"Ambillah yang kau suka, Mel. Biarkan aku menghabiskan makanan ku dulu. Baru kita mulai bicara setelahnya," ucap Pak Faiz di depan ku.
Kami berdua saat ini sedang duduk di kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Kenapa kami pergi ke kantin di fakultas yang berbeda dari tempat ku belajar? Ini dilakukan demi bisa menghindar dari fitnah dan gosip jika kami terlihat berduaan di tempat umum.
Yah.. setidaknya di fakultas yang berbeda, kesempatan kami untuk bertemu dengan orang yang mengenal kami juga akan semakin kecil bukan? Begitu kiranya tebakan ku tentang alasan Pak Faiz mengajak ku ke kantin ini.
Saat ini aku sedang memperhatikan lelaki di depan ku baik-baik. Ada hal yang mengganjal pikiran ku usai mendengar perkataannya tadi.
"Kau tahu nama ku?" tanya ku dengan tatapan menuding.
Faiz tak segera menjawab pertanyaan ku. Terlebih dulu ia menghabiskan sebungkus roti yang ia beli. Baru kemudian berkata.
"Bukan kah teman mu sering memanggil nama mu? Mel? Mel? Sangat mudah untuk menebak kalau nama panggilan mu adalah Meli. Yah.. Tapi bisa jadi juga Imel sih," jawab Pak Faiz dengan masuk akal.
Aku mengerutkan kening. Mengingat kembali apakah benar Faiz pernah mendengar Rona memanggil nama ku di pertemuan kami sebelumnya. Dan setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya memang benar.
Sadar kalau memikirkan masalah panggilan ini hanya akan membuang waktu, ku putuskan untuk melanjutkan pertanyaan ku.
"Jadi, apa aku bisa mendengar jawaban mu tentang makhluk ghaib itu, Pak Dosen Faiz? Mohon penjelasan nya dengan ringkas dan padat. Terima kasih," Tanya ku singkat.
"Aku bisa melihat mereka sejak kecil. Mungkin juga sejak aku lahir. Jadi menghadapi mereka sudah menjadi kegiatan ku sehari-hari," tuturnya bercerita.
"Sungguh? bagaimana bisa?? Maaf. Maksud ku, bagaimana cara Anda menghadapi mereka hingga seusia sekarang ini?" Tanya ku kembali.
"Bersikap berani lah. Karena mereka cenderung muncul ke hadapan orang-orang yang memendam rasa takut di hati nya. Mereka terutama senang dengan para penakut yang memiliki anugerah mampu melihat mereka," paparnya menjelaskan.
"Anugerah? Tidak kah kata itu agak berlebihan? Menurut ku bisa melihat mereka yang tak nampak adalah suatu musibah..Pak!" Aku menyuarakan pemikiran ku.
"...jangan panggil aku Pak ketika kita hanya berdua," tegur Faiz kepada ku.
"Kenapa Anda meminta ku begitu, Pak? Tidakkah itu akan tak etis jadinya?"
"Karena aku tahu, kau memanggil ku Pak dengan nada menyindir. Jangan sangka aku tak menyadarinya, Mel!"
Aku terdiam seketika. Memang benar ucapan Faiz tadi. Aku memang sengaja menekan nada suara ku saat memanggil gelar "Pak" untuk Faiz. Menyadari kalau sikap khilaf ku telah disadari olehnya, aku pun buru-buru meminta maaf.
Yah.. Bagaimana pun juga dia akan menjadi dosen pengganti di mata kuliah Filsafat yang sedang ku dalami saat ini. Jadi aku jelas tak ingin menerima nilai D untuk pelajaran itu di akhir semester nanti.
"Maafkan saya, Pak.. Saya akan menjaga sikap saya lagi ke depannya nanti," ucap ku berusaha setulus mungkin.
Faiz tampak memperhatikan ku lekat lekat selama beberapa waktu. Dan aku mencoba untuk tetap membalas pandangannya selama yang ku mampu. Meski saat aku melakukannya, debur jantung ku berdegup begitu kuat dan tak teratur jadinya.
Deg. Deg.
Ba dump. Ba dump.
'Iishkk.. Eling, Mel.. Eling.. Dia itu dosen kamu! Do-sen ka-mu! Jangan berani punya pikiran yang aneh-aneh deh tentang dia! Lagi pula memangnya kamu bisa tahan sama semua sifat menyebalkan yang dia punya, apa?' Aku terus mengingatkan diriku sendiri di dalam hati.
"Terserahlah. Kita kembali ke topik tentang mereka. Sejak kapan kamu bisa melihat mereka?" tanya Faiz kemudian.
"Baru-baru ini.."
"Sudah ku duga!"
"Maksud mu apa? Kenapa kamu bisa menduga kalau aku baru bisa melihat mereka akhir-akhir ini?"
"Karena aura mu masih bersih,"
"Huh? a-u-ra?" tanya ku tak mengerti.
"Ya. Aura. Aku bisa melihat mereka karena aku memiliki daya lihat yang sedikit berbeda dari manusia pada umumnya,"
"Berbeda bagaimana, Pak?"
"Aku bisa melihat warna aura dari setiap makhluk dan juga benda mati,"
"Benda mati juga punya aura? Apa aura itu maksud mu seperti cakra dalam film Naruto, Pak?" Aku mencoba menganalogikan dengan apa yang ada dalam salah satu anime remaja tersebut.
Ku lihat Faiz tersenyum tipis. Aku sadar arti dari senyumannya itu adalah bahwa ia tak menyangka kalau aku ternyata mengenal salah satu film anime terkenal di kalangan remaja tersebut.
Menyadari kalau Faiz sedang menertawakan ku dalam hati, ku abaikan saja kenyataan itu. Dan menunggu jawabannya atas pertanyaan terakhir ku tadi.
"Bisa dikatakan seperti itu. Seperti meja ini misalnya, atau juga kursi dan semua benda lainnya. Rata-rata semua benda mati yang normal akan memiliki warna aura seperti kabut putih yang sangat tipis di sekitarnya,"
"Normal? Apa itu berarti ada benda yang tak normal? Maksudnya apa ya, Pak?"
"Maksudnya normal adalah benda-benda mati itu tak dipengaruhi oleh aura dari makhluk jahat yang menguasainya. Pernah dengar tentang benda pusaka? atau batu bertuah?"
"Oh! Apa maksud Anda, benda-benda itu memiliki warna aura yang berbeda dari benda normal lainnya, Pak?" tanya ku menyimpulkan.
"Ya. Benar. Kebanyakan benda-benda keramat dan sejenisnya itu memiliki warna aura yang mirip seperti warna aura pemiliknya. Bisa merah, hitam, dan juga emas. Sejauh ini hanya tiga warna itu saja yang ku lihat ada pada benda-benda abnormal seperti itu."
Aku tercenung sebentar untuk mencermati penjelasan Faiz barusan. Setelah memahami tentang aura benda normal dan abnormal, Aku pun kembali bertanya tentang hal lainnya.
"Bagaimana dengan makhluk hidup? Apa hanya ada tiga warna itu juga?" tanya ku lagi.
"Kalau makhluk hidup, warnanya ada lebih banyak lagi ragam nya. Kuning, hijau, pink, biru, cokelat.. Semua itu terkandung kepribadian dan inner heart dari makhluk itu sendiri," jelas Faiz kembali.
"Inner heart? apalagi itu? Bisakah kita tak memasukkan istilah-istilah Filsafat di perbincangan ini, Pak?" aku berseloroh asal.
Dan Faiz langsung menghadiahiku dengan cengiran lebar.
"Kau tak suka pelajaran Filsafat, rupanya," Faiz menyimpulkan penilaian ku atas mata kuliah yang diampunya itu.
"Yah.. setiap orang memiliki preferensi nya masing-masing, bukan? itu hal yang normal," kilah ku membela diri.
"Hmm.. ucapan mu itu ada benarnya, Mel. Kita memang memiliki preferensi yang berbeda-beda.." ucap Faiz dengan tatapan yang tak dapat ku artikan maknanya.
Buru-buru aku bertanya lagi demi bisa mengalihkan perasaan ku yang mulai dag dig dug tak karuan kembali.
"Ehem! Jadi, tentang aura makhluk hidup itu.. aku jadi ingin tahu, bagaimana dengan aura milik ku, Pak? Apa itu berwarna merah?" tanya ku asal.
Faiz kembali tersenyum lebar saat ia menjawab pertanyaan ku itu.
"Pink. Warna aura mu adalah pink, Mel!"
"?!!" Ku pandangi Faiz dengan tatapan terkejut dan tak percaya.
Besar dugaan, kalau lelaki di depan ku itu sedang mengerjai ku saat ini. Lihat saja seringai lebar di wajahnya itu.
'Dia sungguh terlihat menyebalkan sekali!' umpat ku dalam hati.
***.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments