Haruskah Kita Menikah?

Awal malam telah tiba, ruang makan yang dua setengah tahun terakhir hanya di duduki sendiri oleh Jean, kini Enver kembali bergabung.

Mata sembab Jean tertunduk, melihat fokus pasa piringnya. Enver mengunyah makanannya sambil menatap Jean yang tak kunjung membuka mulutnya sejak sore tadi.

“Pernikahan kita akan berlangsung tanggal dua bulan besok, berarti sekitar tiga minggu lagi”, jelas Enver mencoba mengawali pembicaraan. Tapi Jean masih tetap fokus pada makanannya dan acuh pada Enver.

“Hmm, apa ada teman yang ingin kamu undang?, atau saudara mungkin?”, Enver bertanya ragu, karena baru sekarang dia merasa tak di tanggapi oleh Jean.

“Kenapa kita harus menikah?”, pertanyaan Jean membuat Enver tanpa sadar meletakan sendok yang sedang dia pegang.

“A..apa?”, Jean memastikan pertanyaan Jean.

“Kubilang kenapa kita harus menikah?”, Jean menatap Enver menunggu jawabannya.

Enver yang sepertinya tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Jean, beberapa kali menyentuh bibirnya sendiri tanpa sadar sambil terlihat mencari jawaban yang tepat.

“Kamu sudah menepati janjimu menyelamatkan temanku, jadi selama teman-temanku aman, aku tidak berpikir untuk meninggalkanmu atau semacamnya. Aku tak keberatan juga tentang darahku, selagi itu di batas wajar, agar aku bisa tetap hidup”, Jean menjelaskan opininya.

“Apa mungkin kamu memiliki kekasih tanpa sepengetahuanku atau semacamnya?”, Tanya Enver yang mulai serius.

“Tidak”, jawab Jean cepat.

“Jangan salah paham, aku tidak akan memaksamu untuk tetap bersamaku. Aku juga tidak akan melakukan apa-apa pada temanmu jika kamu tak ingin bersamaku. Aku tak akan mengancam kamu, kamu sudah keluar dari panti itu bahkan sebelum umur rata-rata kematian”. Jelas Enver sembari menatap minuman di gelas yang dia pegang.

“Lalu kenapa sejak awal kau bahkan dengan seenaknya mengatur pernikahan kita secara sepihak?”, Tanya Jean yang emosinya mulai terpacu. Mungkin jika itu dua tahun lalu, dia akan dengan senang hati meninggalkan Enver setelah mendengar perkataan Enver itu. Tapi sejak dia menyadari perasaanya, ucapan Ever adalah mata pisau yang mengiris hatinya, karena memperlihatkan seberapa tidak berharganya dirinya di mata Enver.

“Kukira kamu menerima semuanya, kamu bahkan tak memprotes rumor tentang pertunangan kita yang sudah sengaja aku sebarkan, kukira..”, Enver tak melanjutkan perkataanya dan hanya menyisir rambutnya dari depan kebelakang menggunakan jari tangannya.

“Kamu tak memberikan kesempatan untukku. Hanya jawab saja, kenapa kita harus menikah?, kamu bisa mengambil darahku bahkan tanpa harus menikahi ku”, Jean berusaha menenangkan amarahnya. Awalnya Jean bertanya hal itu karena ingin tahu, apakah ada kesempatan dirinya masuk ke dalam hati Enver. Tapi kini, alasan Jean bertanya adalah mencari alasan agar bisa bersama Enver.

“Aku sudah bilang padamu, jika kamu di sisiku dan memberikan darahmu padaku, aku akan memastikan bahwa kegiatan aku meminum darahmu tidak akan membahagiakanmu, kita harus menikah sebelum umurmu mencapai 20”, jelas Enver yang terlihat kehilangan semangatnya.

“Jadi caranya adalah dengan menikah?. Biar ku tebak, apakah lebih tepatnya kita harus ‘berhubungan’?”, Jean menerka.

“Ya”, Enver menjawab sebelum kemudian meminum wine di gelasnya.

“Dengan cara itu, kamu akan mendapatkan semacam dopamine khusus yang bisa memperbaiki fungsi tubuhmu, sekaligus memperbaiki sari kehidupanmu dengan instan. Selain itu aku bisa dengan leluasa berusaha melindungi mu di sisiku”, Enver melanjutkan.

“Lalu kupikir kita bisa melakukannya bahkan tanpa menikah?”, Jean mengatakan sembarang kalimat yang dihasilkan rasa perih di hatinya. Rasa perih setelah dia meyakini bahwa Enver tak memiliki perasaan kepadanya.

“Aku tak akan melakukan kegiatan seperti itu kecuali dengan istriku”, jelas Enver sembari menuangkan wine ke gelasnya, untuk kesekian kalinya.

Jean menatap Enver dengan matanya yang masih sembab karena tangisannya tadi sore, pikirannya bekerja sangat keras. Tapi mau bagaimanapun dia berusaha, membuat arah pikirannya agar berakhir dia bisa meninggalkan Enver. Pada akhirnya dia berada di kebuntuan, sebuah bayangan jika dia tak lagi bersama Enver, Enver akan mencari wanita lain untuk menggantikannya. Membayangkan bagaimana Enver mendekap orang lain sembari meminum darah mereka, membuat Jean merasa bahwa hal itu adalah penderitaan terbesar untuknya.

“Baiklah, ayo menikah seperti ucapanmu”, perkataan Jean membuat Enver berhenti di tengah minumnya.

“Kenapa?, kukira kamu keberatan pada awalnya”, Enver sepertinya berusaha membuat Jean agar berpikir dua kali sebelum menikah dengannya.

“Setelah dipikirkan lagi, menikah denganmu akan memberiku banyak keuntungan, terutama masalah harta?, kekayaanmu membuatku tak bisa menolak”, Jean tersenyum sembari berdiri dari duduknya. Ucapan Jean membuat Enver berdengus pelan.

“Yahh, aku akan memastikan untuk menjamin keberlangsungan kekayaanku”, Enver tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya memicing lebih tinggi dibanding sudut bibir di sisi lain. Jean yang melihat Ekspresi Enver itu membuat merasakan rasa hina yang entah dari mana.

"Waktumu untuk mempertimbangkannya, adalah sampai hari pernikahan. Jika kita sudah menikah, bahkan jika kamu memohon sambil bersujud padaku untuk membiarkanmu pergi, kamu tak akan pernah bisa. Lebih tepatnya aku tak akan pernah membiarkannya. Kamu akan berada di sampingmu, seumur hidupmu", terang Enver.

“Ah, tapi aku harap kamu tidak meminum darah orang lain selain aku, dan tidak ‘berhubungan’ kecuali denganku. Aku ingin hidup sehat dalam jangka waktu yang lama”, Jean mengakhiri percakapan itu dengan meninggalkan Enver yang masih termangu di meja makan. Enver mengangkat botol wine nya yang ternyata sudah habis tanpa dia sadari.

“Ambilkan satu botol lagi!”, pinta Enver setelah memanggil seorang pelayan.

Keesokan harinya Jean duduk sembari tertawa-tawa bersama teman-temannya di sebuah tempat makan.

“Rani sudah punya pacar, kalian tahu?”, Clara berbicara dengan nada gossip.

“wooo, kamu menyerah belajar atau semacamnya ?”, Lisa mengejek.

Rani yang duduk berhadapan dengan Jean melemparkan gumpalan tissue yang sebelumnya dia gunakan, ke arah Lisa yang duduk di antara Jean dan Clarisa. Sedangkan Clara duduk di hadapan Lisa.

“Berhenti menggodaku!, aku bukannya ingin berhenti belajar, aku hanya ingin belajar dengan santai setidaknya selama 3 semester”, Jelas Rani.

“Tapi apa kabar Beny?, dia tidak ikut kumpul?”, tanya Jean sembari meminum minumannya.

“Dia sejak dulu juga memang jarang berkumpul dengan kita, saat sekolah dia menolak untuk makan siang bersama kita karena dia hanya satu-satunya laki-laki”, Jelas Clara.

“Aku yakin dia sedang sibuk, keluarga kak Bram kan sedang ikut sibuk mempersiapkan pernikahan tuan Enver dan nyonya Jean”. Jelas Clarisa sembari tertawa-tawa.

“owhh, apa nama belakangmu akan menjadi Valera?”, “Nyonya Jean Valera!”. Rani dan Clara beruntun menggoda Jean.

“Aku bersyukur kalian berdua menjadi adik kakak yang rukun”, Jean mendengus.

“Oh iya, para alumni panti mengajak ketemuan minggu depan, kamu mau ikut Jean?”, Tanya Clara tiba-tiba.

“Alumni Panti?”, Jean heran.

“Iya, Kamu ingat Leo and the geng?, mereka berencana untuk berziarah ke kuburan beberapa teman lainnya terlebih dahulu, sebelum kemudian ke tempat reuni”. Jelas Clara.

Jean terdiam, pikirannya membeku menerima info-info itu. Jean memang mengingat Leo dan beberapa temannya yang lain, walau mereka tak terlalu dekat karena hidup dalam kelompok tertentu di panti, tapi Jean jelas ingat karena mereka selalu bermain bersama sebelum masuk sekolah dasar.

“Si, siapa yang meninggal?”, Tanya Jean.

“Kamu tidak tahu?, Kak Bunga dan sekitar 10 orang lainnya. Mereka meninggal karena asrama mengalami kebakaran, sekitar dua bulan lalu”, Jelas Clara.

“Padahal beritanya heboh loh, diliput media nasional”, Rani menambahkan.

“Hmm, kak Bunga itu umur berapa?”, Jean bertanya memastikan apakah apa yang ada di pikirannya benar atau salah.

“Semua korban rata-rata 20 sampai 22 tahun”, Lisa menyambung.

“Clara, apa sebelumnya kamu tahu alumni meluluskan para penghuninya?”, Jean bertanya.

“emmm, Aku tak yakin. Tapi kudengar kebijakannya baru di berlakukan, karena panti mengalami kekurangan dana”. Jelas Clara.

“Tapi aneh sekali, panti tidak menerima sumbangan di tengah kekurangan mereka, dan hanya meminta para penyumbang untuk memberikan bantuan secara langsung kepada para alumni melalui beasiswa atau program kerja”. Jelas Rani.

“bagai mana kamu tahu?”, Clarisa bertanya.

“Itu karena grup arisan ibuku mencoba memberikan bantuan dana, dan ternyata ditolak. Padahal sangat banyak orang atau perusahaan yang berinisiatif memberikan bantuan dana”, Jelas Rani.

Jean menggerakkan kakinya keatas dan kebawah dengan cepat seperti tak nyaman.

“Kenapa?, kamu ingin ke WC?”, tanya Lisa yang merasakan getaran dari kaki Jean.

“Oh, gak”, Jean menjawab.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!