Zia dan Maryam sampai di rumah kontrakan mereka, tentu saja diantarkan oleh Rayhan dan Alfina. Zia beristirahat di atas kasur yang tergeletak di lantai, karena mereka tidak punya ranjang. Dia ingin memejamkan matanya, mencoba tidur, namun pikirannya masih berputar pada tawaran Alfina tadi.
"Maryam," panggil Zia.
"Iya Umma," Maryam meletakkan boneka yang tengah ia mainkan di dekat kasur itu.
"Maryam misal ada Abi baru mau ga?" tanya Zia, mencoba meminta pendapat anak semata wayangnya itu.
"Mau Umma," sahutnya dengan mata berbinar.
"Maryam sudah ikhlas memanggil menganggap orang lain yang bukan Baba Ilyas sebagai ayah Maryam?" tanya Zia lagi.
Maryam terdiam sejenak, ia terlihat berpikir.
"Maryam sayang sama Baba Ilyas, tapi Baba ga mungkin kembali lagi Umma, kata Umma kalau Maryam rindu cukup dengan mendoakan Baba, dan Maryam jadi anak yang baik, biar Baba juga mendapat balasan pahala dari Allah, dan nanti Maryam bisa ketemu lagi sama Baba di surga," kata Maryam.
"Iya Nak, ma syaa Allah, terus jadinya gimana?" tanya Zia.
"Iya, mau Abi baru, tapi apa ada yang mau jadi abinya Maryam?" tanya Maryam balik.
"In syaa Allah nak, kalau ada yang melamar Umma, dan menikahi Umma, pasti jadi abinya Maryam, dan in syaa Allah akan menyayangi Maryam," sahut Zia.
"Iya Umma,"
"Hari Sabtu sepulang sekolah nanti kita ke rumah uti dan akung ya," kata Zia. Ia berencana meminta izin kepada orang tuanya untuk menikah lagi.
"Yee asyik, sudah lama kita ga ke sana Umma," seru Maryam kegirangan.
Zia sengaja tidak menceritakan bahwa yang akan menjadi ayah sambung Maryam adalah Rayhan abinya Sulaiman yang selama ini ia kenal dan sangat suka, Zia takut apabila rencana pernikahan ini gagal, Maryam akan sangat sedih dan kecewa.
Sementara di kedai ayam goreng, Alfina sedang menggoreng beberapa potong ayam untuk isi display. Ditemani Rayhan dan Fatimah tentunya.
"Al," panggil Rayhan.
"Iya Mas," sahut Alfina segera mendekati suaminya.
"Kamu beneran pengen aku nikah lagi?" tanya Rayhan.
"Iyalah beneran," sahut Alfina.
"Nyari repot kamu?"
"Ya nggak lah Mas, malah enak ada yang bantuin giliran ngurus mas Rayhan," Alfina tetap tersenyum.
"Jadi aku ini beban buat kamu?" tanya Rayhan.
"Yee .. bukan gitu, untuk lebih bisa mempraktekkan diri aja Mas, selama ini kita cuma tahu teori, harus sabar, harus ikhlas, harus sadar bahwa semua hanya titipan, termasuk Mas Rayhan, dan biar aku hanya fokus, bersandar pada Allah, bukan makhluk,"
"Tapi jangan sampai kamu menyesal Al,"
"In syaa Allah nggak akan Mas, bismillah,"
"Aku ini hanya manusia biasa, aku akan terus berusaha adil pada kalian berdua, tapi ada kalanya mungkin aku tidak sengaja menyakitimu, maafkan aku, dan jangan pernah kamu minta cerai dariku, atau aku menceraikannya, jangan pernah ya, aku tidak mau ada perceraian dalam hidupku,"
"Iya Mas, in syaa Allah aku siap dengan semua itu, aku juga sudah tanyakan pada dek Zia, apa dia mau jadi adik maduku,"
"Ha? Sudah?" Rayhan terkejut, karena bukannya Zia masih belum sehat.
"Iya...sudah,"
"Jadi apa katanya?" tanya Rahyan.
"Belum kasih jawaban, aku kasih waktu satu pekan, biar dia bisa berpikir dan juga membicarakan hal itu dengan keluarganya, ini bukan masalah sederhana, apalagi pandangan orang awan tentang poligami, jadi istri kedua, pasti berat juga baginya untuk membuat keputusan," kata Alfina.
Rayhan memeluk Alfina, mengecup pucuk kening yang terbungkus jilbab.
"Selama satu pekan ini kita juga berdoa, kalau Allah meridhoi pasti akan Allah mudahkan semuanya," ucap Rayhan sambil terus memeluk Alfina.
"Iya, Mas ayamku nanti gosong, udahan ya peluknya,"
.
.
.
Hari Sabtu sepulang Maryam sekolah, rencananya Zia akan mengajak Maryam mengunjungi orang tuanya di luar kota.
Namun ketika Zia memarkirkan sepedanya di teras, ada sebuah taksi online berhenti di depan rumah kontrakan mereka.
"Bapak, Ibu ..." ucap Zia yang terkejut, karena mereka sama sekali tidak memberi kabar akan datang.
"Zia... Maryam. .." ucap Ibu.
"Uti...Akung...." Maryam berlari menghampiri mereka, mencium punggung tangan dan memeluk keduanya. Begitu juga Zia, mencium punggung tangan ibu bapaknya dengan takzim dan segera membantu mereka membawa barang bawaan masuk ke dalam rumah.
"Bapak sama ibu kok ga ngabarin dulu, kalau saya sama Maryam ga ada di rumah gimana?" tanya Zia.
"Ya pulang lagi ke kampung, emangnya kamu mau kemana?" tanya bapak balik.
"Aku sama Maryam mau nengok bapak ibu, tuh tasnya udah siap," Zia menunjukkan tas baju yang selesai ia kemas tadi pagi.
"Ma syaa Allah, berarti kita sehati nduk," ucap ibu.
"Ya udah bapak sama ibu istirahat dulu, aku carikan makanan buat makan siang nanti," ucap Zia.
"Ndak usah nduk, itu di kardus ada sayuran sama buah, di dalam kotak ada tahu, sama ikan nila dari empang, kita masak aja yuk, ibu kangen masak sama kamu," ucap ibu.
"Ah iya, tapi apa ibu gak capek, habis perjalanan jauh langsung masak,"
"Nggak, ibu pengen masakin cucu kecil ibu ini," sahut ibu.
Akhirnya ibu dibantu Zia memasak di dapur, sementara Maryam bermain bersama sang kakek di ruang tamu.
"Sebenarnya ibu sama bapak ke sini mau ngajak kamu sama Maryam pulang ke kampung saja nduk," ucap ibu.
"Kenapa memangnya Bu?"
"Kalian hidup tidak begitu baik, di sini apa-apa juga mahal, kamu juga tidak ada mahrom lagi di sini,"
Zia berpikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan ibunya, dia tidak ada mahrom lagi, tapi bagaimana dengan pendidikan Maryam, di kampung tidak ada sekolah Islam, kalau dia harus mengajarkan sendiri ilmunya belum sampai ke sana, kalau di sekolah biasa, ia takut tidak bisa membekali Maryam ilmu agama sejak dini.
"Kecuali kalau kamu menikah lagi, maka bapak ibu bisa tenang meninggalkan kalian di sini," lanjut ibu.
"Haa..." ucap Zia tercekat.
"Itu Bu, sebenarnya ada yang mau melamar Zia," ucapnya kemudian.
"Iyakah? Kenapa tidak bilang sama bapak ibu?"
"Ya aku rencana mau pulang juga mau bilang bapak ibu," sahut Zia.
"Kenapa Bu?" tanya bapak yang akan mengambil minum di dapur.
"Ini, Zia bilang ada yang mau melamarnya," sahut ibu.
"Siapa nduk?" tanya ayah.
"Ada, tapi masalahnya dia punya istri, dan Zia dijadikan istri kedua," ucap Zia ragu, takut orang tuanya akan marah. Namun perlahan ia menceritakan semuanya kepada bapak ibu, bagaimana Alfina sendiri yang meminta Zia menjadi adik madunya.
"Baiklah, apa kamu siap menjadi madu dengan segala resikonya?" tanya bapak. Zia mengangguk.
"Kalau begitu hari ini minta mereka datang, bapak ingin berkenalan dengannya," ucap bapak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments