Rumah besar milik Endang ini dulunya sangat megah, sama seperti rumah milik orang-orang kaya pada umumnya. Rumah tingkat dua ini juga memiliki pekarangan samping yang cukup luas dengan tanaman-tanaman yang tidak begitu terus.
Pagar rumah yang mengelilingi pekarangan sekaligus rumah utama, catnya tanpa usang dan ada beberapa yang berkarat. Hal ini karena sekarang keluarga Endang sudah bangkrut, sehingga rumahnya kurang terurus. Apalagi dia lebih suka pergi bersenang-senang bersama dengan kekasihnya yang masih muda.
Kondisi cat rumah juga sama, terlihat usang dan kurang terawat karena Endang tidak mampu memelihara atau merenovasi rumah tersebut setelah kebangkrutan suaminya. Jika dia memiliki uang, justru dia lebih banyak berfoya-foya bersama dengan teman sosialita yang dia ikuti.
"Hihhh, rumah begini banget! Kapan aku bisa mengecat ulang biar lebih baik dan tampak bagus?" Endang yang sedang berdiri di teras depan melihat-lihat kondisi rumahnya sendiri.
Dia sebenarnya ingin keluar untuk mencari keberadaan Bram yang belum ada kabar hingga saat ini. Tapi karena dia tidak memiliki uang akhirnya terpaksa dia hanya berada di rumah saja, meskipun pikirannya tidak bisa tenang.
"Kemana sih dia? Jika memang dia punya keluarga dan sedang bersama mereka, kenapa perempuan itu melaporkan kehilangan juga?" Endang masih tidak percaya dengan status Bram yang sudah memiliki keluarga.
"Ummm... apa aku coba bertanya pada perempuan yang kemarin ya?" Endang justru berpikir untuk ingin nekad menemui istrinya Bram, agar bisa untuk meminta penjelasan.
Tapi sedetik kemudian, Endang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah masam. Dia tidak mau ambil resiko, seandainya dia justru yang dituduh telah menyembunyikan Bram.
Lamunan Endang buyar karena ada mobil yang berhenti tepat di depan pintu pagar rumahnya. Setelah melihat mobil tersebut, senyum Endang mengembang dengan sempurna.
Ctek
Endang menjentikkan jarinya dengan wajah berseri-seri. "Ini dia, uang datang!" Seru Endang dengan suara lirih.
"Selamat sore jeng Endang, apa kabar?"
Rian menyapa mertua Abiyasa dengan mengangguk sopan setelah keluar dari dalam mobil, disusul Elok yang juga ikut keluar.
"Eh, Pak Rian. Silahkan, Pak. Saya kabarnya baik. Bapak sendiri bagaimana?" Endang menjawab dengan senyum yang masih mengembang menghiasi wajahnya.
Endang tentu saja menyambut kedatangan Rian dengan senang hati.
Bagaimana tidak senang, karena biasanya jika ada Rian yang datang berkunjung ke rumahnya, pasti membawa oleh-oleh yang banyak. Dan sebelum pulang, Rian pasti akan memberikan uang yang cukup banyak juga untuk kebutuhan Abiyasa selama satu bulan ke depan.
Begitulah kebiasaannya setiap datang ke rumahnya ini. Setia bulan pasti ada uang yang bisa membuat Endang tersenyum senang.
Ya, mirip-mirip uang untuk ganti jasa merawat dan memberi makan Abiyasa. Sebab Abiyasa memang tidak bisa bekerja sehingga tidak menghasilkan uang, dengan keadaan Abiyasa yang idiot.
Abiyasa memang idiot. Begitulah kira-kira pemikiran orang-orang selama ini untuk sosok Abiyasa.
"Halo keponakanku... apakah kamu baik?" tanya Rian saat bertemu dengan Abiyasa, setelah mereka bertemu.
Tadi Endang memang langsung pergi memanggil Abiyasa untuk bertemu dengan pamannya.
Bukan tanpa sebab Rian bertanya demikian. Dia merasa aneh dengan Abiyasa yang menggunakan sarung tangan. Padahal biasanya tidak. Ia curiga bahwa keluarga mertuanya ini telah menyiksanya.
"Kenapa kamu pakai sarung tangan? Apa ada yang terluka?" Abiyasa tidak merespon pertanyaan pamannya dan hanya tersenyum-senyum sendiri, berperan seperti biasanya.
"Sayang, aku perhatikan kamu menggunakan sarung tangan, biasanya kamu tidak menggunakan sarung tangan. Apa yang terjadi?" tanya Rian lagi, membujuk Abiyasa.
"Ayo coba buka! Iya, sarung tangannya dibuka." Abiyasa diminta untuk melepas sarung tangannya.
"Ndak. Gak pa-pa..."
Abiyasa tidak ingin kekuatannya tiba-tiba datang sehingga dia merasakan pusing. Itulah sebabnya dia tidak mau membuka sarung tangan yang dia kenakan.
Rian tetap memaksa Abiyasa untuk membuka sarung tangannya. Dia tidak mau jika terjadi sesuatu pada keponakannya. "Lalu, kenapa kamu mengenakan sarung tangan? Coba paman periksa, ya. Paman merasa agak khawatir, mungkin kamu terluka atau menderita sesuatu."
Rian masih memaksa Abiyasa untuk melepaskan sarung tangannya. "Baiklah, tetapi aku ingin memastikan. Boleh, kan? Ayo, coba kamu buka sarung tanganmu dan menunjukkan tanganmu itu pada paman!"
Elok juga sangat mengkhawatirkan keadaan Abiyasa. Elok teman Abiyasa sejak SD hingga SMA dan selalu satu kelas. Jadi sedikit banyak dia tahu bagaimana kebiasaan Abiyasa, yang tidak pernah suka menggunakan sarung tangan meskipun sedang naik motor. Waktu itu, kata Abiyasa tangannya panas dan seperti tidak bisa bernafas karena tidak ada udara pada kulitnya.
Elok menaruh hati pada Abiyasa sejak kecil, dan sampai sekarang pun perasaannya tidak berubah, walau kondisi Abiyasa telah menjadi idiot. Perasaannya pada Abiyasa benar-benar tulus.
Elok sebenarnya bersedia menikahi Abiyasa. Akan tetapi, Abiyasa ternyata sudah menikah dengan Ajeng, ketika ia kembali dari Universitas Havard Amerika. Padahal, ia berencana mengajukan rencana pernikahannya dengan Abiyasa setelah lulus.
Hal inilah yang menyebabkan Elok merasa sedih dan kecewa.
"Mas Abi. Ayo, aku bantu buka sarung tangannya." Elok berusaha meraih tangan Abiyasa, membantunya membuka sarung tangan yang dikenakannya.
"Gak usah... aku gak pa-pa!"
Abiyasa berakting sebagaimana biasanya agar tidak ada yang curiga. Tapi Elok tetap memaksa membantu membuka sarung tangan tersebut. "Gak apa-apa, cuma di liat sebentar saja, kok." Elok membujuk.
Akhirnya Abiyasa menurut dan tidak menolak. Dia juga tidak memberontak, bahkan seperti sengaja menempel pada Elok dengan mencuri-curi pandang pada Ajeng.
Sepertinya Abiyasa sengaja melakukannya, karena ingin mengetahui bagaimana perasaan Ajeng jika dia dekat dengan perempuan lain.
Tapi saat tangan Elok memegang tangannya, Abiyasa juga bisa melihat bagaimana keadaan Elok yang sangat dekat dengan pamannya.
'Apalagi ini?' tanya Abiyasa dalam hati, dengan rasa penasaran yang tinggi.
Melihat kedekatan Elok, Ajeng merasa hatinya sakit. Ia belum menyadari bahwa dirinya mulai jatuh cinta dengan Abiyasa. Dan dia berusaha untuk bersikap biasa saja.
'Apa-apaan sih! Aku ini istrinya, dan ada di sini. Tapi kenapa dia tidak menghiraukan keberadaan ku? apa dia tidak tahu, jika aku ini istrinya mas Abi?'
Dalam hati Ajeng panas. Dia tidak suka ada perempuan lain yang memberikan perhatian lebih pada suaminya. Tapi dia malu memperlihatkan kecemburuannya, apalagi ada pamannya Abiyasa.
Pastinya paman Rian akan mengejeknya, karena pada saat mau dinikahkan dengan Abiyasa, Ajeng sempat menolak dan marah-marah.
"Tidak ada luka atau apapun, Pak Rian." Elok memberikan laporan pada Rian, setelah selesai memperhatikan tangan Abiyasa.
Rian tersenyum lega. "Baiklah, terima kasih, Elok. Saya hanya khawatir tentang keadaannya. Saya ingin memastikan semuanya baik-baik saja." Elok juga mengangguk setuju.
Setelah yakin tidak ada luka, Rian merasa lega. Rian hanya curiga saja, seandainya keluarga mertuanya Abiyasa tidak memperlakukannya dengan baik atau bahkan telah menyiksanya.
"Ajeng, Abi tidak rewel-rewel lagi?" tanya Rian pada menantunya.
"Tidak, Paman. Mas Abi sudah mulai terbiasa di rumah ini." Ajeng tersenyum cangung karena dia memang tidak suka basa-basi dengan paman suaminya itu.
Ajeng sebenarnya merasa canggung dengan keadaan Abiyasa yang sekarang ini. Keadaan yang sebenarnya sudah dia ketahui, meskipun baru dua hari kemarin. Karena selama pernikahan mereka memang tidak pernah ada komunikasi yang normal sebagaimana mestinya pasangan suami istri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Navis
psti nti mp abi dan ajeng seru x ya😀😀😀
2023-06-22
0
Rianoir⏳⃟⃝㉉
sikat Elok, Abiyasa. satu kurang, dua cukup, tiga oke, 4 mantap, 5 sempurna🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-04-08
0
Rianoir⏳⃟⃝㉉
tsnoak itu apa kak? kali ini aku bnran g bisa baca🤣🤣🤣
2023-04-08
0