Dua Belas

Setelah pertemuan Zia dengan ibu mertuanya terdahulu, Zia sempat ragu untuk melanjutkan rencana pernikahannya dengan Rayhan. Namun kedua orangtuanya tetap mendukungnya.

"Semuanya terserah kamu Iko, bapak sama ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik, tapi kembali lagi, pikirkan Maryam, masih sekecil itu, dan dia juga sudah senang dengan nak Rayhan, kamu juga masih muda, kamu berhak bahagia," ucap ibu sesampainya di rumah kontrakan Zia.

"Iya Iko, kalau kamu mengurungkan niat kamu menikah karena ibunya Ilyas, apa mereka mau memberi makan kamu dan Maryam? Apa mereka juga memikirkan sekolah dan masa depan Maryam? Juga Maryam pasti kecewa karena dia sudah setuju kalau Rayhan jadi ayah sambungnya, selama ini bapak hanya bisa membantu kamu sekedarnya, gak bisa cukup untuk biaya hidup dan sekolah Maryam di kota," ucap Bapak.

Zia, hanya terdiam mendengar pendapat bapak dan ibunya. Hatinya merasa tersentil dengan kata-kata bapak. Memang sampai sekarang ia masih sering kali merepotkan bapak ibunya.

"Maafin Iko ya Pak, Bu, sampai sekarang masih suka merepotkan bapak ibu," ucapnya.

"In syaa Allah kami ikhlas nak, yang namanya orang tua pasti tidak ingin anaknya kesulitan, kamu juga begitu kan ke Maryam," ucap bapak. Zia hanya mengangguk, paham apa yang dikatakan kedua orang tuanya.

"Iko, sholat istikharah dulu Pak Bu, minta petunjuk sama Allah, agar lebih dimantapkan lagi dengan pilihan Iko," ucap Zia.

.

.

.

Dan hari itu pun tiba...

Setelah Zia mantap hatinya, akad nikah terlaksana. Akad nikah dilaksanakan di rumah Rayhan dan Alfina, karena rumah mereka cukup besar, dan rumah yang Rayhan sediakan untuk Zia masih ada sedikit renovasi. Mereka mengundang keluarga besar, tetangga, dan teman kajian mereka.

Rayhan dan keluarga juga undangan tamu ikhwan atau pria berada di ruang tamu, sedangkan Zia ditemani Alfina berada di ruang tengah rumah itu yang luas seperti aula, tentu bersama keluarga dan undangan akhwat atau perempuan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Risqo Fauziah binti Abdullah Amin dengan mas kawin perhiasan emas sepuluh gram dibayar tunai," ucap Rayhan dengan mantap.

"Sah!"

"Sah!"

Ucap para saksi dan undangan.

"Alhamdulillah..." ucap Rayhan. Juga Alfina dan Zia yang saling berpelukan. Keduanya menangis... Entah air mata bahagia, atau air mata kesedihan, karena kini secara resmi mereka berbagi suami. Zia yang sudah sadar dari awal bahwa ia tidak berhak menguasai Rayhan sepenuhnya, dan Alfina yang harus membiasakan diri dengan keadaan ini.

Meskipun dia sendiri yang memilih istri untuk suaminya, tapi yang namanya perempuan pasti sakit bila hati dan raganya terbagi untuk perempuan lain. Namun Alfina segera sadar, mereka ditonton banyak mata di ruangan itu, ia tidak ingin Zia jadi bahan gunjingan orang karena menjadi istri kedua.

Ia menghapus air matanya juga air mata Zia.

"Sudah Dek, ini hari bahagia kita, mulai sekarang kita niatkan semua dengan ibadah," ucap Alfina. Zia mengangguk dan tersenyum.

"Iya Mba, dan aku minta maaf ya Mba, bila nanti ada masanya aku tidak sengaja membuat Mba Al sakit hati," ucap Zia.

"Iya, sama-sama, kamu adikku, aku menyayangimu karena Allah, aku juga minta maaf bila tidak sengaja menyakitimu," ucap Alfina dan mereka kembali berpelukan.

Banyak undangan Ummahat teman kajian mereka, namun tetap saja ada yang menangis seakan merasakan kesedihan Alfina, dan menjelekkan Zia sebagai istri kedua.

Padahal poligami juga syariat bagi mereka mampu melaksanakan. Alfina dan Zia yang menjalani, tapi yang menyaksikan sibuk memusingkan diri membincangkan mereka.

Setelah itu mereka foto bersama dengan keluarga dan undangan akhwat. Dan setelah makan prasmanan yang di sediakan di teras depan untuk tamu undangan Ikhwan, dan di tepi kolam renang untuk undangan akhwat, para tamu dan keluarga satu persatu pamit pulang.

Ibu dan bapak juga pamit pulang.

"Ibu jangan pulang dulu, aku masih bingung di sini," ucap Zia yang memeluk ibunya.

"Eh, sebentar lagi hari gelap, bisa kemalaman kami nanti," ucap Ibu.

"Ini rumah kakakmu, percayalah mereka pasti menyayangimu dan memperlakukan kamu dengan baik," ucap ibu. Dengan berat hati, Zia melepaskan pelukannya dan mengizinkan bapak ibunya pulang ke kampung.

"Bapak titip Zia ya nak Rayhan, sekarang Zia dan Maryam adalah tanggung jawab kamu dunia dan akhirat," ucap bapak pada Rayhan.

"Iya Pak, in syaa Allah, bapak dan ibu jangan khawatir, saya akan menjaga mereka dan membahagiakan mereka," ucap Rayhan.

Bapak dan ibu Zia kemudian pergi menggunakan mobil second yang baru bapak beli dengan uang tabungannya.

Tinggallah Zia dan Maryam di tengah keluarga Rayhan.

"Mas," ucap Alfina.

"Iya Al," sahut Rayhan.

"Itu istrinya yang baru belum di sapa," ucap Alfina.

Rahyan tersenyum dan tersadar, dari akad yang ia ucapkan tadi, Zia telah sah menjadi istrinya.

"Kalian ngobrol dulu, aku siapkan makan malam," ucap Alfina.

"Al, tunggu," ucap Rayhan yang memegang tangan Alfina yang hendak pergi.

"Apa?" tanya Alfina.

"Kita foto sama-sama dulu, pumpung masih belum ganti baju, dan pumpung ada Mba katering, bisa dimintain tolong buat fotoin," ucap Rayhan.

Kemudian mereka berfoto, Rayhan di tengah dan Alfina juga Zia di samping kanan kirinya, kelima anak-anak mereka berdiri di depan mereka. Tangan Rayhan memeluk pundak Alfina juga Zia. Zia sangat terkejut, mendadak tubuhnya kaku dan nafasnya tertahan saat disentuh Rayhan. Rayhan yang menyadarinya membisikkan sesuatu di telinga Zia.

"Santai Zi," bisik Rayhan. Bukannya jadi rileks, Zia semakin tegang.

'Rileks Zia... rileks...huuh huhhh...' ucapnya dalam hati sambil menata nafasnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!