Dua jam lebih Jean dan teman-temannya berbincang sana-sini, membicarakan hal-hal ringan untuk mengobati rasa rindu mereka.
“Eh udah jam segini”, ucap Lisa yang sambil melihat jam di tangannya.
“Waduh, tak terasa. Aku ada kelas siang”. Rani mengikuti.
“Ya sudah, kita buat janji lagi buat ke temuan minggu depan yuk”. Usul Lisa.
“bye..!”, Lisa meninggalkan restoran paling awal, karena ada latihan memanah di pelatihan atlet nasional.
“Bye bye!!, kita duluan!”, Rani dan Clara yang memang sering sekali ke sana-sini berdua pamit menyusul Lisa.
Jean dan Clarisa melambaikan tangan mereka kompak, melepas kepergian teman-teman mereka.
“Kakak tidak ada jadwal?”, Jean bertanya. Karena setahu Jean Lisa dan Clarisa berada di pelatihan yang sama.
“Tidak, aku mengambil ijin full hari ini. Agar bisa me time”. Clarisa menjawab Jean sembari memutar-mutar sedotan di gelasnya.
“Oh..”, Jean terdiam.
“Kamu sendiri?, kamu tidak sibuk?. Padahal hari pernikahanmu sudah sangat dekat”. Tanya Clarisa.
“Enver mengurus semuanya, aku hanya ikut fitting dan mengukur cincin terakhir kali”. Jean menjelaskan.
“Yatuhaan, pantas saja Bram sibuk sekali, para pengantin ini melimpahkan semua urusan pernikahan kepada pegawainya”. Clarisa meledek sambil diselipi keluhan, karena pacarnya selalu sibuk akhir-akhir ini.
Jean tertawa sambil melihat ke arah Clarisa, Jean menyadari ekspresi Clarisa yang terlihat seperti sedang tertekan oleh suatu masalah.
“Kakak kenapa?, apa kakak marah kepadaku karena kak Bram terus sibuk?”, Jean bertanya memastikan. Namun hanya di balas senyuman oleh Clarisa. Suasana menjadi cukup sepi, entah kenapa para pengunjung lain di sekeliling mereka berdua tak terdengar mengobrol sama sekali, padahal meja cukup penuh.
“Kamu tahu?”, Clarisa mulai berbicara setelah beberapa saat terdiam.
“Tahu apa?”, Jean menjawab setelah menelan minumannya.
“Tentang Vampir”, Clarisa berbisik. Jean hampir tersedak mendengarnya.
“Apa?, kenapa?”, Jean bertanya sambil mengusap-usap tenggorokannya yang sedikit perih.
“Melihat respon mu, sepertinya kamu tahu”. Clarisa pindah duduk ke kursi bekas Lisa agar lebih dekat dengan Jean.
“Tiga bulan ini aku terus-menerus meminta Bram agar membuktikan keseriusannya. Kubilang setidaknya ayo tunangan”. Clarisa mulai berbicara agak pelan.
“Awalnya dia menolak, dan mengusulkan untuk membicarakannya saat aku sudah siap menikah sekitar tiga tahunan lagi. Tapi aku terus mendesaknya. Mungkin karena banyak dari temanku yang merupakan pasangan di sekolah mengakhiri hubungan mereka baru-baru ini. Aku jadi merasa risau, dan berharap Bram menunjukkan keseriusannya.” Sambung Clarisa.
“Karena aku terus mendesak, dia kemudian mengajakku menemui keluarganya untuk makan malam, tapi di tengah pembicaraan mengenai rencana pertunangan, ayah Bram bertanya kepadaku, apakah aku bersedia menikah dengan Vampir”. Kata Clarisa.
“Awalnya aku pikir mereka bercanda, namun kemudian aku berpikir mungkin mereka mempermainkan aku dan berharap kalau aku akan berpaling dari Bram. Namun saat perjalanan pulang Bram menjelaskan kembali penjelasan ayahnya dengan serius. Aku jadi sempat berpikir kalau semua itu nyata”. Clarisa yang terus bercerita.
“Aku bertanya kepadamu untuk memastikan, karena aku dengar keluarga Valera yang merupakan bos besar perusahaan keluarga Bram, juga merupakan keluarga Vampir”. Clarisa menatap kosong kearah gelas kosong bekas minuman Lisa yang ada di hadapannya.
“Ya secara garis besar mereka memang Vampir”, Jean membuka mulutnya.
“Tapi pada dasarnya mereka tetaplah manusia, hanya mungkin jenis yang berbeda. Jadi kupikir akan baik-baik saja jika menikah dengan mereka, mungkin..?”. Jelas Jean mengambang. Penjelasan Jean di tanggapi Tawa ringan oleh Clarisa.
“Ternyata kamu juga masih tak tahu apa yang akan terjadi dalam pernikahan manusia dengan Vampir”, Clarisa yang tadinya berfokus pada Jean, menyandarkan dirinya ke kursi.
“Tapi kenapa kamu sepertinya tak ragu untuk menikah dengan Enver?”, Clarisa bertanya.
“Karena aku mencintai dia”, Jean menjawab tanpa ragu.
Clarisa menoleh kearah Jean.
“Haha, dasar budak cinta”, Clarisa mengejek sambil tersenyum tipis.
“Yah.. haha. Sejujurnya aku baru sekarang, merasakan rasa cinta sebesar ini. Sampai jika aku membayangkan harus menjauh darinya, itu membuat dadaku terasa sangat sesak”. Jean yang tak berani mengungkapkan rasa cintanya kepada Enver, menceritakannya dengan sangat mudah kepada Clarisa.
“Tapi walau begitu, menurutku semuanya akan baik-baik saja. Kamu tak perlu mengorbankan perasaanmu hanya karena rasa khawatir yang tidak jelas”. Jean mencoba memberikan solusi. Di dalam hatinya, Jean merasa sangat iri, karena hubungan Clarisa dan Bram di dasari oleh rasa cinta yang sangat jelas.
“Beri aku tumpangan, tempatmu tinggal melewati area pelatihan kan?”. Clarisa mengajak Jean pulang.
“Apa?, katanya kamu mau me time”, Jean bertanya.
“Me time ku itu tidur siang sepuasnya tanpa gangguan latihan sore”. Clarisa terkikik.
“Ah tapi..”, Jean merasa sungkan.
“Yatuhaan, aku tak tahu kalau kamu sangat kikir”, Clarisa mengeluh.
“Bukan begitu!, yasudah ayo”, Jean menyetujui dengan terpaksa.
Clarisa menarik tangan Jean, dan Jean kemudian berdiri hendak meninggalkan mejanya.
Clarisa terperanjat kaget saat dia dan Jean berjalan selangkah dari meja mereka, karena sekitar sebelas orang yang duduk menyebar di lima meja sekitarnya mendadak berdiri serentak.
Clarisa yang kaget hanya kemudian menghiraukannya dan menggandeng Jean yang berjalan di sampingnya.
Seorang lelaki yang merupakan salah seorang dari orang-orang yang serentak berdiri sebelumnya, sedikit berlari mendahului Jean dan Clarisa.
“Siap kan mobil sekarang juga!”, suara lelaki yang berlari itu terdengar sayup, seperti berbicara pada handphonenya.
“Mobilmu parkir dimana?”, Clarisa bertanya memastikan saat mereka berdua sampai di luar restoran.
“Wah.. iring-iringan apa ini?”, Clarisa melihat 4 mobil berjajar di halaman lobi restoran.
Seorang wanita yang ternyata Siska setengah berlari dari arah belakang Jean dan Clarisa, mendahului mereka berdua.
“Silakan nona”, Siska membukakan pintu mobil yang berada tepat di depan Clarisa dan Jean.
Clarisa yang melihat pemandangan itu melihat ke segala arah mencari siapa yang di persilahkan itu.
“Ayo cepat, katanya kakak mau nebeng”, Jean yang ternyata sudah mulai berjalan mendekati mobil melihat ke arah Clarisa.
Clarisa menganga beberapa saat, sambil kemudian berjalan kaku masuk ke dalam mobil yang kemudian di susul oleh Jean. Siska duduk di depan bersama sopir. Clarisa melihat ke arah luar, dia melihat rombongan orang yang berdiri serentak tadi di dalam restoran, masuk menyebar ke tiga mobil lainnya. Satu mobil di depan mobil yang Clarisa tumpangi, sedangkan dua lainnya di belakang.
“Apa itu?, jangan bilang kamu di kawal oleh orang sebanyak ini?, bukankah calon suamimu terlalu berlebihan?” Clarisa berbisik kepada Jean saat iring-iringan mobil itu mulai berjalan.
“Jadi sejak kita masuk ke restoran, pelanggan di sekeliling kita adalah iring-iringan kamu?. Kenapa aku tidak menyadarinya?”, Clarisa tak membiarkan Jean menjawab pertanyaannya sebelumnya.
“Itu karena aku datang pertama. Aku berdebat dengan Enver mengenai ini, tapi Enver melarang aku keluar jika tidak bersama mereka semua. Untung dia setuju mengurangi setengah jumlah iring-iringannya”. Kata Jean sambil sedikit mengeluh.
“Pantas saja kamu sungkan memberi tumpangan sebelumnya, awalnya ku pikir kamu menjadi sombong karena sebentar lagi akan jadi nyonya Valera”, Clarisa sedikit mengejek sambil cekikikan dengan suara yang agak pelan.
Jean sudah sampai di kawasan mansion Valera, dan Clarisa sudah turun di depan gerbang kawasan pelatihan atlet sebelumnya di tengah perjalanan pulang.
“Berhenti disini”, pinta Jean.
Mobil iring-iringan berhenti di kawasan taman yang dulu Jean bertemu dengan Enver saat berjalan-jalan.
Jean kemudian menelepon Enver dengan ponsel miliknya.
“Ya?”, suara Enver terdengar dari ponsel Jean.
“Aku ingin jalan-jalan di taman”, ucap Jean langsung.
“Kamu tinggal lakukan saja”, Enver menjawab.
“Ya, tapi aku ingin sendirian”, pinta Jean.
“Setidaknya di temani Siska dan Rangga (salah seorang bodyguard)”, jawab Enver.
“Aku tak mau”, ucapan Jean membuat ponsel Jean hening. Jean melihat layar ponselnya memastikan apakah panggilan masih terhubung.
“Dulu aku berjalan-jalan sendirian tak apa, setidaknya Siska dan Rangga berjalan menjaga jarak sekitar tiga meter dariku”, Jean membuat penawaran.
“Tak bisa, dulu dan sekarang berbeda. Situasinya sekarang berbeda dengan tiga tahun lalu”, Jelas Enver.
“Kamu selalu mengatakan situasi berbahaya lah, situasinya berbeda dengan dulu lah. Memangnya situasinya bagaimana?”, Jean mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sudah sering dia tanyakan. Namun Enver tak merespons apa pun, hingga Jean memeriksa layar ponselnya untuk kedua kalinya, untuk memastikan apakah panggilan masih berlangsung atau sudah terputus.
“Kalau begitu kamu mau pulang dan menemaniku?’’, Jean berucap di tengah kesunyian itu.
“Aku sedang ada urusan”, Enver menolak.
“Kau mencekik ku, kalau begitu biarkan aku sendirian!”, Jean mengeluh sembari memijat pelipisnya lembut.
“Hahh.., baiklah, tunggu aku sebentar”, Enver menutup panggilannya.
Jean hanya melamun menatap keluar mobil. Membuat pikirannya mulai sibuk dengan pikiran-pikiran yang sebenarnya membuatnya lelah. Melihat teman-temannya mulai menjelajahi bidangnya masing-masing, dengan rencana karier yang sudah di buat. Lalu apa yang harus dia lakukan?.
Mengurusi masalah panti adalah hal pertama yang dia pikirkan, tapi dia bahkan tak memiliki rencana apa pun. Untuk melanjutkan pendidikan, itu akan sangat merepotkan karena Enver dengan anehnya membuat Jean harus selalu di jaga dengan keamanan yang ketat, sedangkan Angel memiliki kesibukannya sendiri, dan tak mungkin membuatnya harus mengikuti Jean lagi.
Bahkan semua hal mengenai dirinya sendiri pun di atur oleh Enver, tanpa menjelaskan kenapa harus seperti ini, kenapa harus seperti itu?.
Dua puluh menit kemudian, sebuah mobil berhenti di samping mobil yang di tumpangi Jean. Jean melihat Enver membuka pintu mobil itu dari dalam. Jean menatap Enver yang berjalan menuju kearah mobil yang di tumpangi Jean.
Sebenarnya hari itu, Jean tahu bahwa dia tak akan di ijin kan untuk berjalan-jalan sendirian di taman, semua itu hanya alasan agar dia bisa melihat wajah Enver.
Perasaan rindu yang mendadak membuncah, membuat Jean melakukan hal konyol yang sebenarnya mengganggu kesibukan Enver.
“Ayo”, Enver membukakan pintu mobil Jean.
Jean menengadah menatap wajah Enver dari dalam mobil cukup lama.
“Apa yang kamu lakukan?, Katanya kamu ingin jalan-jalan”, Enver menunggu Jean untuk turun dari mobil.
Jean keluar dari mobil, Enver kemudian menyuruh semua pegawainya untuk pergi, yang kemudian di susul dengan lima mobil itu menjauh meninggalkan Jean dan Enver.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
siti ropami
pengen jadi jean
2023-03-17
1