Gigitan Pertama

Jean yang saat itu mengingat perkataan Enver tak bisa tidur sepanjang malam, Jean yang awalnya tidur menghadap tembok, memutar tubuhnya dan melihat kearah Clara yang tertidur di ranjang tingkat bagian bawah di sebelah ranjang Jean. Di Satu kamar asrama terdapat dua ranjang tingkat. Clara dan Jean sama-sama tidur di tingkat bawah ranjang yang bersebelahan, sedangkan ranjang atas kosong.

“Apa?, kenapa kau terus menatapku?”, ucap Clara yang ternyata menyadari kalau Jean menatapnya.

“Aku tiba-tiba teringat, dulu saat pertama tidur di kasur ini, kamu mengintip ku berkali-kali dari atas sebelum berani mengajakku berkenalan saat pagi hari”, Ucapan Jean membuat Clara yang mencoba tidur kembali membuka matanya dan melihat Jean yang ada di hadapannya.

“Dan ranjang yang sedang kamu tiduri itu, di pakai dua kakak seumuran kita saat ini”, Lanjut Jean.

“Lalu?”, tanya Clara yang masih belum menangkap  arah pembicaraan Jean.

“Kemana mereka pergi sekarang?”, tanya Jean.

Clara terdiam sambil berpikir, beberapa saat kemudian Clara memutar tubuhnya yang tadinya miring menghadap Jean menjadi terlentang melihat keatas.

“Entah, Aku tak begitu mengingatnya”, jawab Clara yang menyerah berpikir dan kembali menutupkan mata.

Suasana sunyi sejenak. Cahaya remang dari lampu luar yang mengintip dari tirai jendela membuat keheningan itu menelusuk kedalam hati.

“Aku menyayangimu Clara”, ucap Jean tiba-tiba di tengah keheningan.

“Aku lurus, kau tahu itu. Semua mantanku laki-laki”, pungkas Clara menanggapi ungkapan hati Jean dengan candaan.

Pagi itu Jean yang biasanya datang agak siang, mepet dengan jam pertama, sudah tiba di depan gerbang sejak udara pagi masih bertiup. Rani yang melihat Jean dari kejauhan tersenyum dan bergegas mengejarnya. Rani yang berencana mengagetkan Jean dari belakang terhenti dari langkahnya saat melihat Jean berbelok arah ke kearah gedung kelas tiga.

“Kenapa Jean kearah sana?”, gumam Rani yang tak begitu tertarik untuk mengikuti Jean, dan kemudian melanjutkan perjalanan kearah kelasnya.

“Jean?, ada urusan apa kemari?”, tanya Lisa yang sedang berdiri di ambang pintu kelas 3A.

“Karena kamu berdiri disini, berarti benar ini kelas kak Clarisa kan?”, tanya Jean kepada Lisa.

“I.. ya, ini aku sedang menunggu dia untuk pergi latihan pagi”, jawab Lisa yang merasa aneh melihat Jean berada di sekitar gedung tingkat lain.

Clarisa yang ditunggu Jean dan Lisa itu akhirnya keluar dari kelasnya. Clarisa yang setengah berlari pada awalnya, perlahan terdiam melihat Jean.

“Ada apa nih?, cari siapa?”, Clarisa meledek Jean dengan sangkaan Jean mencari siswa laki-laki.

“Kak, dimana kelas Kak Enver?”, pertanyaan Jean membuat Clarisa dan Lisa terdiam beberapa saat karena tidak terduga.

“A.. ah itu, Enver sekelas denganku”, Jawab Clarisa.

“Apa dia ada didalam?”, pertanyaan Jean berlanjut.

“Tidak ada, dia benar-benar jarang masuk. Sebenarnya, biasanya Enver hanya masuk di hari ujian saja. Tapi beberapa bulan ini kadang dia muncul sesekali”, tapi sepertinya sekarang dia tidak akan datang”, Jelas Clarisa.

“Emm, itu kak bolehkah aku menanyakan sesuatu?”, Jean yang terlihat sungkan berbicara dengan ragu.

“Jean, ayo kita lanjutkan pembicaraannya nanti siang di kantin oke.”, ucap Lisa memotong pembicaraan Jean dan Clarisa sambil melihat jam di smartphonenya.

“Ah iya, maaf Jean. Istirahat makan siang nanti aku akan ikut dengan Lisa untuk makan dengan kalian. Nanti kita lanjutkan oke. Kita berdua hampir telat, dan kalau telat kita bisa di hukum lari tiga putaran”, jelas Clarisa sambil berlari bersamaan dengan Lisa yang melambaikan tangan ke Jean.

Jean mengangguk sambil melambaikan tangan merespon lambaian tangan Lisa.

Jean yang mematung berbalik arah hendak kembali ke kelasnya.

“Kamu mencari ku?”, Jean terperanjat saat menyadari seorang lelaki sudah berada di hadapannya tanpa dia sadari sebelumnya.

“Haah..!”, Jean yang sempat berpikir bahwa orang itu adalah Enver menarik nafas panjang.

“Kamu baik-baik saja?, maafkan aku, aku tak berniat mengagetkan sampai seperti ini”, Jelas Brian yang mengungkapkan rasa bersalahnya melalui kata-kata, tapi sambil terkikik menahan tawa.

“Haahh, kak tolong jangan lakukan hal seperti itu lagi, kukira aku akan pingsan karena kaget”, Keluh Jean yang terlihat benar-benar kaget.

“Waaahh, apa ini?, “, celetuk salah seorang siswa dari rombongan yang hendak masuk ke kelas 3A.

“Irinyaaaaa, di sapa pacar di pagi hari sebelum pelajaran pertama”, keluh salah seorang yang lain dari 5 orang siwa laki-laki yang bergerombol tersebut.

“Tawa bahagiamu terdengar sampai lobi kau tahu..!?”, ledek seorang yang lain.

“Hey cepat pergi masuk kelas, jangan membuat nona manis ini merasa tak nyaman!”, timpal Brian terhadap ledekan teman-temannya.

Jean yang awalnya canggung terlihat hanya terdiam, terpaku melihat tag nama di baju orang terakhir dari gerombolan tersebut.

“Bram, tumben, kamu tidak ikut latihan pagi?”, tanya Brian sambil menepuk tangan Bram yang dibungkus perban sambil tertawa.

“Kau buta sialan?”, ujar Bram sambil menendang tulang betis Brian.

“Kak Bram?”, ucap Jean memastikan, takut dia salah orang.

Bram yang tadinya asik menendang-nendang kaki brian yang sebenarnya sama-sama sedang cidera, terdiam menatap Jean.

“Jean, jangan berpaling dariku. Dia sudah punya pacar galak yang posesif”, ucap Brian setengah bercanda.

“Kak bram Ketua tim basket kan?”, Jean sekali lagi memastikan kalau orang itu benar Bram pacar Clarisa.

“Jean, aku juga masuk tim basket kok..!”, sambung Brian menambah candaan yang sebelumnya tak digubris oleh Jean.

“Ya..”, Bram menjawab agak ragu.

“Maaf, bisa tolong hubungi kak Enver, tolong katakana kalau saya mencarinya”. Pinta Jean tanpa ragu.

“Apa ?”, Bram bertanya karena tak bisa berkata-kata.

“Tolong katakan, Jean anak kelas 1B mencarinya. Kumohon, saya membutuhkan jawabannya sekarang”,perkataan Jean mempertegas permintaanya.

Bram yang gagap mengeluarkan smartphone dari sakunya, dan mencoba fokus ke smartphonenya sambil sesekali melihat kearah Brian dan Jean bergantian.

“Ah, kakiku sakit, aku harus duduk. Aku masuk duluan oke”, Brian yang menyadari suasana canggung itu pergi masuk kedalam kelas.

15 menit berlalu, Jean berdiri  termangu di belakang bangunan gudang sekolah. Tempat yang relative sepi, dan jarang ada orang datang kecuali petugas piket yang membuang sampah. Beberapa saat lalu Bram yang berbicara dengan Enver melalui panggilan telepon mengatakan kepada Jean untuk menunggu Enver di belakang gudang sekolah untuk bertemu.

Ditengah debaran jantung yang mulai tak menentu, Jean tak bisa memikirkan apapun, dia merasakan ketakutan atas sensasi yang dia rasakan saat bertemu dengan Enver di malam pesta.

“Kamu sudah memikirkannya?”, suara rendah yang tak asing di telinga Jean, memberikan sensasi merinding, seolah kuku tajam hewan buas sudah menempel di lehernya.

“Apa yang terjadi kepada anak-anak panti terdahulu?”, Jean menjawab pertanyaan Enver dengan pertanyaan lagi.

Enver tersenyum lebar sembari mendekati Jean yang mematung tegang.

“Kenapa juga aku harus menjawab pertanyaanmu?”, Enver yang membalikan pertanyaan Jean.

“Ka..kamu bilang akan membantuku”, ucap Jean ragu.

“Kapan?”, pertanyaan singkat Enver membuat Jean terdiam. Suasana sunyi sesaat.

“Haha”, tawa kecil Enver membuat Jean bergidik, ditambah tangan Enver yang memegang sedikit rambut Jean dan kemudian memainkannya perlahan.

“Jika kamu ingin berumur panjang, tinggalkan panti dan ikut denganku, tinggallah di rumahku”, jelas Enver yang kemudian memindahkan pandangan matanya dari rambut Jean ke mata Jean yang sedang memandanginya.

“Itulah mengapa saya bertanya, memangnya apa yang akan terjadi jika saya terus tinggal di panti?”, tanya Jean.

“Entahlah”,  jawab Enver sambil tersenyum dengan satu sisi bibirnya.

Tangan Enver yang menyusuri rambut Jean hingga terlepas, berpindah meraba pipi Jean, perlahan menurun seolah membelai leher Jean.

“Yang jelas, hal buruk yang mengerikan”. Sambung Enver sambil menggeser tangannya yang menyentuh leher Jean, menyapu menyentuh area telinga Jean.

Jika itu orang lain, Jean mungkin sudah menampar lelaki kurang ajar yang menyentuhnya seperti itu. tapi saat itu dibanding merasa di lecehkan, Jean lebih merasakan ketakutan karena merasa seperti diantara hidup dan mati.

“Mau ku beri tahu? Tapi kamu harus membayarnya”, ucap Enver.

“Bayaran?”, tanya Jean.

“Ya, dengan darahmu?”, Jawaban Enver yang bernada seperti setengah bertanya itu membuat Jean terpaku. Jean menerka-nerka apa maksud bayaran dengan darah.

Apakah Jean harus bersumpah menjadi suruhan Enver selama sisa hidupnya, ataukah yang di maksud darah adalah nyawanya? .

Jean memandang wajah Enver yang terlihat agak pucat, saat menyadari kenyataan itu Jean bertanya-tanya, apakah mungkin memang darah sungguhan?, mungkin Enver jarang masuk sekolah karena kondisi kesehatannya, dan kondisi tersebut membuat Enver harus mendapat donor darah terus menerus secara berkala?.

“Jika kamu tidak juga menjawab, ku anggap kau setuju dengan kesepakatan itu, aku ingin bayaran dimuka oke?” perkataan Enver di tengah kekalutan pikiran Jean membuat Jean lambat mencerna perkataan Enver. Belum selesai Jean Mencerna kata-kata Enver yang tak jelas untuk Jean, tangan kanan Enver yang sudah sejak awal meraba-raba kepala bagian kiri Jean, bergerak menelusuri kepala belakang Jean. Tangan Enver yang cukup panjang membelit kepala Jean, hingga telapak tangan Enver menutupi mata kanan Jean.

Enver meregangkan kepala jean dari bahunya, hingga leher bagian kanan Jean terpampang jelas. Tangan kiri Enver yang tadinya hanya diam saya meraba-raba kancing bagian atas baju Jean. setelah dua kancing terbuka tangan Enver menyingkirkan kain yang menutupi sebagian leher kanan Jean.

Enver mulai mengendus leher Jean, sedangkan Jean yang hanya bisa terdiam sambil terbelalak tanpa bisa bergerak sedikitpun.

“Ini akan agak sakit”, bisik Enver lembut ke telinga Jean.

Bibir Enver mulai menyentuh Leher Jean perlahan, menelusuri beberapa area di leher jean sambil meninggalkan sedikit basah dari air liur Enver. Hingga di bibir Enver yang terdiam, fokus pada satu tempat, Enver mulai melebarkan mulutnya.

“Krek..”, suara seperti seseorang yang menggigit tulang rawan ayam terdengar tipis, di barengi lenguhan Jean yang seperti kaget menahan sakit yang tiba-tiba. Darah mengalir sedikit keluar dari leher Jean yang terbungkus mulu Enver yang masih fokus menikmati darah yang sedang dia isap.

“Haah”, suara Enver yang membuang nafas setelah beberapa saat waktu berlalu. Enver kemudian menjilati darah yang mengalir dari leher Jean, membersihkan sisa-sisa darah seolah sayang jika terbuang.

Enver perlahan melepaskan pelukannya kepada Jean, dan kemudian tersenyum saat melihat ekspresi Jean yang tidak karuan.

Enver mengeluarkan plester luka dan menutupi bekas gigitan di leher Jean.

“Sekarang waktunya aku menjawab pertanyaanmu bukan?”, ucap Enver sambil berjongkok menyamakan pandangan dengan Jean yang terduduk tanpa tenaga bersandar di tembok, setelah beberapa saat lalu merosot karena tak sanggup berdiri.

“Mereka, anak-anak panti, termasuk kamu, sebagian besar akan mati di ulang tahun ke-21”, Jelas Enver sambil meraih kancing baju Jean yang terbuka.

“Kamu mungkin butuh tiga puluh menit untuk kembali normal, tapi aku sedang terburu-buru. Jadi aku tak bisa menemanimu disini lebih lama”, celoteh Enver sambil mengancingkan kembali baju Jean.

“Sampai nanti, dan terimakasih atas cemilannya”, ucap Enver sambil terkikik sembari berjalan meninggalkan Jean yang masih terduduk lemas bersandar di dinding.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!