OBSESI SANG VAMPIR

OBSESI SANG VAMPIR

Masa kecil Jean

Di siang hari yang hangat, seorang gadis kecil berusia enam tahun terduduk di sebuah kursi umum di pinggir jalan, dia disuapi kue favoritnya yang sangat jarang ia dapatkan. Gadis itu menggunakan pakaian favoritnya yang jarang ia gunakan. Di kepalanya terdapat bando yang selama ini ia idamkan. Di antara kebahagiaan yang terlihat, wajahnya membisu tanpa ekspresi, dia termenung seolah berusaha menikmati momen suapan dari sang paman yang duduk di sampingnya.

“Jean, ini dia suapan terakhir”, ucap sang paman kepada anak kecil itu.

Pandangan kosong Jean kini teralih menatap pamannya, pipinya yang bulat naik turun mengunyah kue perlahan. Di matanya dia melihat sang paman yang tersenyum canggung, mengingatkan Jean ke satu tahun lalu saat sang paman menangis sesenggukan di pemakaman kedua orang tua Jean yang mengalami kecelakaan. Saat itu sang paman memeluk erat Jean sambil mengatakan bahwa sejak saat itu, yang dimiliki Jean hanya tinggal dia, pamannya. Senyuman paman hari ini dan tangisannya saat itu, sama-sama mengandung kesedihan dan kekhawatiran. Namun yang membedakan hari ini, adalah penyesalan.

“Paman, Jean benar-benar berterimakasih atas semuanya hingga saat ini”, ucap Jean setelah menelan kue di mulutnya. Pandangan mata Jean yang di penuhi pemikiran yang seharusnya belum cocok untuk di pikirkan seorang gadis berusia 6 tahun.

“Apa maksudmu..”, paman Jean menimpali ucapan keponakannya dengan gumaman yang mengambang.

“Ah, Jean kamu belum minum. Tunggu sebentar disini, paman pergi membeli minum sebentar”, ucap pamannya yang bangkit dari duduknya sambil mengusap kepala Jean.

Jean menatap pamannya yang berlalu memunggunginya dengan seksama, dia melihat punggung pamannya yang perlahan menjauh. Pemandangan itu membawa kenangan di saat berkali-kali punggung pamannya itu hanya bisa terdiam beku saat istrinya mencaci maki paman karena alasan ekonomi. Punggung yang berlalu itu mengingatkan Jean akan punggung pamannya yang hanya bisa menurunkan bahu tegaknya saat sang anak kandung mengeluh sambil menangis karena selalu harus berbagi dengan Jean ditengah keterbatasan.

Sejak awal tak ada Jean di keluarga itu, ketika kini dia harus menghilang, maka itu bukan masalah. Jean merasa sangat berterimakasih atas segalanya satu tahun terakhir ini kepada pamannya. itu yang Jean pikirkan. Sebelum akhirnya punggung sang paman lenyap menghilang, rasa takut menguat seiring menghilangnya cahaya. Jean hanya terus sesenggukan menahan tangis, tetap duduk di tempat itu berharap sang paman kembali.

Dua hari berlalu, selama itu orang-orang hanya bertanya mengenai keberadaan orang tua jean dan kemudian berlalu begitu saja. Siang itu Jean berdiri berjalan mendekati tong sampah dengan tubuh yang gemetar kelaparan. Jean dengan semangat mencari kantung bekas makanan yang dia lihat dibuang oleh seorang pejalan kaki. Sesuatu yang bukan tulang, plastik ataupun kertas, sesuatu yang bisa dia kunyah, remahan adonan kering yang tersisa di sana.

Bando yang masih menempel di kepala Jean kecil tak lagi terlihat baru, rambut kusut yang dihinggapi lalat, baju kesayangannya yang kumal di penuhi debu, tubuh kecil yang bergetar berjalan kembali ke bangku jalan umum, dua orang wanita muda terlihat melihat Jean dari jauh sembari membicarakan sesuatu seperti dinas social.

Siang yang cerah berganti senja, cahaya kuning kemerahan menyala di sepanjang jalan. Seorang wanita paruh baya menepuk-nepuk punggung kecil Jean.

“Nak.., Nak bangun. Dimana orang tuamu?”, Jean yang tak lagi memiliki tenaga hanya terdiam, merespon dengan pandangan sayu yang kesulitan membuka mata. Wanita paruh baya berseragam itu membopong Jean dan membawanya kedalam sebuah mobil.

Entah bagaimana perjalanan panjang malam itu, Jean kini terduduk di kursi ruang administrasi sebuah panti.

“Dia hanya menggelengkan kepala saat ditanya mengenai keluarganya, dan tak ada petunjuk untuk di selidiki karena daerah tersebut tak memiliki CCTV satupun..”, di tengah perbincangan wanita berseragam dengan pengurus panti, Jean hanya fokus pada roti yang ada di tangannya, dia melahap roti berukuran besar dengan rakus. Air Matanya sedikit mengalir, baru kali ini dia merasakan roti tawar sangat enak melebihi kue favoritnya yang ia makan 3 hari lalu.

Tangan wanita berseragam mengusap rambut Jean yang masih basah sesudah di mandikan perlahan, itu adalah salam perpisahan yang taka sing untuk Jean, tapi setidaknya kini Jean di tinggalkan di sebuah panti yang hangat dengan banyak teman.

Dua minggu berlalu, kini Jean mulai akrab dengan teman pantinya, terutama Clara dan Beny karena mereka memiliki umur yang relative mirip. Hari itu mereka bertiga duduk bersebelahan di lorong depan ruang kesehatan panti. Hari itu Panti melakukan pengecekan kesehatan yang rutin dilakukan setiap bulan, dan hari itu merupakan yang pertama bagi Jean.

“Hihk, haaa,,sakit ini sakii..it”, pintu ruang pemeriksaan terbuka disusul keluarnya seorang anak 5 tahun yang menangis sambil di gendong seorang pengurus panti.

“Tenanglah, jangan menangis, ayo kita beli ice cream kesukaanmu, oke”, hibur pengurus panti yang menggendong anak tersebut sambil berlalu.

“Itu tidak sakit sama sekali, Leo menangis hanya agar para pengurus membelikannya ice cream”, tegas Clara sambil memegang tangan Jean yang gugup.

“Beny dan Clara ayo masuk”, ucap pengurus lain yang berdiri di ambang pintu ruang kesehatan.

“Jangan menangis! , ayo bertaruh jatah puding besok”, ucap Clara sambil berlalu meninggalkan Jean di kursi tunggu.

20 menit kemudian pintu ruang kesehatan terbuka, Clara keluar dengan mata sembab dan bibir yang gemetar menahan tangis.

“I..ini tidak sakit, hanya sedikit menakutkan”, celoteh Clara sembari keluar dari ruangan.

“Ayo Jean dan roni masuk”, ucap petugas sambil cengengesan setelah melihat tingkah Clara.

Jean masuk dan disuruh duduk bersandar di kasur pemeriksaan, seorang anak lain duduk di kasur lain yang terhalang tirai. Jean menahan nafasnya saat sebuah jarum menusuk tangannya yang terikat sesuatu seperti sabuk, darah mengalir mengisi kantung medis. Sedangkan Jean menutup matanya dan hanya fokus agar tidak kehilangan jatah pudingnya besok. Di ruangan itu seorang dokter membimbing dua perawat lain yang melakukan tugas dengan cukup sibuk.

“Makanlah sayuran lebih banyak oke, jangan lupa minum vitamin yang selalu diberikan pengurus panti”, ucap dokter kepada Jean setelah melepaskan jarum dari tangan kecilnya.

Jean berjalan keluar dari ruang pemeriksaan tanpa peduli pada kantung darah yang dipenuhi darah miliknya dimasukan ke peti dingin berisi tumpukan darah teman-temannya. Yang dipikirkan Jean hanya bahwa jatah pudingnya besok selamat.

Tiga bulan berlalu, taman di belakang panti di penuhi riang tawa anak-anak.

“Aku akan mulai menghitung!, 1..!,2…!,3..!”, teriak seorang anak laki-laki yang menutup matanya sembari menghadap tembok. Di sekelilingnya, anak-anak berlarian mencari tempat bersembunyi.

Jean berlari cukup jauh dari temannya itu, dia melihat kearah kolong lorong terbuka penghubung dua asrama di panti. Jean yang merasa bahwa kolong itu adalah tempat yang sangat bagus untuk sembunyi, dan kemudian segera bersembunyi di sana tanpa pikir panjang.

Jean yang bersembunyi di kolong lorong terdiam dalam sunyi, namun tiba-tiba kaki seorang anak laki-laki mendarat di sana, tepat di depan pandangan Jean. Jean yang kaget mengira itu adalah anak yang sedang mencari anak-anak yang bersembunyi reflek menutup mulutnya berusaha tetap tenang. Namun Jean menyadari, pakaian yang di kenakan anak laki-laki tersebut bukanlah seragam panti, tapi baju yang terlihat sangat bagus dan bersih.

“Ketemu!”, ucap anak laki-laki itu sembari memiringkan tubuh bagian atasnya untuk melihat Jean. wajah putih pucat dan mata merahnya terlalu mencolok untuk tidak di ingat Jean. Anak laki-laki berambut hitam itu tersenyum kepada Jean.

“Enveer!, kamu dimana?, ayo cepat kita harus pulang sekarang!”, mata anak laki-laki itu memutar mengarah kearah suara berasal, lalu kembali menatap Jean yang kebingungan.

“Aku suka wangi mu”, ucap anak laki-laki itu yang kemudian berdiri tegak.

“Wa.. wangi?”, Jean bergumam bertanya-tanya.

“Wangi mu persis seperti wangi camilan favoritku”, pungkas anak laki-laki tampan itu sambil melompat menaiki lorong terbuka tempatnya melompat sebelumnya.

Jean yang merasa tak mengerti apa maksud anak laki-laki  itu hanya kemudian menghiraukannya tanpa peduli sedikitpun.

Terpopuler

Comments

Mayrima Najma

Mayrima Najma

Hallo kk singgah dan memberimu semangat..alur cerita yang menarik. Pengenalan Tokoh utama Jean yang penuh misteri. Jangan lupa Follow juga kk dan singgah di Novel Perdana kk ya

2023-03-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!