Cuma basa basi

Sudah sepuluh menit berlalu sejak bel sekolah berbunyi dan guru sudah masuk dan mengajar. Namun, pria yang tanpa kabar itu juga kunjung tak datang. Siapa lagi yang akan menanti kehadiran Bryan? Jika bukan Shiren seorang?

Bryan berhasil membuat sang gadis gundah gulana.

Dia beneran alpha? Gak ada kabar? Apa sih susahnya ngasih tau gue doang.

Bukan hanya Bryan, masih ada bangku Nanta dan Arga yang ikut kosong, sudah jelas ketiganya entah kemana mungkin saja sedang cari ribut dengan muda-mudi lainnya.

Bahkan sampai bel istirahat berbunyi juga, tak ada pesan keterangan dari Bryan. Bahkan pesan Shiren saja masih centang satu, membuatnya gundah menunggu.

-

-

-

"Al, lo gak ada dikabarin Nanta dia kemana gitu?" Shiren tau, Alma dan Nanta dekat.

Saat ini, dia, Alma, dan Lilia sudah duduk manis di salah satu meja di kantin.

"Oh? Kalau Nanta sih katanya ada urusan keluarga. Gitu deh, gak tau detailnya gimana." Yah, meskipun mereka sering cekcok, Alma dan Nanta juga kadang berdamai.

Shiren kesal, dia sama sekali tidak bisa menemukan titik terang kejelasan keberadaan kekasihnya.

"Lo masih khawatirin Bryan Shi? Gue rasa mending lo udahan deh, kasihan hati sama mental lo. Lo masih muda, diluaran sana banyak yang lebih baik, lebih terbuka, gak begajulan kayak dia." Timpal Lilia, memang diantara Alma, Shiren dan Lilia. Gadis yang bisa cukup bela diri ini, nampak paling logis.

"Tapi ya tapi, cowok kayak Bryan tuh keren, cintanya juga gak main-main. Menurut gue ya Shi, lo tinggal berjuang sedikit lagi buat ngerubah dia, jangan ditinggalin lah. Lagipula Bryan cintanya tulus ke lo, dan lo juga masih cinta ke dia kan?" Meskipun Alma sering bertengkar dengan Bryan, dia masih pro Shiren Bryan. Baginya kedua pasangan ini selalu uwu dan romantis. Semuanya sempurna, kecuali sikap Bryan yang badboy.

Ctakk!!

Lilia geram sekali mendengar perkataan gadis itu, hingga menggerakkan tangannya menghadiahkan jitakan khusus untuk Alma.

"Ya itu dia, cinta doang mah apa, gak bakal berjalan kalau gak ada kesetiaan dan kepercayaan yang mengiringi. Gue akui Bryan cintanya tulus, kesetiaannya patut diacungi jempol, tapi kepercayaannya tipis Shi!" Lilia juga tak ingin kalah.

"Bodo! Pokoknya gue tetep dukung Bryan sama Shiren sampai nikahan!"

"Gue harap lo putus secepatnya!"

"Apa sih Lilia, kok lo doain orang putus sih, jangan gitu, ntar Shiren bimbang loh."

"Gak gitu Al, lo liat sekarang! Dia gak sekolah, alasan gak jelas, dan gak ngabarin Shiren. Itu yang namanya cinta?!"

"Stop it Girls! Gue tau kalian perhatian sama gue, gue tau kalian khawatir sama gue. Tapi, bisa tolong jangan debat. Gue sakit kepala." Shiren menghentikan keduanya, dia sudah gundah karna Bryan, tolong jangan ditambah kesal dengan perdebatan kedua sahabatnya.

"Sorry Shi."

"Maaf ..." Lilia dan Alma sama-sama menundukkan kepalanya. Mereka harus mengerti privasi Shiren, mereka memang bisa memberikan saran, tapi keputusan terakhir juga Shiren yang memegangnya.

-

-

-

Shiren sudah menunggu  Arfen di depan gerbang, dengan dirinya yang sudah gerah, lelah, dan letih, baik hayati maupun badani. Arfen bilang, dia akan menjemput Shiren sendiri karna Pak Won--Supirnya sedang sakit.

"Panas!"

Kesenangan mengetuk hati Shiren saat dia melihat mobil yang ia kenali mendekat dan berhenti di depannya. Dengan cepat, dia masuk, dan duduk di bangku depan, disebelah Arfen yang menyetir sendiri kali ini. Entah kemana asisten kebanggaannya.

"Kenapa gak pulang sama Bryan?" Arfen membuka obrolan dengan pertanyaan yang menurut Shiren menyebalkan. Dia sudah kesal Bryan yang tak jelas kabarnya, dan sekarang dia harus berakting lagi demi menjaga nama baik pria itu di depan keluarganya.

"Ada urusan keluarga." Sahut Shiren sekenanya, dia tidak ingin spesifik, takutnya malah ketahuan dia berbohong.

"Oh gitu, oh ya, nanti kita berhenti bentar ke rumah Leon, ada dokumen yang harus Kakak kirim."

Wajah Shiren semakin kesal, karna sadar rumah yang di tuju adalah rumah cowok yang baru patah hati karna dirinya. Shiren semakin sesak karna rasa bersalah yang menyelimuti.

"Kenapa harus Kakak? Apa kerjanya asisten Kakak? Dia mau makan gaji buta?"

"Ini biar sekalian, rumahnya searah kok sama rumah kita dari sini."

"Shiren gak mau! Pokoknya gak mau! Shiren cape, laper, mau pulang ke rumah!"

"Oh? Shirennya Kakak laper?"

-

-

-

Apapun yang Shiren katakan tidak mampu membuat Arfen dan mobilnya berhenti, bahkan itu baru berhenti saat mereka sudah sampai di depan rumah Leon.

"Ayo, sini gandeng, nanti ilang." Arfen menarik tangan adiknya, menuntunnya masuk. Tampaknya itu bukan yang pertama kalinya Arfen datang kesana, mengingat dia dengan santainya langsung masuk dan salah satu pelayan disana malah mengizinkannya.

"Kakak pikir Shiren gunting kuku apa? Gampang ilang!"

"Loh? Kenapa mesti datang kesini? Aku baru aja mau kesana buat ambil dokumennya." Leon dengan wajahnya yang ceria datang menyambut Arfen. Bagaimana tidak, dia sadar bahwa keluarga Arkasa sangat hebat, dan perusahaannya sudah beranak pinak di beberapa provinsi dinegara ini.

"Sekalian, tadi jemput Shiren pulang. Sadar kalau searah, sekalian aja."

Mereka sebentar berbicara soal dokumen itu. Leon melihatnya, dia merasa harus ada yang direvisi saat ini juga.

"Oh iya, kayaknya mesti ada yang bakal kita revisi. Shiren duduk dulu aja." Leon baru mempersilahkan Shiren duduk? Wah, dokumen itu benar-benar mengalihkan fokus kedua pria dewasa itu.

"Bisa tolong sekalian ajak dia makan? Katanya Shiren lapar."

"Kakak!" Suara Shiren meninggi,  apa Arfen benar-benar harus mengatakannya di situasi sekarang? Tolong lindungi harga dirinya.

"Kan tadi kamu yang bilang lapar, beneran lapar kan?" Tapi Arfen lebih memilih melindungi kesehatan adiknya dibanding harga dirinya.

Shiren mau menggeleng, namun dia sungguh-sungguh lapar.

"Gak apa-apa Shi, ayo Kakak tuntun ke meja ma--Oh Galaksi! Pas banget kamu baru pulang. Ajak Shiren makan siang gih, dia belum makan siang. Kakak ada urusan sama Arfen. Pastiin Shiren makan dengan baik, jangan digangguin, nanti dia kesedak."

"Ayo Fen." Leon menuntun Arfen ke ruangan kerja pribadinya.

"Makan Shi, jangan sampai gak makan. Kakak gak terima kamu sakit." setelah memberi wejangan pada sang adik dia mengikuti langkah Leon.

Wajah Galaksi sudah tidak bersahabat seperti sebelumnya. "Ayo." Dia berjalan di depan Shiren, pertanda Shiren harus mengikuti langkahnya.

Wah, dia dingin banget. Gak se-asyik sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, jadi kangen dia yang berisik. Sebenernya gue gak benci-benci banget keributannya. Orang kayak dia pasti asyik di ajak berteman. Tapi, ya mau gimana lagi. Semoga dia cepat move on, dan nantinya kita bisa jadi temen baik.

Cukup dalam hati saja Shiren mengatakan itu, bisa gawat jika telinga Galaksi malah mendengarnya.

Galaksi berhenti tepat di depan meja makan, dia melirik Shiren dan mengisyaratkan untuk gadis itu duduk melalui dagunya. Dia yang biasa ringan kata, ini malah irit kata.

Shiren memang sedikit tidak enak, namum perutnya semakin tidak enak karna rasa lapar yang melanda. Shiren langsung duduk, dan membalikkan piring, dia juga mengambil nasi, lauk pauk yang sudah tersaji.

"Lo gak beneran berpikir mau makan kan? Kakak gue tadi cuma basa-basi, jangan di anggap serius." Celetuk Galaksi enteng. Kayaknya Shiren agak familiar dengan kata-kata itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!