"In syaa Allah saya mampu pak, baik lahir maupun batin, bapak jangan khawatir, in syaa Allah saya akan menjaga dan melindungi juga membahagiakan dek Zia, saya perlakukan sama seperti istri saya Alfina," ucap Rayhan mencoba meyakinkan bapak Zia.
Bapak mengangguk-angguk seakan mengerti, namun namanya anak sendiri mau dijadikan istri kedua, pasti masih merasa was-was, kalau-kalau Zia akan terluka, juga Maryam.
"Maryam sudah kenal dengan saya juga, beberapa kali saya mengajak Maryam keluar bersama Fatimah anak saya, Maryam terlihat senang dan bahagia, in syaa Allah saya akan bertanggung jawab juga atas Maryam dunia dan akhirat, seperti anak kandung saya sendiri," lagi-lagi Rayhan meyakinkan bapak.
"Kalau boleh tahu, pekerjaan nak Rayhan apa?" tanya bapak, tentu ini sebuah pertanyaan penting untuk calon menantu.
"Maaf bukannya kami materialistis, toh rezeki Allah yang atur, bagi kami seorang suami itu bukan harus punya pekerjaan tetap, namun harus tetap mau bekerja untuk anak istrinya," ucap Bapak.
"Saya punya bisnis properti, saya beli rumah, saya renovasi, kemudian saya jual lagi, dan itu sudah berlangsung lama, dari saya masih bujang dulu Pak, Alhamdulillah sampai sekarang masih lancar," jawab Rayhan.
Lagi-lagi bapak manggut-manggut. Seakan ada ketenangan mendengar penuturan Rayhan.
"Baiklah, saya tadi juga tanya bagaimana Iko, nampaknya juga menyambut baik rencana pernikahan ini, untuk selanjutnya bapak pasrahkan segala sesuatunya pada nak Rayhan, mau cepat atau nanti-nanti, kapan dan dimana, bagaimana acaranya, bapak serahkan," ucap bapak.
"Baik Pak, in syaa Allah nanti kami bicarakan lagi," sahut Rayhan.
"Nak Rayhan sudah makan siang?" tanya bapak.
"Belum pak, tadi saya dari kantor mampir kedai sebentar terus langsung ke sini," sahut Rayhan.
"Kalau begitu kita makan sama-sama ya, tadi ibu sama Iko masak, masakan kampung tapi, yuk monggo ke belakang," ucap bapak mengajak Rayhan ke dapur.
Rayhan tidak sengaja melihat kamar Zia dan Maryam yang memang tidak ada daun pintunya, sehingga terlihat isi dalam kamar itu, hanya kasur kecil tergeletak di lantai, di sebelahnya ada meja kecil ada bedak dan sisir juga kaca cermin kecil di atasnya. Kemudian di sebelahnya ada lemari berbahan plastik yang sudah pecah sebagian pintunya, namun terlihat di dalamnya pakaian tertata rapi. Rayhan teriris hatinya melihat itu semua.
Kemudian melewati lorong dan sampai ke dapur, di dekat dapur ada meja makan tanpa kursi, di sana terhidang sayur asem, pepes tahu, ikan nila yang digoreng, dan sambel terasi.
"Ayo silakan nak Rayhan," ucap ibu ketika melihat Rayhan dan bapak yang akan makan siang.
Rayhan melihat Zia tengah menyuapi Sulaiman, Maryam, dan Fatimah makan di anak tangga, rupanya kontrakan itu ada dua lantai.
"Rumah ini dia lantai?" tanya Rayhan.
"Iya, tapi cuma buat jemur pakaian aja nak," sahut bapak.
"Oh .." ucap Rayhan. Kemudian mereka mengambil makan siang dan membawanya untuk dimakan di ruang tamu, karena dapur Zia memang sangat sempit.
Rayhan makan dengan lahap, entah karena lapar, atau masakan sederhana itu benar-benar enak.
"Nambah nak Rayhan," ucap bapak.
"Sudah pak, sudah kenyang, Alhamdulillah," sahut Rayhan yang menunjukkan piringnya bersih dari sisa makanan.
Selesai makan, Rayhan membawa piring bekas makannya ke dapur, dan di sana Zia sedang mencuci piring.
Zia yang sadar Rayhan di situ, segera menaikkan cadar yang mengalung di lehernya.
"Taruh situ saja Mas," ucap Zia sedatar mungkin. Rayhan meletakkan piring di atas meja makan dan segera kembali ke depan tanpa mengucap sepatah katapun. Baik Zia maupun Rayhan sama-sama berjuang menjaga hati mereka, agar tidak merasakan rasa-rasa yang belum boleh dirasakan sebelum sah menjadi suami istri.
Rayhan dan bapak kembali berbincang di ruang tamu. Nampaknya bapak senang sekali dengan Rayhan.
"Baiklah pak, saya pamit dulu, ada janji dengan mandor bangunan, in syaa Allah nantinya saya akan berkunjung ke rumah bapak ibu," ucap Rayhan.
"Iya Nak, sampaikan salam untuk nak Alfina," ucap ibu yang ada juga di ruang tamu.
"Iya Bu, in syaa Allah saya sampaikan, anak-anak dimana?" tanya Rayhan.
"Itu di kamar, tidur," sahut Zia. Rayhan menengok ke dalam kamar, ketiga bocah itu tidur di kasur Zia.
"Ah, kalau gitu boleh saya nitip dulu, in syaa Allah nanti sore saya jemput lagi," ucap Rayhan.
"Iya, boleh," sahut Zia.
"Iya, biarin aja nak, kasian kalau dibangunin," tutur bapak.
" Iya Pak, Bu, dek Zia, saya pamit dulu, assalamualaikum," ucap Rayhan.
"Waalaikumussalam," jawab Zia juga bapak ibu.
Rayhan bergegas menuju mobilnya.
"Iko, buahnya!!" seru ibu mengingatkan Zia tentang sekardus buah yang akan diberikan pada Rayhan dan Alfina.
"Oh iya," Zia segera ke dapur dan kembali membawa sekardus buah-buahan oleh-oleh bapak ibu.
"Mas Rayhan tunggu," ucap Zia yang berlari membawa kardus buah itu. Rayhan kemudian membuka pintu tengah agar Zia bisa memasukkan kardus itu ke dalam mobil. Sebenarnya ia ingin meminta kardus itu ke tangannya, namun khawatir jika tangannya tidak sengaja menyentuh Zia yang belum sah menjadi istrinya.
"Apa ini?" tanya Rayhan.
"Buah, dari bapak ibu, bisa buat jus anak-anak," sahut Zia.
"Oh iya, jazaakillaahu khayran," ucap Rayhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments