Di siang hari yang hangat, seorang gadis kecil berusia enam tahun terduduk di sebuah kursi umum di pinggir jalan, dia disuapi kue favoritnya yang sangat jarang ia dapatkan. Gadis itu menggunakan pakaian favoritnya yang jarang ia gunakan. Di kepalanya terdapat bando yang selama ini ia idamkan. Di antara kebahagiaan yang terlihat, wajahnya membisu tanpa ekspresi, dia termenung seolah berusaha menikmati momen suapan dari sang paman yang duduk di sampingnya.
“Jean, ini dia suapan terakhir”, ucap sang paman kepada anak kecil itu.
Pandangan kosong Jean kini teralih menatap pamannya, pipinya yang bulat naik turun mengunyah kue perlahan. Di matanya dia melihat sang paman yang tersenyum canggung, mengingatkan Jean ke satu tahun lalu saat sang paman menangis sesenggukan di pemakaman kedua orang tua Jean yang mengalami kecelakaan. Saat itu sang paman memeluk erat Jean sambil mengatakan bahwa sejak saat itu, yang dimiliki Jean hanya tinggal dia, pamannya. Senyuman paman hari ini dan tangisannya saat itu, sama-sama mengandung kesedihan dan kekhawatiran. Namun yang membedakan hari ini, adalah penyesalan.
“Paman, Jean benar-benar berterimakasih atas semuanya hingga saat ini”, ucap Jean setelah menelan kue di mulutnya. Pandangan mata Jean yang di penuhi pemikiran yang seharusnya belum cocok untuk di pikirkan seorang gadis berusia 6 tahun.
“Apa maksudmu..”, paman Jean menimpali ucapan keponakannya dengan gumaman yang mengambang.
“Ah, Jean kamu belum minum. Tunggu sebentar disini, paman pergi membeli minum sebentar”, ucap pamannya yang bangkit dari duduknya sambil mengusap kepala Jean.
Jean menatap pamannya yang berlalu memunggunginya dengan seksama, dia melihat punggung pamannya yang perlahan menjauh. Pemandangan itu membawa kenangan di saat berkali-kali punggung pamannya itu hanya bisa terdiam beku saat istrinya mencaci maki paman karena alasan ekonomi. Punggung yang berlalu itu mengingatkan Jean akan punggung pamannya yang hanya bisa menurunkan bahu tegaknya saat sang anak kandung mengeluh sambil menangis karena selalu harus berbagi dengan Jean ditengah keterbatasan.
Sejak awal tak ada Jean di keluarga itu, ketika kini dia harus menghilang, maka itu bukan masalah. Jean merasa sangat berterimakasih atas segalanya satu tahun terakhir ini kepada pamannya. itu yang Jean pikirkan. Sebelum akhirnya punggung sang paman lenyap menghilang, rasa takut menguat seiring menghilangnya cahaya. Jean hanya terus sesenggukan menahan tangis, tetap duduk di tempat itu berharap sang paman kembali.
Dua hari berlalu, selama itu orang-orang hanya bertanya mengenai keberadaan orang tua jean dan kemudian berlalu begitu saja. Siang itu Jean berdiri berjalan mendekati tong sampah dengan tubuh yang gemetar kelaparan. Jean dengan semangat mencari kantung bekas makanan yang dia lihat dibuang oleh seorang pejalan kaki. Sesuatu yang bukan tulang, plastik ataupun kertas, sesuatu yang bisa dia kunyah, remahan adonan kering yang tersisa di sana.
Bando yang masih menempel di kepala Jean kecil tak lagi terlihat baru, rambut kusut yang dihinggapi lalat, baju kesayangannya yang kumal di penuhi debu, tubuh kecil yang bergetar berjalan kembali ke bangku jalan umum, dua orang wanita muda terlihat melihat Jean dari jauh sembari membicarakan sesuatu seperti dinas social.
Siang yang cerah berganti senja, cahaya kuning kemerahan menyala di sepanjang jalan. Seorang wanita paruh baya menepuk-nepuk punggung kecil Jean.
“Nak.., Nak bangun. Dimana orang tuamu?”, Jean yang tak lagi memiliki tenaga hanya terdiam, merespon dengan pandangan sayu yang kesulitan membuka mata. Wanita paruh baya berseragam itu membopong Jean dan membawanya kedalam sebuah mobil.
Entah bagaimana perjalanan panjang malam itu, Jean kini terduduk di kursi ruang administrasi sebuah panti.
“Dia hanya menggelengkan kepala saat ditanya mengenai keluarganya, dan tak ada petunjuk untuk di selidiki karena daerah tersebut tak memiliki CCTV satupun..”, di tengah perbincangan wanita berseragam dengan pengurus panti, Jean hanya fokus pada roti yang ada di tangannya, dia melahap roti berukuran besar dengan rakus. Air Matanya sedikit mengalir, baru kali ini dia merasakan roti tawar sangat enak melebihi kue favoritnya yang ia makan 3 hari lalu.
Tangan wanita berseragam mengusap rambut Jean yang masih basah sesudah di mandikan perlahan, itu adalah salam perpisahan yang taka sing untuk Jean, tapi setidaknya kini Jean di tinggalkan di sebuah panti yang hangat dengan banyak teman.
Dua minggu berlalu, kini Jean mulai akrab dengan teman pantinya, terutama Clara dan Beny karena mereka memiliki umur yang relative mirip. Hari itu mereka bertiga duduk bersebelahan di lorong depan ruang kesehatan panti. Hari itu Panti melakukan pengecekan kesehatan yang rutin dilakukan setiap bulan, dan hari itu merupakan yang pertama bagi Jean.
“Hihk, haaa,,sakit ini sakii..it”, pintu ruang pemeriksaan terbuka disusul keluarnya seorang anak 5 tahun yang menangis sambil di gendong seorang pengurus panti.
“Tenanglah, jangan menangis, ayo kita beli ice cream kesukaanmu, oke”, hibur pengurus panti yang menggendong anak tersebut sambil berlalu.
“Itu tidak sakit sama sekali, Leo menangis hanya agar para pengurus membelikannya ice cream”, tegas Clara sambil memegang tangan Jean yang gugup.
“Beny dan Clara ayo masuk”, ucap pengurus lain yang berdiri di ambang pintu ruang kesehatan.
“Jangan menangis! , ayo bertaruh jatah puding besok”, ucap Clara sambil berlalu meninggalkan Jean di kursi tunggu.
20 menit kemudian pintu ruang kesehatan terbuka, Clara keluar dengan mata sembab dan bibir yang gemetar menahan tangis.
“I..ini tidak sakit, hanya sedikit menakutkan”, celoteh Clara sembari keluar dari ruangan.
“Ayo Jean dan roni masuk”, ucap petugas sambil cengengesan setelah melihat tingkah Clara.
Jean masuk dan disuruh duduk bersandar di kasur pemeriksaan, seorang anak lain duduk di kasur lain yang terhalang tirai. Jean menahan nafasnya saat sebuah jarum menusuk tangannya yang terikat sesuatu seperti sabuk, darah mengalir mengisi kantung medis. Sedangkan Jean menutup matanya dan hanya fokus agar tidak kehilangan jatah pudingnya besok. Di ruangan itu seorang dokter membimbing dua perawat lain yang melakukan tugas dengan cukup sibuk.
“Makanlah sayuran lebih banyak oke, jangan lupa minum vitamin yang selalu diberikan pengurus panti”, ucap dokter kepada Jean setelah melepaskan jarum dari tangan kecilnya.
Jean berjalan keluar dari ruang pemeriksaan tanpa peduli pada kantung darah yang dipenuhi darah miliknya dimasukan ke peti dingin berisi tumpukan darah teman-temannya. Yang dipikirkan Jean hanya bahwa jatah pudingnya besok selamat.
Tiga bulan berlalu, taman di belakang panti di penuhi riang tawa anak-anak.
“Aku akan mulai menghitung!, 1..!,2…!,3..!”, teriak seorang anak laki-laki yang menutup matanya sembari menghadap tembok. Di sekelilingnya, anak-anak berlarian mencari tempat bersembunyi.
Jean berlari cukup jauh dari temannya itu, dia melihat kearah kolong lorong terbuka penghubung dua asrama di panti. Jean yang merasa bahwa kolong itu adalah tempat yang sangat bagus untuk sembunyi, dan kemudian segera bersembunyi di sana tanpa pikir panjang.
Jean yang bersembunyi di kolong lorong terdiam dalam sunyi, namun tiba-tiba kaki seorang anak laki-laki mendarat di sana, tepat di depan pandangan Jean. Jean yang kaget mengira itu adalah anak yang sedang mencari anak-anak yang bersembunyi reflek menutup mulutnya berusaha tetap tenang. Namun Jean menyadari, pakaian yang di kenakan anak laki-laki tersebut bukanlah seragam panti, tapi baju yang terlihat sangat bagus dan bersih.
“Ketemu!”, ucap anak laki-laki itu sembari memiringkan tubuh bagian atasnya untuk melihat Jean. wajah putih pucat dan mata merahnya terlalu mencolok untuk tidak di ingat Jean. Anak laki-laki berambut hitam itu tersenyum kepada Jean.
“Enveer!, kamu dimana?, ayo cepat kita harus pulang sekarang!”, mata anak laki-laki itu memutar mengarah kearah suara berasal, lalu kembali menatap Jean yang kebingungan.
“Aku suka wangi mu”, ucap anak laki-laki itu yang kemudian berdiri tegak.
“Wa.. wangi?”, Jean bergumam bertanya-tanya.
“Wangi mu persis seperti wangi camilan favoritku”, pungkas anak laki-laki tampan itu sambil melompat menaiki lorong terbuka tempatnya melompat sebelumnya.
Jean yang merasa tak mengerti apa maksud anak laki-laki itu hanya kemudian menghiraukannya tanpa peduli sedikitpun.
Sembilan tahun berlalu, Jean yang kini sudah duduk di sekolah menengah atas sedang sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan orientasi siswa di sekolah. Jean masuk ke sekolah menengah atas yang cukup ternama, namun Jean harus beradaptasi disekolah tersebut sendirian tanpa teman pantinya. Itu kerena hanya Jean yang masuk ke sekolah tersebut, sedangkan Clara dan Beny masuk ke sekolah lain.
Pagi itu di hari Rabu, Jean sedang mengobrol di ruang kelas bersama beberapa teman barunya untuk mengakrabkan diri.
“Akhirnya hari orientasi oleh OSIS tiba..!”, semangat Rani terlihat meluap dalam obrolan itu.
“Kok bisa si kamu semangat kayak gitu?, kalau aku sih malas banget, kenapa harus ada acara kayak gini deh. Perkenalan oleh guru dua hari berturut-turut aja udah bikin capek”, sahut Lisa mengekspresikan rasa malasnya.
“Eh kenapa emang, kan kita jadi bisa cari cogan di antara kakak-kakak OSIS”, ucap rani meledek Lisa.
“Adik-adik semua, ayo berkumpul di lapangan olahraga!”, tiba-tiba pengumuman berdengung di seluruh penjuru sekolah.
Anak-anak baru segera berkumpul di lapangan sekolah. Semua kegiatan berjalan sesuai planning para anggota OSIS, tiga hari berturut-turut kegiatan yang melelahkan berjalan, wajah semua anak-anak terlihat lesu karena jadwal kegiatan yang cukup intens, tak terkecuali wajah Rani yang semangat di hari pertama, kini kehilangan semangatnya di hari terakhir orientasi.
“Kamu menemukan cogan-mu itu?”, ejek Lisa yang duduk di samping Jean dan berhadapan dengan Rani di sebuah angkringan di sekitar sekolah. Mereka memutuskan untuk mencari jajanan terlebih dahulu sebelum pulang dan berlibur di akhir pekan.
“Jangan mengejekku!, ada beberapa kok, tapi kegiatannya membuatku tidak berselera mencari para cogan itu”, timpal Rani yang sedikit kesal dengan cemoohan Lisa.
Jean, Rani dan Lisa terbilang cepat akrab karena bisa di katakan mereka adalah minoritas, karena mayoritas murid di sekolah mereka adalah para tuan dan nona muda dari keluarga kaya. Rani masuk dari jalur beasiswa akademik, sedangkan Lisa masuk dari cabang atletik. Jean beberapa kali termangu melihat kedua temannya, dia bertanya-tanya kenapa dia bisa bersekolah di sana?, padahal biasanya anak-anak panti akan masuk ke sekolah negeri yang kini di masuki Clara dan Beny. Jean senang bisa bertemu teman baru seperti Lisa dan Rani, tapi ini agak aneh sejak awal, kenapa panti memasukannya ke sekolah swasta bergengsi itu, padahal dia tidak termasuk anak dengan nilai akademis yang bagus seperti Rani dan bukan juga seorang atlet berbakat seperti Lisa.
Senin pertama di semester pertama pendidikan telah tiba, Jean berjalan melangkah menuju ruang kelas. Jean melihat Lisa menatap kearahnya, dan Rani yang berdiri bersemangat menyapa Jean.
“Ada apa?”, Jean bertanya kepada kedua temannya itu sembari menyimpan tas yang dibawanya ke bangku tempat Jean duduk di samping Lisa.
“Tadi ada kakak kelas tiga, yang sangaaat tampan menanyakan kamu. Jujurlah kau punya pacar di sekolah ini? ”, cerocos Rani bersemangat.
“Kakak kelas?, aku tak kenal siapapun di sekolah ini sebelumnya”, timpal Jean dengan alis yang berkelok menunjukan ketidak tahuannya.
Seorang guru masuk ke kelas, hal itu membuat Rani yang berdiri di samping meja Jean dan lisa yang berada di barisan paling belakang bergegas berlari ke bangkunya yang ada di barisan paling depan yang berhadapan dengan guru. Suasana belajar seketika menyelimuti seisi kelas.
Satu bulan berlalu, Lisa yang sering tak masuk kelas untuk latihan persiapan lomba panahan, membuat Jean harus sendirian di mejanya. Sedangkan Rani seringkali hanya bergelut dengan buku-buku yang menumpuk di mejanya. Mereka bertiga hanya akan mengobrol di meja kantin saat makan siang.
“Oh iya Jean”, perkataan Lisa ditengah makan siang hari itu membuat Jean refleks menengok kearah Lisa.
“Kamu ingat kakak kelas yang waktu itu mencari Jean?”, Lisa berbicara sambil menyikut tangan Rani yang ada di hadapannya.
“Ya.. ya kenapa dengan kakak tampan itu?”, tanya Rani dengan semangat.
“Kemarin malam, timku di undang makan malam di rumah sponsor sekolah..”, ucap Lisa sambil mengunyah makanan di mulutnya.
“Aku melihat kakak itu keluar dari rumah bapak sponsor sekolah, lalu para kakak senior di timku menyapanya. Jadi aku bertanya ke seniorku tentang kakak itu”, lanjut cerita Lisa setelah menelan makanannya.
“Lalu?, lalu?”, Tanya Rani yang belum kehilangan rasa penasarannya.
“Seniorku bilang kakak itu bernama Enver, dia jarang masuk sekolah. Karena biasanya dia hanya masuk di hari ujian saja, itulah kenapa selama ini kita tidak pernah melihatnya lagi”, ucap Lisa yang kemudian memasukan suapan besar kedalam mulutnya.
“Enver?, aku tak pernah kenal orang dengan nama Enver sebelumnya”, terang Jean setelah melihat Rani yang menatap Jean penuh tanya.
“Hmm, terus kenapa dia menanyakan mu waktu itu?”, gumam Rani bertanya-tanya.
"Mungkin di suruh guru?, karena hari itu pas istirahat aku di panggil keruang guru untuk melengkapi administrasi”. Jelas jean menerka tanpa begitu peduli.
“Masuk akal”, timpal Rani atas terkaan Jean.
“Hmm, tapi kenapa juga kakak tampan itu hanya masuk saat ujian sii, sayang sekali”, celoteh Rani sambil berlagak sedih.
“Halaahh, tujuh cogan yang kamu ceritakan itu juga tidak ada yang pernah kamu dekati!”, ejek Lisa.
“Eiiii, aku kan sudah bilang pacaran itu akan mengganggu konsentrasi belajarku, aku mengumpulkan para cogan itu hanya untuk cuci mata kau tahu!”, terang Rani.
“Yee, apa bedanya ?,” ucap Lisa ditengah gelak tawa Jean.
“Tentu saja beda, cuci mata itu refreshing, hanya untuk penyegaran saja saat otakku ngebul”, terang Rani setengah bercanda.
Di tengah perbincangan ringan tiga sejoli itu, Rani tiba-tiba terpaku menatap kearah belakang Jean yang ada dihadapannya sambil menepuk-nepuk lengan atas Lisa yang ada di sampingnya.
“Apa sih?”, tanya Lisa merespon tepukan Rani.
“Kau bilang kakak tampan itu hanya masuk di hari ujian? , tapi lihat dia ada disini hari ini!”, bisik Rani bersemangat dengan pandangan yang terpaku.
Lisa dan Jean serentak melihat kearah pandangan Rani, beberapa detik mereka terpaku. Jean yang harus memutar tubuhnya untuk melihat kearah Enver tersentak kembali berbalik setelah bertemu pandang dengan Enver. Jean memiringkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang berusaha mengingat sesuatu.
“Lihat, kau mengingat seseorang kan?, Kau kenal kakak itu?”, bisik Rani sambil mencondongkan kepalanya kearah Jean.
“Hmm, entah. Aku yakin tidak pernah mengenalnya, tapi aku seperti pernah melihat seseorang yang mirip ?”, Jelas Jean ragu.
Lisa dan Rani yang berada di hadapan jean sunyi hanya fokus pada Jean.
“Ahh entahlah, mungkin hanya perasaan, atau mungkin dia mirip dengan selebriti yang pernah kulihat di tv? ”, pungkas Jean yang membuat kedua temannya kembali fokus pada makanannya masing-masing.
Seolah sudah tak peduli pada pembahasan tentang Enver, Jean terus mengawang mencoba mengingat seseorang yang dia rasa pernah dia lihat mirip kak Enver.
Rambut hitam legam, Kulit putih yang sepertinya lebih ke pucat, dan mata yang sekilas bersemu merah. Perasaan seperti dejavu terus mengganggu pikiran Jean hingga kemudian teralih fokus kepada guru yang masuk ke kelasnya untuk memulai pembelajaran.
Sore itu Jean duduk di pemberhentian bus, dia melamun melihat bangku tunggu di pemberhentian, membangkitkan ingatan masa kecilnya yang pernah tinggal di bangku umum pinggir jalan selama dua hari. Pikirannya berlanjut mengingat pamannya, dan bertanya-tanya bagaimana kini keadaan keluarga pamannya.
“TIIINN!”, suara klakson mobil membuyarkan lamunan Jean.
“Mari ikut saya nona!”, goda Lisa dengan senyuman has playboy yang ia tirukan sambil sedikit mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
Jean tertawa lebar melihat tingkah temannya dan kemudian masuk kedalam mobil di kursi depan, disamping lisa yang menyetir mobil berukuran kecil miliknya. Sedangkan di kursi penumpang belakang Rani sudah standby sembari fokus merapikan lipstiknya sambil bercermin.
Ya, walau terbilang orang kalangan bawah di sekolah, Lisa dan Rani bukanlah orang yang benar-benar tak berada. Mereka sebenarnya terbilang orang berada secara umum. Jean baru menyadarinya setelah beberapa waktu mengenal mereka.
Hari itu mereka bertiga hendak datang ke acara pesta dalam rangka merayakan kemenangan beberapa tim cabang olahraga di sekolah, termasuk didalamnya cabang atletik yang termasuk tim panahan Lisa di dalamnya. Lisa mengundang Jean dan Rani untuk datang karena para pemain di izinkan mengundang maksimal 5 teman ke pesta tersebut. Tadinya Jean merasa sungkan untuk datang, tapi Rani dengan semangat membujuknya untuk ikut.
“Jean pindah kesini biar aku dandani”, ucap Rani yang meminta Jean pindah duduk ke sampingnya.
“Aku sudah dandan”, jawab Jean menolak permintaan Rani.
“Ayolah, dandananmu terlalu sederhana untuk datang ke pesta”, ucap Rani berpendapat.
“Tapi dandanan ku terlihat mirip dengan Lisa”, Jean menegaskan penolakannya sembari melihat kearah wajah lisa yang fokus menyetir, Lisa melirik kearah Jean dan kemudian kembali melihat kearah jalan.
“Berdandan senyamannya saja!”, ucap Lisa seolah memenuhi permintaan Jean untuk membantunya memberi alasan kepada Rani.
“Yah, kalian berdua memang kompak kalau soal penampilan. Sama-sama terlalu tidak mempedulikan penampilan”. Ucap Rani yang kehilangan semangatnya untuk mendandani Jean.
Mobil memasuki parkiran sebuah gedung mewah, Lisa fokus mencari lahan parker yang masih kosong.
“Waah, lihat semua mobil-mobil para tuan dan nona itu”, mata rani berkeliling memperhatikan mobil-mobil mewah yang berjajar dengan mulut yang sedikit menganga.
Jean sama-sama ternganga dalam diam, walau sudah hampir satu tahun sekolah di sekolahannya, dia masih belum terbiasa dengan kemewahan teman-temannya. Dia hanya bisa terus bersyukur karena kebanyakan teman-teman sekolahnya tidak membeda-bedakannya, hanya segelintir orang yang tak begitu sering bertegur sapa yang terasa membuatnya seolah tak terlihat.
Jean berjalan beriringan dengan dua temannya, dia memasuki ruangan pesta yang sudah penuh dengan orang. Suasananya membuat rasa dingin menjalar dari kakinya hingga kepala, padahal Jean memakai baju dan celana panjang kasual yang tak akan membiarkan angin dingin menyapa kulit tubuhnya, hal itu karena suasana asing yang baru pertama ia rasakan.
“Aku kesana sebentar”. “heii.., kalian ternyata datang..!”,Rani berlari meninggalkan Jean dan Lisa kearah teman-teman lesnya.
“Tetap bersamaku”, ucap Lisa sambil menarik tangan Jean mencari meja kosong untuk duduk.
“Eiii, siapa ini, Sri kandi sekolah kita yang sangat membanggakan!!”, sapa seorang lelaki jangkung sambil memeluk Lisa yang langsung berdiri saat orang tersebut menghampiri tempat duduk Lisa.
“Jangan berlebihan saat menyelamati orang kak, orang lain bisa berfikir kalau aku benar-benar seorang putri dari dewi gandawati nanti”, respon Lisa kepada seniornya itu.
“Hei aku duduk disini oke!”, ucap seorang senior panahan kelas tiga, yang langsung duduk di sebelah Jean.
Wanita itu tersenyum mengangguk menyapa Jean.
“Kamu pasti Jean?, perkenalkan aku clarisa”, ucap senior Lisa itu sambil menyodorkan tangannya.
“Oh iya kak, salam kenal”, ucap Jean sembari menyambut tangan Clarisa.
“Si Lisa ini, selain tim panahan temannya hanya kamu dan Rani. Padahal bukan orang pemalu, tapi benar-benar malas bersosialisasi”. Ejek Clarisa kepada Lisa yang duduk di samping Jean.
Lisa hanya memicingkan matanya untuk menanggapi ejekan Clarisa.
“Kalian mau jus?”, tanya Lisa yang bangkit dari duduknya.
“Tambah satu potong kue dong!”, pinta Clarisa berbarengan dengan Jean yang mengangkat telunjuknya memperagakan angka satu.
“Kalau mau makanan ambil sendiri, tanganku Cuma 2”, keluh Lisa sambil berlalu menuju meja hidangan.
“Omong-omong Jean..”, ucapan mengambang Clarisa di tengah bisingnya suasana pesta membuat Jean berusaha fokus pada Clarisa.
“Apa hubunganmu dengan Enver?”, pertanyaan Clarisa membuat Jean dejavu.
“Enver?, aku tak mengenalnya”, pungkas Jean tanpa ragu.
“eyy, ayolah tak perlu menyembunyikannya dariku. Aku bisa menjamin kerahasiaannya”, bisik Clarisa sambil mendekatkan bibirnya ke pendengaran Jean.
Jean yang mendengar hal itu hanya bisa memiringkan kepalanya berbarengan dengan alisnya yang mengangkat menandakan kebingungan.
“Memangnya kenapa?”, tanya Jean yang mulai penasaran.
Clarisa melihat keberbagai arah sebelum kemudian menggeser kursinya ke dekat ke Jean.
“Enver, pernah menanyakan mu beberapa kali ke kak Bram ( ketua tim basket, sekaligus pacar Clarisa)”ucap Clarisa memulai percakapan.
“Dia menyuruh Bram mencari kelas siswi yang bernama Jean, kemudian hampir setiap minggu meminta Bram untuk memotret mu di sekolah dan mengirimkan photo itu kepadanya secara berkala”, sambung kata Clarisa membuat mata Jean membelalak heran.
“Jangan bilang ke siapapun aku memberitahumu hal ini, soalnya aku memeriksa handphone pacarku tanpa sepengetahuannya, karena kaget melihat ada banyak photo perempuan lain di galerinya, aku memeriksa chat, dan melihat percakapan antara pacarku dan Enver” jelas Clarisa serius.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?, sampai dari kejauhan kalian terlihat sedang bercumbu saking dekatnya”. Ucap Lisa memecahkan suasana serius antara Clarisa dan Jean.
“Aku sedang membicarakan tentang kaos kakimu yang sangat bau”, ucap Clarisa asal.
“Hei itu terlalu mengada-ngada”, pungkas Lisa yang tak begitu menanggapi candaan itu.
Jean terdiam sembari mengusap tengkuknya yang agak merinding, dia mengingat momen pandangan matanya dan Enver bertaut saat di kantin beberapa bulan lalu. Dia bertanya-tanya apakah yang diceritakan Clarisa benar, atau hanya omong kosong semata. Jean tidak bisa memikirkan alasan apa yang membuat Enver bisa melakukan penguntitan itu jika itu benar. Di tengah kegundahannya, Jean memutuskan untuk meminum lemonade yang dibawakan Lisa untuknya sembari mencoba menghiraukan perkataan Clarisa. Itu karena Jean tak bisa menemukan alasan apapun dalam hidupnya yang bisa membuat Enver menguntit dirinya seperti yang di katakana Clarisa.
“Cek..cek”, suara pengeras suara membuyarkan pikiran Jean. Seorang lelaki dengan postur tubuh atletis berdiri di panggung kecil di pusat pesta.
“Selamat malam semuanyaa!!”, sambut laki-laki itu yang di sambut teriakan semangat dari para tamu pesta.
“Hari ini, pesta ini dibuat oleh para sponsor kita yang loyal, untuk merayakan kemenangan beberapa tim atlet dari sekolah kita. Terutama tim panahan Putri, Tim basket putra, dan tim renang yang menyumbang piala serta medali emas”. pidatonya membuat tangan seisi ruangan bertepuk ramai. Jean dengan tatapan bangganya menatap Lisa sambil menepuk-nepuk pundak Lisa. Lisa membalas pujian Jean dengan senyum malu-malu.
Malam yang semakin gelap tak membuat tempat pesta meredup, suara musik semakin intens, orang yang menikmati makanan, beberapa menyeludupkan alcohol di pojok-pojok pesta. Jean berdiri di depan toilet perempuan menunggu Lisa yang sedang buang air. Dia tak bisa menunggu di dalam karena penuh sesak, dan memutuskan menunggu di luar.
“Hei dede manis, kamu anak mana?”, suara limbung itu membuat Jean kaget karena seorang pria mabuk merangkul pundaknya.
Jean berusaha mendorong lelaki itu tapi cengkeramannya cukup kuat.
“Hei bung!, jangan buat masalah dan sadarlah!”,ucap lelaki yang tadi memberikan pidato di tengah pesta.
“Maaf ya dek”, ucap orang itu sambil menarik temannya yang mabuk masuk ke toilet pria.
Jean yang masih sedikit kaget memutuskan meninggalkan Lisa yang masih di toilet dan hendak pergi ke meja tempat duduk Jean sebelumnya.
“Wangi mu tak berubah ya”, ucapan aneh itu membuat Jean berhenti dan melihat kearah suara. Jean membatu melihat Enver yang tersenyum tipis sedang berdiri di lorong jalan menuju ruang pesta.
Jean melihat ke sekeliling memastikan siapa yang sedang Enver ajak bicara.
“Jean, kau tak mengenalku?, padahal aku begitu mengenalmu”, ucapan Enver sulit dicerna oleh Jean, bagi Jean pertanyaan Enver terlalu absurd.
Enver mendekat kearah Jean, sedangkan jean tak bisa berkutik sedikitpun.
“Wangi mu, wangi camilan favoritku saat kecil”, Ucap Enver berbisik di kuping Jean sembari tersenyum.
Enver kemudian meninggalkan Jean yang masih mematung menuju arah keluar dari gedung.
“Jean!?, kenapa ninggalin aku sih?”, keluh Lisa sembari menepuk pundak Jean.
Tepukan Lisa yang tak seberapa itu membuat Jean ambruk, Jean bernafas tersengal seolah sudah menahan nafas dalam waktu yang cukup lama. Lisa yang kaget segera berjongkok memeriksa keadaan Jean. Jean terduduk lemas dengan wajah pucat dan keringat mengucur.
“Jean kau baik-baik saja?”, “kau kenapa?”, pertanyaan panik yang berturut-turut keluar tanpa jeda dari mulut Lisa yang memang panik.
Beberapa orang yang berjalan melalui lorong itu ikut mengerubungi Jean, tanpa banyak kata Lisa membopong Jean ke mobil dan memberi Jean minum. Rani yang baru datang menengok dari arah luar mobil memastikan keadaan Jean dengan wajah khawatir, dan mendapati Jean yang sedang tertidur dalam keadaan lelah. Pada akhirnya malam itu, di pertengahan pesta Rani dan Lisa mengantar Jean pulang ke panti.
Hari itu hari pertama sekolah sejak pesta perayaan, Jean yang baru datang ke kelasnya mendapati Lisa dan Rani berada di mejanya.
“Tumben pagi-pagi ada di kelas?”, tanya Jean ke Lisa yang biasanya mengikuti sesi latihan pagi sebagai ganti pelajaran pertama.
“Kau baik-baik saja?, kau tahu, kita khawatir karena tak ada yang bisa di hubungi sejak kita mengantarmu pulang ke panti”, ucap Lisa yang terlihat lega melihat wajah Jean yang sudah bisa tersenyum.
“Iya, sudah kubilang pakai saja handphone milikku yang tak terpakai, agar kita bisa berkomunikasi dengan nyaman”. Timpal Rani beberapa saat sesudah menghela nafasnya.
“Kalian kan bisa menghubungi nomor panti”, pungkas Jean menanggapi keluhan teman-temannya.
“Itu tak terpikirkan”, ucap rani yang kemudian turun dari meja Jean.
“Kamu kenapa?, asam lambung kah?”, tanya Lisa.
“Tak tau, sepertinya aku melihat penampakan?”, jelas Jean.
“Hah?, eish yang benar saja”, timpal Lisa yang tak percaya.
“Gimana, gimana?”, tanya Rani yang selalu semangat membahas sesuatu.
“Rani cepat duduk ke bangkumu, sudah waktunya belajar!”, ucap guru yang ternyata sudah duduk di meja guru tanpa disadari Rani,Lisa dan Jean.
“Lisa tidak latihan pagi?”, tanya guru itu berbarengan dengan Rani yang berlari ke tempat duduknya.
“Libur seminggu pak”, jelas Lisa.
Pembelajaran berjalan intens seperti biasa, hingga jam istirahat tiba. Jean, Rani dan Lisa duduk berbarengan di meja favorit mereka. Jean duduk berhadapan dengan Lisa yang di sampingnya ada Rani.
“Jean cepat sambung cerita mu pagi ini”, pinta Rani yang terlihat menantikannya.
“Oh itu, saat itu aku di ganggu kakak kelas yang mabuk, di depan pintu toilet. Jadi aku memutuskan untuk meninggalkan Lisa yang masih di toilet dan pergi kemeja”, jelas Jean.
“Di ganggu kakak kelas yang mabuk?, siapa itu?”, tanya Lisa yang kaget.
“Diam dan dengarkan sampai akhir terlebih dahulu”, pinta Rani sambil memukul pelan tangan Lisa, yang di respon ekspresi kecut oleh Lisa.
“Lalu, saat di lorong menuju ke ruang pesta aku tak begitu ingat, yang ku ingat lorong terasa remang agak gelap, dan sesosok entah apa itu mendekatiku, aku ingat dia mengatakan sesuatu, tapi aku tak ingat dia mengatakan apa. Tubuhku terasa sangat berat saat itu, sosok itu pergi menjauh sebelum Lisa menepuk ku dan membuatku tersadar”. Jelas Jean panjang lebar.
Lisa dan Rani terdiam menatap Jean sejenak.
“Jean apa kamu seorang indigo?”, tanya Rani asal.
“Bukan, baru kali ini aku seperti ini. Tapi aku merasa seperti melupakan sesuatu, tapi entah apa itu”, jelas Jean yang agak bingung dengan ingatannya sendiri.
“Kamu harus banyak makan sayuran hijau, kamu sepertinya anemia”, ucap Lisa sembari memindahkan brokoli dari piring miliknya ke piring Jean.
“Ide yang sangat bagus Lisa”, ucap Rani yang ikut-ikutan memberikan brokoli miliknya kepada Jean.
“Hey kalian ini pintar saja mencari alasan ya!”, Jean yang kesal karena dia tahu dua temannya itu tak suka brokoli, hanya bisa pasrah.
“Jean, kamu Jean kan?”, tanya seorang lelaki yang berdiri di samping meja tiga sejoli itu.
Jean menengok kearah lelaki itu dan ternyata orang itu adalah orang mabuk yang mengganggu Jean di malam pesta.
“O..oh iya”, Jean menjawab dengan ragu sambil menganggukkan kepalanya canggung.
“Ah itu, aku dengar aku mengganggumu di malam pesta, aku benar-benar menyesal. Maafkan aku”, ucap lelaki itu sambil mengusap-usap siku kiri menggunakan tangan kanannya.
“A, ah, tak apa. Sepertinya kakak sulit berdiri malam itu, dan teman kakak juga langsung membantuku, jadi tak apa”, ucap Jean dengan canggung.
“Ini sebagai permintaan maafku, tolong di terima. Sampai nanti!”, kakak kelas itu pergi setengah berlari sambil meninggalkan susu coklat kemasan di meja Jean.
“Ow.., apa itu?”, ucap Rani yang tak bisa berkata-kata atas situasi kikuk yang baru saja terjadi di hadapannya.
“Oh jadi dia yang mengganggumu di depan toilet?”, cibir Lisa yang menatap tajam kearah kakak kelas itu pergi.
“Tak apa Jean, pemaaf adalah sifat yang terpuji. Apalagi memaafkan orang tampan sepertinya”. Tatapan cuci mata Rani mengikuti punggung kakak kelas itu.
“Bukankah dia itu anggota basket ya?, tinggi badannya benar-benar indah”, tanya Rani sambil kembali melihat kearah Lisa.
“Iya, namanya..”, “Brian?”, ucapan Lisa terpotong oleh ucapan Jean.
Rani dan lisa melihat kearah Jean dengan pandangan seolah bertanya bagaimana Jean bisa tahu.
Jean kemudian menunjukan susu coklat pemberian Brian, yang ternyata terdapat secarik kertas bertuliskan nomor hp dan nama Brian yang menempel di bawah kemasan susu.
“Ooowwww!!”, Lisa dan Rani serentak merespon sambil menutup mulut mereka yang membulat.
“Dasar kepiting!”, ucap Lisa sambil tertawa ringan.
“Buaya kali..!”, timpal Rani yang kemudian melahap suapan pertamanya.
Hari itu di panti, Jean duduk mengantri di lorong ruang kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan bulanan.
Saat gilirannya tiba, Jean yang kini sudah terbiasa langsung duduk bersandar di kasur pasien tanpa diminta. Dokter mulai mengecek nadi dan kemudian tensi darah setelah sebelumnya memeriksa berat badan.
Hingga tiba rutinitas terakhir yang biasanya di lakukan yaitu pengambilan sekantung darah. Dokter mulai melingkarkan sabuk pengekang di lengan atas Jean, dan kemudian menusuk area di balik siku Jean dengan jarum yang terhubung ke kantung darah melalui selang yang agak panjang.
Jean merasakan darahnya mengalir keluar, aliran darahnya membawa perasaan aneh yang biasanya tak pernah dia rasakan saat pengambilan darah. Hingga Jean tiba-tiba bertanya-tanya kenapa darah anak-anak panti harus di ambil setiap bulan dengan jumlah yang cukup banyak untuk pemeriksaan?, Jean sedikit memiringkan kepalanya karena pikiran-pikiran yang biasanya tak pernah dia pikirkan datang memenuhi kepalanya.
“Kenapa?, ada yang tak nyaman?”, tanya perawat yang melihat gelagat Jean.
“Ah, tidak”, jawab jean sambil tersenyum tipis menjawab pertanyaan perawat.
“Bu, kenapa kita harus mengambil darah sebanyak ini untuk pemeriksaan?, bukankah biasanya satu tabung suntikan saja sudah cukup?”, tanya Jean tiba-tiba.
Dokter yang tadinya sedang fokus mengisi data terdiam menatap Jean, begitu juga dengan dua perawat yang ada di sana.
“Memangnya kamu sekolah kedokteran?”, tanya Dokter itu sambil tersenyum dingin.
Suasana pengecekan kesehatan yang selama ini biasanya terasa ramah tiba-tiba meredup membuat Jean hanya tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan sindir dari dokter.
Jean yang merasa bersalah sudah bertanya mengusap bibirnya beberapa kali tanpa dia sadari.
Kantung darah mulai terisi setengahnya, perasaan tak nyaman yang Jean rasakan perlahan menguat. Dari semua ingatan, dia mengingat mata merah seorang anak yang pernah dia temui saat petak umpet sepuluh tahun yang lalu, Jean yang kalut menggulir matanya melihat kearah selang yang mengalirkan darah dari lengannya ke kantung darah, ingatan lain muncul di kepalanya, sekelebat warna merah dari mata Enver yang tak sengaja saling pandang dengannya di kantin beberapa bulan lalu.
“Haaah!!”, Jean yang membuang nafas keras hingga bersuara membuat perawat menghampirinya.
“Kamu baik-baik saja?, ada apa?”, tanya perawat sigap.
“Hah..?”, Jean baru menyadari keadaannya setelah sadar dari lamunannya. Tubuhnya banyak berkeringat, jantungnya berdegup kencang, dan nafasnya tersengal-sengal.
“Ah, tidak aku baik-baik saja. Hanya sedang sedikit tak enak badan saja”. Dokter yang menghampiri Jean langsung memeriksa nadi di tangan Jean, dan memegang kening Jean dengan punggung tangannya.
“Kok bisa?, tapi tadi saat pemeriksaan kamu baik-baik saja?”,Gumaman sang dokter tak begitu di gubris Jean.
Jean berjalan meninggalkan ruang pemeriksaan kesehatan, dia berjalan pelan sambil berpikir keras. Tanpa disadari dia sudah berada di lorong terbuka yang menghubungkan dua asrama, dia melihat kearah tempat dulu dia bersembunyi saat petak umpet.
Jean mengusap lehernya merinding saat mengingat mata anak kecil yang dia lihat saat itu. Jean berlari ke kamarnya dengan terburu-buru dan kemudian meminum air dari gallon yang memang tersedia di kamar asramanya. Jean yang sudah menghabiskan satu gelas penuh air itu mengambil nafas dalam mencoba menenangkan diri. Jean teringat apa yang terjadi di malam pesta.
Tatapan Enver saat itu membuat tubuh Jean membeku ngeri, terdiam mematung mendengar ucapan Enver yang penuh dengan tanda tanya bagi Jean. Ucapan Enver setelah mengatakan bahwa wangi Jean, adalah wangi camilan favorit Enver.
“Apakah panti masih mengambil darah para penghuninya secara rutin?, menyebalkan sekali saat aku tahu darahmu di minum orang lain. Aku tak lagi bisa mendapatkan darahmu sejak empat tahun lalu karena para bangsat itu.” ucap Ervin saat itu sambil mendengus leher Jean.
“Haah, tapi aku harus menahan diri. Berapa umurmu saat ini?, 16 tahun?, 17 tahun?, kau harus mendatangiku jika kau tak mau menghilang setelah lewat 21 tahun seperti para manusia penghuni panti sebelumnya.” Ucap Enver tepat didepan wajah Jean yang membeku terpaku melihat Enver. Saat itu Jean ingat dengan jelas bisa merasakan nafas Enver di wajahnya saat Enver berbicara.
Jean merinding sampai merasakan geli menyeruak dari dalam tubuhnya saat mengingat ingatan yang sempat hilang berkabut sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!