Empat Belas

Rayhan dan Zia masuk mobil Baleno merah. Zia duduk di samping Rayhan yang ada di balik kemudi.

"Kamu tadi ga banyak makan Zi, mau makan malam lagi?" tanya Rayhan memecah keheningan di dalam mobil itu.

"Ndak Mas, kita mau kemana?" tanya Zia.

"Ke rumah kamu," sahut Rayhan.

"Sudah siap kah rumahnya? Katanya Mba Al masih ada renovasi,"

"Alhamdulillah sudah selesai Zi, aku pengen kamu dan aku bisa lebih membiasakan diri dengan rumah itu, juga kita saling mengenal lebih dalam lagi," ucap Rayhan.

"Ah, iya Mas," Zia hanya memandang jalanan saja, hanya sekali-sekali melirik ke arah Rayhan, gugup... sangat gugup dia saat itu.

Rahyan memarkirkan mobilnya di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan.

"Kok ke sini Mas," Zia yang merasa bingung, bukannya ke rumah mereka, namun Rayhan malah mengajaknya ke pusat perbelanjaan.

"Rumahmu masih baru, lemari pendingin masih kosong, bahan makanan tidak ada, kita belanja ya," sahut Rayhan.

"Baik Mas," ucap Zia.

Rayhan menyodorkan dua kartu debit pada Zia.

"Yang ini untuk belanja bulanan, keperluan rumah, dan sekolah juga uang jajan Maryam, yang ini untuk kamu beli bedak dan keperluan pribadi kamu Zi, pergunakan dengan baik ya," tutur Rayhan.

Dengan ragu Zia menerima dua kartu itu, kemudian menyimpannya dalam tasnya.

"Iya Mas, jazaakallaahu khayran," ucap Zia.

"Wa jazaakillaahu khayran, kita turun yuk," sahut Rayhan kemudian turun duluan dari mobil.

Zia masih di dalam mobil, merapikan jilbabnya dan memakai cadarnya, tanpa ia duga Rayhan membukakan pintu untuknya. Zia segera turun dari mobil.

"Makasih Mas," ucap Zia yang tersenyum di balik cadarnya, perhatian sekecil itu mampu membuat pipi Zia merah merona, mungkin ia akan sangat malu jika tidak tertutup cadar, karena Rayhan akan melihatnya tersipu.

"Yuk," ucap Rayhan sembari menggenggam tangan Zia. Zia terkejut dibuatnya, mereka memang suami istri, namun sampai saat ini mereka belum terlalu saling kenal, jadi bisa dibayangkan berpegangan tangan dengan lawan jenis yang masih asing.

Rayhan pun sebenarnya juga masih canggung, namun ia berusaha agar terbiasa dengan Zia, karena selama ini hanya Alfina yang menyentuh Rayhan.

Mereka bersama-sama mendorong troli belanjaan yang masih kosong. Ketika melewati bagian ikan dan daging mereka berhenti sejenak.

"Kamu suka ikan, daging ayam, atau daging sapi, atau kamu vegetarian?" tanya Rayhan, Najma tersenyum kemudian menjawab pertanyaan dari Rayhan.

"Vegetarian? Mas lupa tadi suapin aku apa?"

"Oh iya, hehehe maaf aku lupa," Rayhan baru ingat, tadi waktu makan malam ia memberi daging ayam pada Zia.

"Jadi kamu sukanya ayam?" tanya Rayhan lagi.

"Aku paling suka makan ikan, daging ayam juga mau, tapi ga sesuka itu, daging sapi mau juga kalau jadi baso, rawon, pokoknya ga dimasak di rumahku, hehehe,"

"Kenapa begitu? Apa bedanya masak dimana saja daging sapi?" tanya Rayhan.

"Aku kurang suka bau daging Mas pernah sampai muntah, jadi aku ga suka ada yang masak daging sapi atau kambing di rumahku," jawab Zia.

"Oh begitu, kalau daging kambing?" tanya Rayhan.

"Sama juga, ga bisa masak daging kambing di rumahku, dan aku ga bisa makan daging kambing sama sekali, kaya gitu dosa ga sih Mas?"

"Ga pa pa kali," sahut Rayhan.

"Lalu mas Rayhan sukanya apa?" tanya Zia.

"Aku suka semua, tapi apapun yang kamu masak, in syaa Allah aku akan suka," jawab Rayhan.

Begitu pula dengan sabun mandi, sabun muka, pasta gigi, dan lain sebagainya mereka saling bertanya satu sama lain.

Setelah mendapatkan kebutuhan bulanan, mereka membawa belanjaan ke mobil.

"Kamu bisa nyetir mobil?" tanya Rayhan.

"Bisa, tapi udah lumayan lama ga nyetir," sahut Zia.

"Nih, kamu yang nyetir ya, itu mobil kamu," ucap Rayhan menyerahkan kunci mobil pada Zia, dan langsung duduk di bangku penumpang depan. Mau tidak mau ganti Zia yang duduk di belakang kemudi.

"Mas ga berlebihan kasih aku mobil?" tanya Zia yang mulai membawa mobil itu menuju rumah baru mereka.

"Kamu juga istri aku, kamu mendapatkan hak yang sama dengan Alfina, rumah, mobil, ada motor juga di rumah, semoga kamu suka, tapi untuk uang belanja tentu saja Alfina lebih banyak ya, karena rumah yang kami tinggali lebih besar, dan banyak anak, banyak kebutuhan, namun jangan khawatir, jika kita punya anak lagi, otomatis juga aku tambah uang belanjanya," sahut Rayhan.

"Alhamdulillah jazaakallaahu khayran Mas," ucap Zia penuh syukur.

Rayhan yang duduk di bangku penumpang, sedikit mencuri-curi pandang pada wanita yang baru ia nikahi hari ini tadi. Zia yang membuka cadarnya sejak masuk mobil tadi, terlihat cantik di mata Rayhan. Sebelas dua belas lah dengan Alfina. Namun Zia terlihat lebih tangguh dari Alfina, mungkin karena kehidupan yang keras menempanya setahun terakhir ini.

Mereka akhirnya tiba di rumah baru Zia.

"Bentar Mas aku buka pagar dulu," ucap Zia hendak memakai cadarnya lalu berniat turun dari mobil. Namun Rayhan memegang lengan Zia menghalanginya untuk turun.

"Tunggu Zi, biar aku saja," ucap Rayhan lalu membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Lagi-lagi Rayhan berhasil membuat Zia tersipu-sipu. Zia kemudian memasukkan mobil dalam garasi. Dan Rayhan menurunkan koper pakaian dan belanjaan mereka.

Zia masuk rumahnya yang baru itu, di ruang tamu ia tertegun dengan yang dilihatnya, rumah dengan nuansa putih itu terlihat mewah baginya. Kemudian ia berjalan ke ruang tengah, di sana ada tempat bermain kecil untuk Maryam, di sebelahnya ada mesin jahit Zia beserta perlengkapan menjahitnya. Di sebelahnya lagi ada ruang makan, dapur dan ruang cuci juga kamar mandi.

Rayhan meletakkan belanjaan mereka di atas meja makan.

"Kamar-kamarnya ada di atas Zi," ucap Rayhan.

"Ah iya Mas," sahut Zia.

"Kamu rapikan belanjaannya, aku bawa kopernya ke atas," ucap Rayhan.

"Baik Mas,"

"Jangan lama-lama ya Zi, aku tunggu di atas," ujar Rayhan yang berjalan menaiki tangga membawa koper mereka.

Sementara itu di rumah Alfina...

Alfina menidurkan anak-anaknya, malam itu Maryam tidur bersama Aisyah dan Fatimah. Setelah memastikan mereka bertiga terlelap, Alfina masuk kamar Sulaiman melihat putranya telah terlelap juga. Kemudian Alfina masuk kamar Khadijah, rupanya si sulung itu masih terjaga, duduk di depan meja belajarnya membuka Al Qur'an dan menambah hafalannya.

"Belum tidur Dija?" tanya Alfina.

"Bentar lagi Mi," sahut Khadijah.

"Bolehkah malam ini ummi tidur dengan mu nak?" tanya Alfina.

"Iya ummi," sahut Khadijah, ia tahu saat ini ibunya sedang butuh teman.

Kalau boleh jujur, Alfina tidak berani masuk ke kamarnya sendiri, ia takut akan sedih dan menangis, lalu menyesal dengan keputusan dia membolehkan Rayhan menikah lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!