"Kakak jahat! Maka dari itu, perusahaan ini akan aku ambil alih. Hahaha..."
"Ap_apa? Kamu... kamu tidak..."
"Ya. Aku akan ambil alih apa yang kakak kuasai sendiri selama ini! Untuk itu, kakak juga harus menerima akibatnya!"
Tangan Abiyasa mencengkeram kuat kerah baju Aji, membuat Aji merasa seperti sedang dalam keadaan di cekik. Dia tidak bisa bernafas dengan bebas, bahkan sulit untuk sekedar berbicara.
"Ka... kak, aku... Bi..."
Sayangnya Abiyasa terlihat sangat marah. Dia tidak peduli dengan keadaan kakaknya yang sudah tidak bisa bernafas dengan leluasa, bahkan jika dia sedikit lebih kuat dan menggunakan tenaganya, bisa dipastikan jika Aji akan berhenti bernafas.
"Aku akan melepaskan kakak, tapi dengan saru syarat!"
"Ap_pa syaratnya?" tanya Aji terbata-bata.
"Tanda tangani surat pelimpahan wewenang atas perusahaan itu atas namaku seorang!"
Mata Abiyasa menatap tajam tanpa berkedip. Intimidasi ini membuat Aji ketakutan setengah mati.
"A_bi... jang_an..."
"Aku tidak akan memaafkan, kakak!"
Bug
***
Brukkk
Kring kring kring
"Aduh... ihsss..."
"Hahhh... hahhh..."
Aji membuka matanya dengan mengusap-usap pantatnya yang terasa sakit. Pandangan matanya memeriksa keadaan yang ada di sekeliling ruangan.
Ternyata saat ini dia berada di dalam kamarnya sendiri, dan tidak ada seorangpun di dalam kamar ini. Tidak ada Abiyasa juga, yang tadi sudah menyerang dengan memiting kerah bajunya.
Tangan Aji memeriksa lehernya, kemudian segera berdiri untuk mengambil ponselnya kemudian memeriksa, siapa orang yang tadi menghubunginya sehingga membangunkan dirinya dari mimpi. Dia ingin berterima kasih karena sudah menyelamatkannya dari mimpi buruknya barusan.
Ternyata yang menghubunginya adalah sekertaris kantor, tapi karena dia tidak kunjung menerima panggilan tersebut akhirnya terputus dan hanya mengirimkan pesan yang mengabarkan bahwa dia ada pertemuan dengan Indra.
"Oh iya, aku lupa jika hari ini akan membahas kerjasama dengan pak Indra!"
Cepat Aji beranjak dari tempatnya duduk kemudian menuju ke kamar mandi. Dia tidak mau jika terlambat datang ke kantor dan membuat Indra kecewa.
Sayangnya Aji jadi merasa tidak tenang setelah mendapatkan mimpi yang tidak pernah diinginkannya tadi. Dia menjadi cemas, takut, marah, dan sedih. Dia mungkin merasa terganggu dan kesulitan melupakan semua yang terjadi di dalam mimpinya tadi, karena apa yang dirasakan terasa seperti benar-benar terjadi dan nyata.
Mimpi tersebut memicu stres dan kegelisahan Aji, karena rasa takut jika apa yang dia rasakan dalam mimpi akan menjadi kebenaran.
"Apa tadi akan benar-benar terjadi?" gumam Aji dengan pikirannya sendiri.
Berbagai macam pertanyaan yang berhubungan dengan Abiyasa serta mimpinya tadi, sudah merusak otak dan hatinya Aji. Membuatnya tidak bisa berkonsentrasi dengan semua kegiatan yang dilakukan hari ini.
Ada saja kesalahan yang dilakukannya, bahkan saat bertemu dengan Indra, Aji juga beberapa kali terlihat tidak fokus dan kedapatan melamun sendiri.
"Pak, pak Aji? Anda tidak apa-apa?" tanya Indra, saat melihat kakak dari Bos Besar-nya melamun.
"Eh, emhhh... tidak apa-apa. Maaf."
Aji hanya bisa meminta maaf karena tidak ingin Indra mengetahui tentang perasan dan isi kepalanya yang dipenuhi dengan rasa takut jika mimpinya semalam benar adanya.
Di saat Indra sedang memberikan penjelasan tentang persyaratan kerjasama mereka, Aji juga tidak mendengarkannya dengan jelas. Dia melamun dan sibuk sendiri dengan pikirannya, yang sedang memikirkan adiknya, yaitu Abiyasa.
"Saya rasa pertemuan kita kali ini cukup, dan pak Aji bisa mempelajari beberapa poin persyaratan yang saya ajukan ini. Saya akan memberikan waktu 3 hari untuk Anda pelajari, kemudian menandatangani persetujuan surat perjanjian tersebut seandainya tidak ada masalah yang perlu di bahas."
Indra yang sudah selesai dengan presentasinya, kemudian berbicara dengan Aji, justru mengerutkan keningnya heran melihat bagaimana keadaan Aji yang tidak biasanya seperti itu.
"Pak. Pak Aji!"
Sekretaris Aji berusaha untuk menyadarkan Aji dari alam agannya sendiri, karena Indra sudah ingin pamit untuk pergi. Tapi pada kenyataannya, Aji justru langsung bangkit dan menatap tajam ke semua orang dengan memperhatikan satu persatu dari mereka.
Setelah Aji melihat ke arah Indra, dia baru tersadar kemudian meminta maaf.
"Maaf. Maaf pak Indra."
Indra hanya mengangguk saja, kemudian segera pamit pulang. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Aji, yang seperti orang linglung.
'Dia kenapa seperti itu?' tanya Indra dalam hati, setelah menjabat tangan Aji kemudian keluar dari ruangan meeting yang ada di perusahaannya Aji.
Hari ini Indra memang sengaja datang sesuai dengan permintaan Aji pada saat makan siang waktu itu.
Setelah Indra pergi, Aji mengusap wajahnya dengan kasar. "Huhfff... apa ini? Kenapa aku jadi tidak bisa berkonsentrasi?" gumam Aji.
Akhirnya setelah berpikir lebih jauh lagi, Aji memutuskan untuk menghubungi seseorang, yaitu Yayan, seseorang yang dulunya pernah dia mintai tolong untuk menjadi eksekutor guna menabrak Abiyasa. Dia ingin memberikan tugas kepada Yayan untuk mulai mengawasi gerak-gerik Abiyasa dan juga Ajeng, istrinya Abiyasa.
Semua itu karena Aji gelisah dan berpikir bahwa mimpinya tadi adalah sebuah petunjuk, bukan sekedar mimpi biasa saja yang memberikan gambaran bahwa selama ini Abiyasa hanya pura-pura idiot saja. Bisa jadi, pada akhirnya nanti Abiyasa akan merebut perusahaan yang Aji miliki saat ini.
Perusahaan ini bukan milik Aji secara mutlak karena sebenarnya ini adalah perusahaan keluarga, yang seharusnya dikelola bersama dengan adiknya, Abiyasa. Tapi itu jika mereka berdua sudah sama-sama dewasa.
Sebenarnya pada awalnya Aji menganggap mimpinya itu hanya sebuah mimpi yang tidak ada artinya sama sekali. Namun, hatinya terus menerus gundah gulana. Itulah sebabnya dia ingin Yayan melakukan tugasnya untuk mengawasi Abiyasa.
Hal ini dilakukan Aji untuk berjaga-jaga, seandainya mimpinya itu memang benar adanya.
***
Di saat yang sama, Bram, pacarnya Endang, secara tidak sengaja melihat Abiyasa yang sedang mengobrol secara normal dengan Indra melalui telepon. Hal ini membuatnya menaruh curiga kalau Abiyasa hanya pura-pura idiot saja selama ini.
"Itu, itu Abiyasa sedang apa?" tanya Bram dengan bergumam.
Saat ini Bram berdiri dalam jarak aman dari tempat duduknya Abiyasa, sehingga dia tidak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan yang dilakukan oleh Abiyasa melalui panggilan telepon. Sedangkan Abiyasa juga tidak menyadari kehadirannya, sehingga menerima panggilan telpon dari indra tanpa menaruh curiga pada keadaan sekitarnya.
'Dia sedang berbicara dengan seseorang? Atau... dia hanya sedang bermain-main menirukan orang yang sedang menerima panggilan telepon?'
Bram menduga-duga sendiri dengan semua pertanyaan yang dia miliki untuk keadaan Abiyasa sekarang ini. Dia memperhatikan bagaimana gerak tubuh Abiyasa yang terlihat normal dan tidak seperti biasanya, dalam keadaan idiot.
'Jangan-jangan selama ini...'
'Tapi buat apa dia pura-pura?'
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Bram, tapi tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan dia sendiri juga tidak bisa, sehingga semakin kebingungan dengan tingkah laku dari menantu laki-laki pacarnya, yaitu Endang, mamanya Ajeng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Rini Musrini
waduh abiyasa kamu harus tetap waspada banyak musuh d sekitarmu .
2023-06-23
0
Navis
bahaya mengancam
2023-06-21
0
ZasNov
Aduh malah ketauan sama Bram..
Semoga Abiyasa sadar, kalau Bram sudah mengetahui kebenarannya..
2023-05-26
1