Pagi-pagi sekali, Prilya sudah bangun. Seperti kebiasaannya di rumahnya dulu, setelah sholat ia akan menuju ke dapur untuk memasak air dan bahan-bahan untuk sarapan.
Pakaian pelayan pun ia gunakan sesuai dengan petunjuk pria yang bernama Black. Rambutnya yang hitam dan panjang ia ikat tinggi-tinggi.
Gadis itu bersenandung kecil menuju ke dapur. Pagi ini ia merasakan hatinya sangat senang. Karena ini adalah untuk pertama kalinya ia merasakan tidur pulas dan berkualitas. Tak ada suara teriakan menyuruh ini dan itu sebelum ia tidur. Dan juga tentu saja karena ia tidur di dalam kamar dan ranjang yang nyaman.
Meskipun kamarnya berada pada jejeran kamar para pelayan lainnya tetapi rasanya seperti berada di sebuah hotel mewah menurut persepsinya. Kamar yang tidak begitu luas tapi memiliki fasilitas yang sangat bagus.
Jika dibandingkan dengan kamarnya dahulu, yang hanya dari sebuah gudang yang disulap menjadi kamar tidur untuknya maka kamar disini sudah sangat lebih dari cukup.
Langkah dan senandungnya terhenti di depan pintu dapur. Seorang perempuan paruh baya menatapnya dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
"Mau ngapain kamu?" tanya perempuan itu yang merasa terganggu dengan kedatangannya yang terlambat.
Perempuan yang bernama Anita itu sedang memberikan petunjuk pada semua pelayan pagi itu. Sebuah briefing untuk semua pelayan sebelum memulai pekerjaan di rumah besar itu.
Anita sudah tahu siapa gadis sederhana itu. Kemarin ia menyaksikan sendiri drama pernikahan paksa antara Tuannya dan gadis belia itu.
Prilya Sofyan adalah seorang istri atau Nyonya besar rasa pelayan. Akan tetapi Black tetap memberinya keistimewaan diantara semua pelayan lainnya. Ia hanya boleh mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan Samuel Richard.
"Mau ngapain disini?!" tanya Anita lagi karena wajah gadis manis dan sederhana itu tampak bingung. Ia sepertinya tidak tahu harus menjawab apa. Apalagi semua pelayan menatapnya dengan tatapan aneh.
"Mau masak air Nyonya!" jawab Prilya dengan senyum cerah diwajahnya. Nampak sekali kalau ia sudah siap bekerja.
"Masak air untuk apa?" tanya Bu Anita dengan wajah mengernyit bingung. Pasalnya di Rumah itu tidak pernah ada acara masak air.
"Untuk bikin teh atau kopi Nyonya." Prilya menjawab dengan sopan.
"Siapa yang menyuruhmu mengerjakan itu?"
Prilya nampak berpikir. Ia pikir, ia tidak perlu disuruh jika hanya untuk memasak air. Di rumahnya, Asna akan memukul dan membentaknya jika harus disuruh sebelum melakukan sesuatu.
"Ooh, harus ada perintah ya Nyonya? Maafkan saya. Kalau begitu saya harus melakukan apa?" Setelah memutar otak, gadis itu akhirnya meminta petunjuk.
"Pergilah ke kamar Tuan Richard. Kamu pasti punya tugas disana." Anita memerintahkan lewat sorot matanya agar gadis itu segera meninggalkan dapur.
"Ah iya, baiklah Nyonya. Saya akan kesana sekarang. Permisi." Prilya pun membungkukkan badannya sopan kemudian segera berbalik badan untuk pergi dari sana.
"Eh tunggu!"
"Iya Nyonya." Prilya berbalik lagi dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh perempuan paruh baya itu.
"Semua orang disini memanggilku Bu Ani. Jadi saya juga memintamu melakukan hal yang sama."
"Ah, iya Bu Ani. Makasih banyak." Prilya tersenyum lebar kemudian melanjutkan langkahnya mencari kamar pemilik rumah besar bagai istana ini.
Rupanya Bu Anita tidak sekejam Asna, ibu tirinya.
Dengan langkah ringan ia berkeliling di rumah besar itu. Akan tetapi sampai puluhan menit, ia jadi bingung sendiri karena belum menemukan kamar utama di rumah itu.
Malu bertanya sesat di jalan, begitu pikirnya. Ia meringis karena lelah. Matahari sudah terbit dan mulai menampakan sinarnya melalui jendela-jendela besar di dalam rumah itu dan ia belum melakukan satu pekerjaan yang berarti.
"Kamu masih disini?" Anita yang melihatnya berdiri dengan bengong di pangkal tangga langsung datang menegurnya.
"Ah iya Bu. Saya tidak tahu dimana kamar Tuan Richard." Gadis itu meringis. Ia melipat tangannya di depan wajahnya untuk meminta maaf.
Anita tersenyum maklum. Untuk orang baru seperti Prilya, ia yakin pasti tidak bisa menemukan kamar pribadi pemilik rumah ini. Karena tidak semua orang bisa kesana. Hanya Black, dirinya, dan satu orang kepercayaan yang bertugas untuk membersihkan.
"Ikuti saya. Akan saya antarkan kamu ke kamar Tuan." Anita melangkahkan kakinya menapaki anak tangga menuju ke lantai dua di rumah itu. Prilya pun mengikuti langkah perempuan itu.
Setelah mereka sampai, Anita meminta gadis itu masuk ke dalam karena ia masih banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakannya.
"Bu Ani, saya takut." Prilya tiba-tiba merasakan perutnya mulas karena tegang.
"Masuk saja. Tidak apa-apa. Kamu harus berani mulai sekarang atau saya dan Tuan Black akan mendapatkan teguran."
"Ah iya, Bu. Tapi apa yang harus saya kerjakan?" tanya Prilya lagi saat kakinya sudah akan ia langkahkan ke dalam kamar itu.
"Kerjakan apa saja yang diperintahkan oleh Tuan Richard." Anita berucap seraya mendorong tubuh Prilya dengan pelan ke dalam kamar utama di rumah itu. Perempuan paruh baya itu tidak ingin berlama-lama berada di sana. Ia juga takut kalau Tuan Richard marah. Pria itu sangat disiplin dan tidak suka kalau ada yang tidak bekerja diwaktu-waktu sibuk seperti itu.
Prilya akhirnya masuk juga. Matanya memandang sekeliling ruangan kamar yang beraura maskulin itu. Ia bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kamar itu sangat bersih dan rapih. Keadaan ranjang pun menunjukkan keadaan yang sama. Ia pun mencari-cari sampah atau apa saja yang mungkin keluar dari tempatnya agar ia mendapatkan pekerjaan.
Selembar kertas ia lihat tidak berada pada tempatnya. Ia pun berjongkok dan meraih kertas itu untuk ia simpan di atas meja kembali.
"Heh, apa yang kamu lakukan di sini?" Prilya tersentak kaget. Kepalanya langsung terantuk di ujung meja karena tidak hati-hati.
"Awwwwww, ish!" Prilya meringis. Dahinya langsung memerah dan tampak benjol seketika.
"Kamu dengar tidak? Apa yang kamu lakukan disini hah?!" Kembali Samuel Richard bertanya dengan tatapan tajam. Sungguh ia sangat tidak suka kalau ada orang lain yang memasuki kamarnya.
"Sa-ya, saya hanya ingin bekerja Tuan." Prilya menjawab dengan wajah menunduk. Tangannya mengelus dahinya yang masih sangat sakit dan terasa benjol.
"Kerja apa?! Kalau bicara jangan menunduk! Saya tidak suka!" Samuel Richard menatap gadis itu dari bawah sampai keatas. Penampilan Prilya sebagai pelayan saat ini begitu menarik perhatian pria itu.
"Kerja apa saja Tuan supaya tidak sia-sia saya dibawa ke tempat ini." Prilya mengangkat wajahnya sedikit.
"Ooh, sok mau kerja kamu ya, bagus." Samuel Richard mengangkat ujung bibirnya. Ia memandang dahi gadis itu yang tampak merah dan benjol.
"Pergi kesana sekarang juga!" titahnya pada gadis itu seraya menunjuk ke arah kaca besar yang ada di sekitar deretan lemari pakaiannya.
"Ah iya Tuan," balas gadis itu dengan cepat. Ia segera melangkahkan kakinya ke arah yang ditunjukan oleh pemilik kamar itu.
"Lihat kaca itu, dan pikirkan apa yang harus kamu kerjakan!" Samuel Richard meninggalkan kamar itu dan segera keluar untuk sarapan pagi.
Prilya bingung. Ia hanya menatap wajahnya di dalam kaca itu dengan tangan menyentuh dahi benjolnya.
"Awww, ini sakit juga."
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak agar othor semangat updatenya okey?
Nikmati alurnya dan happy reading ya gaess 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Normah Basir
prilya, jadilah istri,mengurus suami dgn baik
2024-07-25
1
Atik Marwati
semoga tuan Sam orang baik ..
2023-04-14
1
Susilawati Rela
ngompres jidat benjol atuh kerjaannya biar kempes ga benjol lagi...🤭🤭🤭
2023-03-07
2