah selesai. Yaudah, mbak tinggal dulu ke belakang ya.” lanjut Mbak Murni sambil membereskan peralatan p3k tersebut.
Tiffany mengangguk, menatap lukanya yang kini sudah ditutup menggunakan plester. “Makasih ya, mbak.” ucap Tiffany yang di angguki Mbak Murni sebelum akhirnya pergi menuju dapur.
Ting!
Tiffany menoleh dan tersenyum saat melihat Sinora yang masuk ke tokonya. Terlihat sekali kekhawatiran yang ditunjukkan Sinora saat melihat luka di lengan Tiffany.
“Itu kenapa?”
Tiffany melirik lukanya, kemudian menggeleng. “Gak papa kok, tan. Gak sengaja jatuh.” jawab Tiffany, dia tersenyum. Lukanya sudah tak terlalu sakit, tapi masih terasa berdenyut.
“Ya, hati-hati kalau gitu. Tapi, udah gakpapa kan sekarang?”
“Udah gakpapa kok, udah di obati sama Mbak Murni.” jawab Tiffany. “Oh, iya. Pesanannya mau di ambil sekarang, tan?” tanya Tiffany lagi.
“Iya,”
Tiffany mengangguk, dia beranjak dari duduknya. “Yaudah, sebentar ya, tan. Aku ambilin.” ucap Tiffany, dia pergi meninggalkan Sinora untuk mengambil kue pesanan wanita itu.
Hanya butuh beberapa menit, Tiffany sudah kembali. Namun, saat kembali ke meja yang sama dimana Sinora duduk tadi dia tak menemukan keberadaan wanita itu, membuatnya bingung hingga sebuah notifikasi yang masuk ke ponselnya menjelaskan kebingungannya.
~~
Tante Sinora
Fany, maaf ya. Tante tiba-tiba ada urusan. Soal kue itu, nanti anak Tante yang ambil ke toko kamu.
Makasih sayang
~~
Tiffany hanya ber'oh'ria, dia duduk di kursi sambil membalas pesan dari Sinora. Dia bergegas menyimpan kembali pesanan Sinora sampai anaknya nanti datang. Dia penasaran, seperti apa anak Sinora itu. Maksudnya gini, bukan seperti apa yang bagaimana. Tapi, Tiffany hanya ingin tahu anaknya Sinora itu yang mana. Pasalnya dia sering sekali mendengar Sinora menceritakan anaknya, sehingga memunculkan rasa penasaran dalam dirinya.
Ini sudah hampir satu jam, namun pesanan milik Sinora masih belum juga diambil. Sesekali Tiffany melirik ke arah pintu masuk, masih menanti kedatangan anak Sinora untuk mengambil pesanan ini. Namun, tak kunjung juga datang membuat Tiffany menghela napas pelan.
Hingga terdengar lonceng di tokonya berbunyi membuat Tiffany mendongak dan tersenyum lebar. Niatnya ingin menyambut kedatangan anak Sinora, langsung sirna. Senyum yang tadi tercetak di bibirnya, luntur seketika saat dia melihat siapa yang ada di hadapannya. Wajah yang tadinya ramah, seketika berubah menjadi masam. Masih teringat jelas kejadian apa yang sebelumnya terjadi diantara mereka sehingga menyisakan penilaian yang buruk terhadapnya.
“Ngapain Lo kesini?” ketus Tiffany, dia berdecak pinggang melihat orang dihadapannya yang terhalang meja. Dia menatap kesal orang itu yang masih berdiri di ambang pintu.
Bukannya menjawab, orang itu malah melenggang meninggalkan Tiffany yang semakin kesal karena diacuhkan. Tiffany langsung melangkah, menarik jaket yang membungkus tubuh itu agar menatapnya.
“Apaan sih, Lo!” tukas lelaki itu sambil mengendikkan jaketnya yang ditarik Tiffany.
Tiffany menghela napas pelan, baru kali ini dia bersyukur toko tak ada pengunjung. Kalau sampai ada, bisa rusak citra toko nya karena kelakuan orang dihadapannya ini.
“Lo yang apa-apaan! Ngapain datang kesini!?”
Delfano, orang itu dia.
“Lo pikir, ini toko punya nenek moyang Lo. Sampai-sampai gue gak boleh datang kesini?”
Dia berdecak kemudian mencebik. “Ini emang bukan punya nenek moyang gue. Tapi ini toko gue!”
Delfano terlonjak. “Oh, Yaudah.” Delfano membalikkan tubuhnya, berjalan menuju etalase. Namun, lagi-lagi Tiffany menarik jaket yang dikenakan lelaki itu.
“Lo apa-apaan sih!?”
“Lo mau ngapain kesini?” tanya Tiffany kesal, lagi. "Gue masih sebel ya sama Lo. Gara-gara Lo, gue di hukum. Gara-gara sifat songong Lo, gue jatuh dan luka kayak gini!” tukas Tiffany, dia menunjukkan luka yang tertutup plester di lengannya.
Delfano menatap datar itu semua, dia memutar bola matanya jengah.
“Pokoknya, semenjak gue ketemu Lo. Gue sial!”
“Bodoh amat.”
Tiffany menahan napas, dia berdecak mendengar jawaban itu dari mulut Delfano. Baru saja dia siap kembali melontarkan makiannya, Delfano lebih dulu mencegah.
“Udahlah, gue datang kesini bukan buat ribut sama Lo. Gue mau ambil pesanan.”
Tiffany menetralkan napasnya, oke dia harus bersabar. “Pesanan?” Delfano berdehem, perasaan Tiffany jadi tak enak kini. “Atas nama siapa?” tanya Tiffany, malas.
“Sinora,”
Bola mata Tiffany membulat. Dia tak salah dengarkan? Delfano baru saja menyebutkan nama Sinora dan pesanan atas nama Sinora hanya satu. Iya, Tante itu. Benarkan, ternyata perasaan tak enak itu karena ini alasannya.
“Lo siapanya?”
“Harus banget ya, gue jawab.”
“Ya harus lah, dia itu pelanggan setia gue. Gue gak mau aja, lo nipu lagi.”
Delfano menghela napas kasar. “Dia nyokap gue.”
“What!”
Delfano memutar bola matanya jengah menatap Tiffany. “Udah cepetan, mana pesanan nyokap gue.”
“Gue gak percaya!”
Delfano mengerutkan keningnya bingung. “Lo tuh mau nya apa sih? Gue udah ngomong jujur, tapi lo malah begini. Dasar cewek gak jelas!”
“Eh, lo bilang apa? Gue cewek gak jelas? Terus lo apa? Cowok songong!”
Delfano berdecak, dia memejamkan matanya kemudian kembali menatap jengah Tiffany. “Udah ya, gue gak mau ribut, sumpah. Sekarang, tinggal kasih aja kue pesanan nyokap gue. Selesai.”
Tiffany terdiam, dia menatap tajam Delfano. Dia pikir, Delfano jujur. Pasalnya tak ada wajah mencurigakan dari lelaki itu yang akhirnya membuat dia memutuskan mengambil pesanan milik Sinora, ibu Delfano.
“Yaudah, bentar!”
***
Tiffany memasuki rumahnya, dia tertegun sesaat saat melihat seorang wanita yang duduk bersama ayahnya. Dia bisa melihat, guratan bahagia yang jarang sekali dilihatnya sejak kepergian ibunya beberapa tahun yang lalu. Senyum coba dia tunjukkan, meskipun nyatanya ada bagian dari hatinya yang tak terima saat harus mengetahui fakta jika posisi ibunya akan tergantikan. Dia melangkah menghampiri mereka seraya mengucapkan salam.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Mereka menatap kearah Tiffany, berdiri menyambut kedatangan anak tunggal di rumah ini. Tiffany segera menyalami mereka, tersenyum kikuk saat harus bertatap dengan wanita yang berstatus sebagai calon ibu tirinya.
“Tiffany baru pulang?” tanya Windi—calon ibu tiri Tiffany sambil mengusap punggung Tiffany.
Tiffany segera menjauh dari jangkauan wanita itu, dia tersenyum paksa. Yaiyalah, Lo liat sendiri juga, batin Tiffany. “Iya,” jawab Tiffany pendek.
“Yaudah, ayo kita makan. Tante udah bikin makanan kesukaan kamu loh.” ajak Windi yang langsung mendapat gelengan dari Tiffany.
“Sorry, aku udah makan. Aku mau langsung istirahat aja, capek.”
Setelah mengucapkan itu, Tiffany langsung bergegas pergi menuju kamarnya meninggalkan dua orang itu. Dia langsung memasuki kamarnya kemudian berjalan kearah balkon kamar. Terkadang dia tak mengerti dengan hatinya. Kenapa juga dia harus tak suka dengan Windi?
Windi baik, sangat baik malah. Wanita itu lembut, penyayang dan segala hal baik selalu wanita itu tunjukkan kepadanya. Entah itu memang wanita itu atau hanya sekedar pura-pura untuk mengambil hatinya. Dia tak tahu.
Tiffany menatap langit, menatap satu bintang yang hanya menghiasi langit malam yang gelap. Dia kadang berpikir. Kalau dia menerima Windi, apa ibunya di sana ikhlas?
Entah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Tria Wulandari
lanjut Thor.. like ceritanya . tetep semangat berkarya..
mampir ya kak di tulisan ku Putih Abu-Abu 2010 like dan vote
2020-10-29
1
Miels Ku
cemungut
2020-06-25
1
Katatokoh16
Ditunggu selalu komentar untuk part ini, karena komentar dari kalian membuat aku semungutt
2020-06-15
2