Ingatan Buram Yang Mendadak Jelas

Hari itu hari pertama sekolah sejak pesta perayaan, Jean yang baru datang ke kelasnya mendapati Lisa dan Rani berada di mejanya.

“Tumben pagi-pagi ada di kelas?”, tanya Jean ke Lisa yang biasanya mengikuti sesi latihan pagi sebagai ganti pelajaran pertama.

“Kau baik-baik saja?, kau tahu, kita khawatir karena tak ada yang bisa di hubungi sejak kita mengantarmu pulang ke panti”, ucap Lisa yang terlihat lega melihat wajah Jean yang sudah bisa tersenyum.

“Iya, sudah kubilang pakai saja handphone milikku yang tak terpakai, agar kita bisa berkomunikasi dengan nyaman”. Timpal Rani beberapa saat sesudah menghela nafasnya.

“Kalian kan bisa menghubungi nomor panti”, pungkas Jean menanggapi keluhan teman-temannya.

“Itu tak terpikirkan”, ucap rani yang kemudian turun dari meja Jean.

“Kamu kenapa?, asam lambung kah?”, tanya Lisa.

“Tak tau, sepertinya aku melihat penampakan?”, jelas Jean.

“Hah?, eish yang benar saja”, timpal Lisa yang tak percaya.

“Gimana, gimana?”, tanya Rani yang selalu semangat membahas sesuatu.

“Rani cepat duduk ke bangkumu, sudah waktunya belajar!”, ucap guru yang ternyata sudah duduk di meja guru tanpa disadari Rani,Lisa dan Jean.

“Lisa tidak latihan pagi?”, tanya guru itu berbarengan dengan Rani yang berlari ke tempat duduknya.

“Libur seminggu pak”, jelas Lisa.

Pembelajaran berjalan intens seperti biasa, hingga jam istirahat tiba. Jean, Rani dan Lisa duduk berbarengan di meja favorit mereka. Jean duduk berhadapan dengan Lisa yang di sampingnya ada Rani.

“Jean cepat sambung cerita mu pagi ini”, pinta Rani yang terlihat menantikannya.

“Oh itu, saat itu aku di ganggu kakak kelas yang mabuk, di depan pintu toilet. Jadi aku memutuskan untuk meninggalkan Lisa yang masih di toilet dan pergi kemeja”, jelas Jean.

“Di ganggu kakak kelas yang mabuk?, siapa itu?”, tanya Lisa yang kaget.

“Diam dan dengarkan sampai akhir terlebih dahulu”, pinta Rani sambil memukul pelan tangan Lisa, yang di respon ekspresi kecut oleh Lisa.

“Lalu, saat di lorong menuju ke ruang pesta aku tak begitu ingat, yang ku ingat lorong terasa remang agak gelap, dan sesosok entah apa itu mendekatiku, aku ingat dia mengatakan sesuatu, tapi aku tak ingat dia mengatakan apa. Tubuhku terasa sangat berat saat itu, sosok itu pergi menjauh sebelum Lisa menepuk ku dan membuatku tersadar”. Jelas Jean panjang lebar.

Lisa dan Rani terdiam menatap Jean sejenak.

“Jean apa kamu seorang indigo?”, tanya Rani asal.

“Bukan, baru kali ini aku seperti ini. Tapi aku merasa seperti melupakan sesuatu, tapi entah apa itu”, jelas Jean yang agak bingung dengan ingatannya sendiri.

“Kamu harus banyak makan sayuran hijau, kamu sepertinya anemia”, ucap Lisa sembari memindahkan brokoli dari piring miliknya ke piring Jean.

“Ide yang sangat bagus Lisa”, ucap Rani yang ikut-ikutan memberikan brokoli miliknya kepada Jean.

“Hey kalian ini pintar saja mencari alasan ya!”, Jean yang kesal karena dia tahu dua temannya itu tak suka brokoli, hanya bisa pasrah.

“Jean, kamu Jean kan?”, tanya seorang lelaki yang berdiri di samping meja tiga sejoli itu.

Jean menengok kearah lelaki itu dan ternyata orang itu adalah orang mabuk yang mengganggu Jean di malam pesta.

“O..oh iya”, Jean menjawab dengan ragu sambil menganggukkan kepalanya canggung.

“Ah itu, aku dengar aku mengganggumu di malam pesta, aku benar-benar menyesal. Maafkan aku”, ucap lelaki itu sambil mengusap-usap siku kiri menggunakan tangan kanannya.

“A, ah, tak apa. Sepertinya kakak sulit berdiri malam itu, dan teman kakak juga langsung membantuku, jadi tak apa”, ucap Jean dengan canggung.

“Ini sebagai permintaan maafku, tolong di terima. Sampai nanti!”, kakak kelas itu pergi setengah berlari sambil meninggalkan susu coklat kemasan di meja Jean.

“Ow.., apa itu?”, ucap Rani yang tak bisa berkata-kata atas situasi kikuk yang baru saja terjadi di hadapannya.

“Oh jadi dia yang mengganggumu di depan toilet?”, cibir Lisa yang menatap tajam kearah kakak kelas itu pergi.

“Tak  apa Jean, pemaaf adalah sifat yang terpuji. Apalagi memaafkan orang tampan sepertinya”. Tatapan cuci mata Rani mengikuti punggung kakak kelas itu.

“Bukankah dia itu anggota basket ya?, tinggi badannya benar-benar indah”, tanya Rani sambil kembali melihat kearah Lisa.

“Iya, namanya..”, “Brian?”, ucapan Lisa terpotong oleh ucapan Jean.

Rani dan lisa melihat kearah Jean dengan pandangan seolah bertanya bagaimana Jean bisa tahu.

Jean kemudian menunjukan susu coklat pemberian Brian, yang ternyata terdapat secarik kertas bertuliskan nomor hp dan nama Brian yang menempel di bawah kemasan susu.

“Ooowwww!!”, Lisa dan Rani serentak merespon sambil menutup mulut mereka yang membulat.

“Dasar kepiting!”, ucap Lisa sambil tertawa ringan.

“Buaya kali..!”, timpal Rani yang kemudian melahap suapan pertamanya.

Hari itu di panti, Jean duduk mengantri di lorong ruang kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan bulanan.

Saat gilirannya tiba, Jean yang kini sudah terbiasa langsung duduk bersandar di kasur pasien tanpa diminta. Dokter mulai mengecek nadi dan kemudian tensi darah setelah sebelumnya memeriksa berat badan.

Hingga tiba rutinitas terakhir yang biasanya di lakukan yaitu pengambilan sekantung darah. Dokter mulai melingkarkan sabuk pengekang di lengan atas Jean, dan kemudian menusuk area di balik siku Jean dengan jarum yang terhubung ke kantung darah melalui selang yang agak panjang.

Jean merasakan darahnya mengalir keluar, aliran darahnya membawa perasaan aneh yang biasanya tak pernah dia rasakan saat pengambilan darah. Hingga Jean tiba-tiba bertanya-tanya kenapa darah anak-anak panti harus di ambil setiap bulan dengan jumlah yang cukup banyak untuk pemeriksaan?, Jean sedikit memiringkan kepalanya karena pikiran-pikiran yang biasanya tak pernah dia pikirkan datang memenuhi kepalanya.

“Kenapa?, ada yang tak nyaman?”, tanya perawat yang melihat gelagat Jean.

“Ah, tidak”, jawab jean sambil tersenyum tipis menjawab pertanyaan perawat.

“Bu, kenapa kita harus mengambil darah sebanyak ini untuk pemeriksaan?, bukankah biasanya satu tabung suntikan saja sudah cukup?”, tanya Jean tiba-tiba.

Dokter yang tadinya sedang fokus mengisi data terdiam menatap Jean, begitu juga dengan dua perawat yang ada di sana.

“Memangnya kamu sekolah kedokteran?”, tanya Dokter itu sambil tersenyum dingin.

Suasana pengecekan kesehatan yang selama ini biasanya terasa ramah tiba-tiba meredup membuat Jean hanya tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan sindir dari dokter.

Jean yang merasa bersalah sudah bertanya mengusap bibirnya beberapa kali tanpa dia sadari.

Kantung darah mulai terisi setengahnya, perasaan tak nyaman yang Jean rasakan perlahan menguat. Dari semua ingatan, dia mengingat mata merah seorang anak yang pernah dia temui saat petak umpet sepuluh tahun yang lalu, Jean yang kalut menggulir matanya melihat kearah selang yang mengalirkan darah dari lengannya ke kantung darah, ingatan lain muncul di kepalanya, sekelebat warna merah dari mata Enver yang tak sengaja saling pandang dengannya di kantin beberapa bulan lalu.

“Haaah!!”, Jean yang membuang nafas keras hingga bersuara membuat perawat menghampirinya.

“Kamu baik-baik saja?, ada apa?”, tanya perawat sigap.

“Hah..?”, Jean baru menyadari keadaannya setelah sadar dari lamunannya. Tubuhnya banyak berkeringat, jantungnya berdegup kencang, dan nafasnya tersengal-sengal.

“Ah, tidak aku baik-baik saja. Hanya sedang sedikit tak enak badan saja”. Dokter yang menghampiri Jean langsung memeriksa nadi di tangan Jean, dan memegang kening Jean dengan punggung tangannya.

“Kok bisa?, tapi tadi saat pemeriksaan kamu baik-baik saja?”,Gumaman sang dokter tak begitu di gubris Jean.

Jean berjalan meninggalkan ruang pemeriksaan kesehatan, dia berjalan pelan sambil berpikir keras. Tanpa disadari dia sudah berada di lorong terbuka yang menghubungkan dua asrama, dia melihat kearah tempat dulu dia bersembunyi saat petak umpet.

Jean mengusap lehernya merinding saat mengingat mata anak kecil yang dia lihat saat itu. Jean berlari ke kamarnya dengan terburu-buru dan kemudian meminum air dari gallon yang memang tersedia di kamar asramanya. Jean yang sudah menghabiskan satu gelas penuh air itu mengambil nafas dalam mencoba menenangkan diri. Jean teringat apa yang terjadi di malam pesta.

Tatapan Enver saat itu membuat tubuh Jean membeku ngeri, terdiam mematung mendengar ucapan Enver yang penuh dengan tanda tanya bagi Jean. Ucapan Enver setelah mengatakan bahwa wangi Jean, adalah wangi camilan favorit Enver.

“Apakah panti masih mengambil darah para penghuninya secara rutin?, menyebalkan sekali saat aku tahu darahmu di minum orang lain. Aku tak lagi bisa mendapatkan darahmu sejak empat tahun lalu karena para bangsat itu.” ucap Ervin saat itu sambil mendengus leher Jean.

“Haah, tapi aku harus menahan diri. Berapa umurmu saat ini?, 16 tahun?, 17 tahun?, kau harus mendatangiku jika kau tak mau menghilang setelah lewat 21 tahun seperti para manusia penghuni panti sebelumnya.” Ucap Enver tepat didepan wajah Jean yang membeku terpaku melihat Enver. Saat itu Jean ingat dengan jelas bisa merasakan nafas Enver di wajahnya saat Enver berbicara.

Jean merinding sampai merasakan geli menyeruak dari dalam tubuhnya saat mengingat ingatan yang sempat hilang berkabut sebelumnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!