Arga memandang tajam wanita di hadapannya, mencoba menahan emosinya yang membuncah. Bukan sekali ini saja Nada bersikap ketus padanya.
"Aku tegaskan sekali lagi padamu, Aku tidak mengenal wanita itu!"
"Bagaimana bisa Kamu katakan tidak mengenalnya, dia karyawan Kamu. Dia bekerja di perkebunan milikmu." Nada melengos kesal. "Harusnya Kamu lebih memperhatikan kesejahteraan pegawaimu!"
"Katakan padaku apa yang menurutmu harus Aku lakukan." Arga mengerdikkan bahunya, kecewa dengan sikap Nada. "Aku bahkan tidak mengenalnya"
Nada menengok memandang Arga yang sedang menatap lurus padanya, menunggu jawaban.
"Sediakan sarana pelayanan kesehatan yang layak untuk semua orang, naikkan upah mereka. Coba pikir, mereka bekerja bukan hanya untuk diri sendiri. Tapi untuk seluruh anggota keluarga mereka. Apa Kamu tega melihat mereka kelaparan karena nggak punya uang untuk beli makanan yang bergizi?"
Arga menghela nafas panjang, tampak kekaguman di wajahnya tak menyangka dengan pemikiran Nada yang begitu memperhatikan nasib karyawannya.
Kepeduliannya pada nasib Rima, membuatnya harus beradu argumen dengan Nada tentang kesejahteraan para pekerjanya.
Rima harus bekerja menggantikan posisi Ibunya yang kini tengah terbaring sakit sebagai pemetik daun teh di perkebunan teh milik Arga. Usianya belum genap tujuh belas tahun, tapi ia harus memikul beban sebagai tulang punggung keluarga karena sang Ayah yang sudah tiada. Miris memang, tapi pada kenyataannya dia harus mencari nafkah untuk menghidupi anggota keluarganya.
Upah yang diterima tak seberapa, tapi tetap harus di syukuri. Bekerja dari jam enam pagi hingga jam tiga sore, membuatnya masih memiliki waktu luang untuk mengurus adiknya yang masih berusia lima tahun dan Ibunya yang sakit. Tapi karena kelelahan dan makan yang tidak teratur, membuat tubuhnya lemah hingga pingsan tak sadarkan diri saat sedang bekerja di perkebunan.
Saat ini Rima hanya bisa mendengarkan saja perdebatan Arga dan Nada. Tak terasa wajahnya mulai panas, ada air yang menggenang di pelupuk matanya. Terharu mendengar kepedulian Nada pada dirinya.
"Baiklah, akan Aku pertimbangkan saran darimu. Jika sewaktu-waktu tenaga medis dibutuhkan segera disana, bersediakah Kau membantu Kami?" Arga bertanya sambil menatap lembut Nada. Rasa kagum membuatnya harus melakukan sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya dengan Nada.
"Dengan senang hati, Aku siap membantu. Demi hati nurani dan rasa kemanusiaan, Aku bersedia," jawab Nada tegas.
🌹🌹🌹
Pagi tadi Nada mendapat panggilan telpon dari Arga yang menunggu kedatangannya di klinik perkebunan. Sebenarnya Nada ingin menolak karena hari ini ia ingin istirahat santai sambil menonton drakor kesayangannya, namun ucapan Arga yang mengingatkan janjinya untuk selalu bersedia membantu saat dibutuhkan membuat Nada harus berpikir ulang.
"Ada salah satu karyawan Aku yang Istrinya sedang hamil besar, tapi tidak mau dibawa ke rumah sakit. Suaminya sudah berupaya membujuk, tapi tetap tidak mau. Alasannya simpel, dia ingin melahirkan dengan dibantu Bidan yang biasanya menolong persalinan di desanya," Arga menjelaskan.
"Lho, kalau sudah ada Bidan kan bagus.
Masalahnya dimana?" Nada mengernyitkan dahinya. "Di rumah sakit yang membantu persalinan juga Bidan"
"Masalahnya, Bidan Yati yang biasa membantu persalinan sedang berada di luar kota. Tidak ada tenaga medis disana, jarak rumah pasien dengan rumah sakit jauh. Aku harap Kamu bisa bantu meyakinkan Istri karyawan Aku itu untuk mau dibawa ke rumah sakit. Masalah biaya, Aku pastikan perusahaan yang akan menanggungnya"
"Aku Dokter Umum, bukan Dokter Spesialis Kandungan. Kalau sekedar membantu meyakinkan pasien, atau penanganan awal pasien, inshaa Allah Aku bisa." Arga tersenyum lega, benar-benar membutuhkan tenaga ekstra menghadapi sikap Nada yang judesnya luar biasa.
🌹🌹🌹
Nada mengusap peluh yang membasahi keningnya, benar-benar penuh perjuangan perjalanannya kali ini dalam menemui pasien. Akses jalan yang hanya bisa dilalui motor dan pejalan kaki dengan jarak tempuh lima ratus meter dari jalan utama, membuat nafasnya hampir habis.
Arga memarkir mobilnya tepat di sisi sebelah kiri gang. Dia tersenyum melihat Nada yang tampak kelelahan.
"Jangan mentertawakan Aku. Aku sadar, Aku sudah tua, kurang olah raga," Arga tersenyum lebar. "Iya, ini derita ku. Aku lelah." Arga kali ini benar-benar tertawa.
"Ha ha ha.. "
"Berapa usiamu, Nada?" Arga tersenyum menggoda.
Sejenak Nada menghentikan langkahnya, terkesima dengan senyum yang begitu manis di wajah tampan Arga. Lesung pipi di sebelah kanan bibirnya menambah ketampanannya.
"November ini genap dua puluh empat tahun"
"Dua puluh empat tahun masih muda Nada. Kamu hanya kurang gerak saja," Arga kembali tersenyum.
"Baiklah, mari kita selesaikan misi kemanusiaan ini. Setelah itu, ayo kita berolah raga"
🌹🌹🌹
Arga mengetuk pintu rumah yang terbuat dari triplek tebal berlapis milamin yang mulai terkelupas di beberapa bagian sisinya. Rumah kayu sederhana dengan banyak sangkar burung yang bergantungan di rangka plavon teras.
"Assalamualaikum." Arga mengucap salam. Tak lama terdengar suara dari dalam rumah membalas salam Arga.
"Waalaikum salam"
Seorang wanita dengan perut yang membesar karena kehamilannya membuka pintu, menatap bingung Arga dan Nada yang sudah berdiri berdampingan di depannya.
"Maaf, kalian siapa. Suami saya sedang tidak ada di rumah. Ada keperluan apa?" Tanyanya beruntun sambil sesekali terlihat meringis menahan sakit di bagian perutnya.
Nada bergegas menghampiri sambil memegang bahu wanita di hadapannya.
"Kita ke rumah sakit ya Mba? Biar Mba dapat penanganan langsung dari dokter."
"Nggak mau, saya nggak mau ke rumah sakit. Mass.. aarrgghhh sakitt!!"
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
RINDU ⭕
Selalu semangat, Semangat Selalu
💃💃💃💃💃💜💜💜💜💜💜
2022-01-03
0
Anita
🌿🌿🌿🌿🌿🌿
2021-12-27
2
Masnawira
menururku walau nada itu baik tapi sombong karena anda bicaranya selalu ketus
2021-09-28
0