Rani terduduk di bangkunya sembari memperhatikan guru yang mengajar, namun tak seperti hari yang lain, hari itu Rani tak bisa fokus pada pelajaran. Kepalanya refleks menengok beberapa kali, ke meja Jean dan Lisa yang kosong. Lisa tak ada di kelas adalah hal biasa, tapi tak adanya Jean membuat Rani bertanya-tanya.
Padahal pagi tadi Rani jelas melihat Jean datang ke sekolah, kemana anak itu pergi?. Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat berkali-kali di dalam pikirannya.
Hingga jam istirahat tiba, Lisa masuk ke kelas dengan pakaiannya yang penuh keringat. Lisa menyimpan tas yang ia bawa ke kursi, perlahan sambil matanya melihat kearah kursi Jean.
“Lisa, kamu tahu Jean kemana?”, tanya Rani yang menghampiri Lisa. Lisa terdiam sesaat.
“Padahal tadi pagi aku melihatnya berjalan kearah bangunan kelas tiga”, gumam Rani sembari menggaruk pelan keningnya.
Lisa yang mendengar hal itu menatap Rani.
“Tadi pagi aku bertemu dengan Jean di depan kelas Clarisa, Jean mencari kak Enver”. Jelas Lisa yang sama-sama ragu.
Kedua teman Jean itu tenggelam dalam hening, menimbang-nimbang apakah mereka harus mencari Jean atau tak perlu. Rasa khawatir menggelitik mereka berdua, walau tertahan terkaan mungkin Jean sedang ada urusan.
Saat Rani dan Lisa melamun hening melihat kearah kursi Jean, tiba-tiba jean datang dan duduk di kursinya. Bagian belakan pakaian Jean yang terlihat agak berdebu terlihat sekelebat oleh Lisa. Sedangkan Rani menyadari area pundak dan kerah baju Jean basah serta kusut seperti habis di gosok.
“Kau dari mana?, kau baik baik saja?”, pertanyaan itu keluar sangat cepat dari kedua teman Jean itu.
“Oh.. e.. itu. Aku tadi ada urusan”, jelas Jean.
“Aku lapar, ayo makan”, ajak Jean sambil beranjak berjalan keluar kelas.
“Kenapa pakaianmu terlihat berantakan, kau juga terlihat kelelahan”, tanya Lisa setelah mereka bertiga duduk di meja kantin.
“Bukan apa-apa, aku terpeleset dan ya begitu lah”, jawaban Jean membuat Lisa dan Rani menyadari, bahwa Jean tak berniat memberi tahu mereka tentang urusannya tadi.
Dari jauh terlihat Clarisa yang berjalan membawa nampan makanannya, menghampiri tiga sekawan itu.
“Jean, jadi apa yang mau kamu katakana pagi tadi?”, tanya Clarisa tanpa babibu setelah duduk di samping Rani yang berhadapan dengan Jean.
“Ah, maaf tidak jadi kak, aku sudah menyelesaikannya”. Jawab Jean sambit tersenyum.
“O..oh begitu?”, respon Clarisa ragu.
Trak!!. Suara sendok yang beradu dengan piring cukup keras.
“Jean, apa kamu.. dibully atau semacamnya?”, tanya Lisa lumayan tegas.
“Hah?, kenapa ?, tiba-tiba?”, respon Jean bingung.
“Kamu sudah bertemu dengan Enver hari ini?”, lanjut pertanyaan Lisa, tepat mengenai hal yang tak ingin dibahas oleh Jean.
“Ah iya, Ada yang perlu kami diskusikan. Jadi kami berbicara beberapa saat”. Jelas Jean memberikan alasan, sebelum ditanya lebih jauh oleh teman-temannya.
“Kak Enver itu, orang yang seperti apa kak?”, tanya Rani kepada Clarisa, memecah keheningan.
“Aku tak begitu tau”, jawab Clarisa cepat.
“Sejujurnya kami semua, yang sekelas dengan Enver. Belum terlalu kenal dengannya”. Lanjut penjelasan dari Clarisa membuat Rani, Lisa termasuk Jean mendengarkan dengan seksama, sambil mengunyah makanan mereka.
“Itu karena dia datang hanya di hari ujian. Para guru yang ada perlu dengannya pun hanya menitip pesan ke Bram, karena yang punya nomornya hanya Bram saja”. Jelas Clarisa setelah terburu-buru menelan makanan di mulutnya.
“Bukankah harusnya bertanya tentang Enver kepada Jean, sepertinya kamu dan Enver cukup dekat”. Lanjut Clarisa membuat Lisa dan Rani melirik kearah Jean.
“Ah, itu. Aku juga tak begitu tau, Urusanku dengannya tidak bersifat pribadi. Jadi aku tidak tau apapun tentangnya” Jawab Jean.
“Memangnya apa yang kalian bicarakan ?”, tanya Rani dengan cepat.
“Oh.. e, itu mengenai panti. Kak Enver sepertinya memiliki beberapa hubungan dengan panti”. Jawab Jean yang terlihat lega karena menemukan jawaban yang pas.
“Ooohh, pantas saja dia mencari waktu itu”, ucap Rani yang terlihat lega, setelah mendapatkan jawaban yang masuk akan dari Jean.
“Lalu kau terpeleset dimana?”, Tanya Lisa yang terlihat sama leganya dengan Rani.
“Oh, i.. ini. Aku berlari ke kelas saat jam pelajaran kedua, kukira akan sempat. Tapi malah terjatuh”. Jawab Jean yang merasa sedikit kaget, karena ternyata dirinya sangat jago berbohong.
Berbanding dengan Lisa dan Rani yang merasa lega atas jawaban Jean, Clarisa hanya terdiam menatap Jean. Dia bertanya-tanya, kenapa Enver harus mengawasi Jean melalui Bram sampai segitunya, jika itu hanya urusan panti?. pikir Clarisa yang mengetahui hal, yang tidak di ketahui Rani dan Lisa.
“Kenapa dia, kak Enver maksudnya, bertingkah sok misterius seperti itu?”, tanya Lisa sambil sesekali mengunyah makanan di mulutnya.
“Tapi kalian tahu?, sesuatu tentang rumor mengenai Enver yang beredar”. Pertanyaan Clarisa membuat 3 pasang mata di sekitarnya menatapnya tajam.
“Di Angkatan ku, sejak kelas satu sudah beredar berbagai macam rumor tentang Enver”, ucap Clarisa memulai gosipnya.
“Saat kelas satu pernah beredar rumor bahwa Enver itu, sebenarnya seorang mata-mata dari instansi militer luar. Itu karena Wajahnya yang tak begitu local, berbeda dengan kita.” Jelas Clarisa seru.
“Apa mungkin, hal seperti itu?”, tanya Lisa tak yakin. Sedangkan wajah Jean mulai tak tertarik, karena dia merasa itu tak mungkin.
“Tapi itu bisa saja bukan?, aku merasa tubuhnya seperti seseorang yang terlatih di bidang kemiliteran”. Opini Rani membuat Lisa menatap Rani sambil memikirkan kemungkinan itu.
“Tapi hal itu ternyata rumor palsu. Karena saat kelas satu semester akhir, kami mengetahui keluarganya jelas ada dan cukup di kenal di kalangan atas” sambung Clarisa sambil cengengesan, setelah melihat Rani dan Lisa seperti hampir mempercayai rumor pertama.
“Ishh, jangan mengatakan rumor palsunya, katakana saja rumor-rumor yang masuk akal”, protes Rani kecewa.
“Justru, karena rumor itu, satu sekolah jadi tahu, bahwa ternyata Enver itu pemilik sekolah ini.” Jelas Clarisa, setelah dia menyingkirkan piringnya kesamping, dan fokus bercerita.
“Keluarga pemilik sekolah maksudnya?”, pertanyaan Rani yang bermaksud meluruskan perkataan Clarisa sebelumnya.
“No, no. Sekolah ini memang terdaftar kepemilikannya atas nama Enver”, ucap Clarisa tersenyum.
“Begini biar ku jelaskan deretan rumor ini dari awal sampai akhir”, ucap Clarisa membuat empat siswi itu saling mendekatkan kepalanya, bersiap mendengarkan cerita Clarisa.
“Saat Rumor yang mengatakan Enver itu seorang mata-mata menyebar, seorang siswa dari kelas B yang ternyata seorang wibu, sangat tertarik untuk menjadi detektif dadakan”, ucap Clarisa memulai ceritanya.
“Lalu siswa wibu yang agak gila itu menguntit Enver sepulang sekolah, dihari ujian akhir. Dia melihat Enver masuk ke sebuah mobil yang di kendarai seorang supir. Kemudian anak itu mengikuti mobil enver dengan mobil miliknya yang memang sudah dia siapkan. Namun di tengah perjalanan, mobil milik anak itu di hentikan beberapa orang lelaki yang memakai pakaian jas hitam. Anak itu diminta untuk tidak masuk ke area tersebut, karena menurut mereka, area tersebut adalah area pribadi milik sebuah keluarga”. Jelas Clarisa yang mendapati teman-temannya yang masih fokus mendengarkan.
“Setelah itu anak tersebut mencari tahu mengenai area tersebut melalui informan, dan mendapatkan fakta kalau memang satu kawasan sebesar satu kecamatan itu merupakan property pribadi milik keluarga Valera. Namun usaha anak itu hanya terhenti sampai situ, karena ternyata data mengenai keluarga Valera, hanya sebatas bahwa keluarga itu adalah keluarga kaya raya.” Cerita Clarisa.
“Lalu anak itu menceritakan semua itu kepada teman satu kelas, di kelas 1B. dan seorang anak dari kelas itu mengatakan dia tahu beberapa hal mengenai keluarga Valera. Itu karena bisnis keluarga miliknya adalah salah satu cabang milik Valera. Anak itu mengatakan keluarganya sering mendatangi rapat atau perayaan khusus di Valera pusat. Yang dia tahu keluarga Valera hanya memiliki 5 orang keluarga inti. Yaitu sepasang suami istri, satu orang nenek dan 3 orang anak. Dan dari situlah rumor yang mengatakan Enver adalah seorang mata-mata, terbantah. Karena anak itu menjamin, kalau keluarga Valera itu jelas keluarga pebisnis”.
“Gossip itu kemudian menyebar ke semua kelas, bahkan ke kelas kakak tingkat. Dan keluarga Bram ternyata merupakan salah satu eksekutif yang di percayai Valera. Bram jarang menjawab pertanyaan mengenai Enver, dia hanya menjelaskan satu hal untuk meluruskan rumor-rumor mengenai Enver dan keluarga Valera, yang setiap harinya makin aneh. Bram menjelaskan bahwa Enver adalah anak bungsu keluarga Valera, dan memang tradisi keluarga tersebut untuk membuat anak mereka belajar bisnis keluarga sejak kecil. Jadi sebenarnya dua anak Valera sebelumnya tidak menempuh pendidikan formal”, jelas Clarisa panjang lebar.
“lalu kenapa Enver sekolah?”, tanya Lisa sambil melihat kearah Clarisa yang menyeruput minumannya.
“Itu karena Enver membutuhkan ijazah untuk suatu hal, jadi dia mengejar paket untuk tingkat dasar dan menengah, kemudian memutuskan untuk mengambil alih sekolah ini, sebelum kemudian menjadi siswa disini. Tujuannya agar dia bisa bebas tak perlu mengikuti pembelajaran, dan hanya mengikuti ujian”, jawab Clarisa.
“Kalau memang Enver mengambil alih sekolah swasta ini, kenapa para guru harus menghubungi kak Enver melalui kak Bram?”,tanya Rani penasaran.
“Karena memang Enver mempercayakan kepengurusan sekolah ini ke keluarga Bram. Bram bilang, keluarga Valera termasuk Enver, kurang suka berkomunikasi dengan orang lain, mereka hanya akan berkomunikasi dengan orang-orang kepercayaan mereka”. Pungkas Clarisa mengakhiri ceritanya.
“Waah, berarti dia kalangan teratas dan paling atas di antar semua siswa sekolah ini?. Aku kira kak Bram adalah Orang paling kaya yang pernah aku lihat”, celoteh Lisa sembari bersandar ke kursinya.
“Aku tak tau, kalau ada keluarga seperti itu di sekitarku”, sambung Rani.
Jean hanya terdiam sambil mengusap lehernya.
“heii anak-anak, Bel sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu, kenapa kalian masih disini?!” teriakan seorang staf kantin membuat mereka berempat kaget. Mereka berlari membereskan meja dan menyimpan nampan ke tempatnya dengan terburu-buru. Mereka tak menyadari kalau ternyata sudah tak ada siapapun di kantin kecuali staf kantin itu sendiri.
“Kenapa aku tidak mendengar belnya berbunyi?”, teriak Rani yang berlari paling cepat keluar kantin mengalahkan dua atlit yang bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments