Aku Ingin Bekerja

Jean terduduk dalam mobil, melihat Enver yang terlihat sedang kesal, duduk di sampingnya.

“Ada masalah?”, Jean bertanya.

“Tak ada”, Enver seperti memaksakan senyumannya.

“Apa kamu ada masalah dengan keluargamu?”, Jean bertanya tepat saat mobil berhenti di depan mansion.

“Ayo masuk, ini sudah malam”, Enver keluar dari mobilnya sambil menunggu Jean mengikutinya.

Jean mengikuti Enver masuk kedalam mansion, tak berani bertanya untuk kedua kalinya Jean hanya memutuskan berbelok kearah kamarnya di persimpangan ruangan.

“Kamu mau kemana?”, Enver memanggil Jean saat menyadari Jean tak ada di belakangnya.

“Apa?, tentu saja ke kamar..”, balas Jean sembari menunjuk kearah lorong kamarnya.

“Nona, tapi barang-barang anda sudah di pindahkan ke kamar tuan”, Siska menjelaskan ditengah kebingungan Jean.

“ooh.. iyaa..”, Jean berjalan ragu kearah Enver, dan mengikuti Enver ke kamarnya.

Saat memasuki ruangan Jean menyadari, kamar Enver adalah tempat saat Jean dibawa teleportasi oleh Enver pertama kali. Karena saat bangun Jean sudah ada di kamarnya waktu itu, Jean tak pernah tahu waktu itu dia teleportasi kemana. Namun mengingat hal itu, membuat Jean merasa sedikit malu karena mengingat situasinya waktu itu, saat Enver sangat bersemangat.

“Kamu mau mandi lagi?”, Enver bertanya ditengah lamunan Jean.

“Oh, tak usah, aku ingin langsung tidur, sebelum pulang aku sudah mandi di hotel”, Jean terlihat sedikit panik sembari melompat, melemparkan tubuhnya ke kasur. Saat itu Jean memang sudah memakai setelan celana training dan kaos pendek sejak keluar dari hotel.

“Baiklah”, jawab Enver sembari membuka jas dan bajunya, dan kemudian melemparkan baju-bajunya itu ke tempat cucian di dekat pintu kamar mandi yang ada di kamarnya. Jean memalingkan wajahnya segera setelah melihat tubuh Enver yang lekukan ototnya terlihat jelas. Jean baru menyadari kalau saat itu pertama kalinya bagi Jean melihat Enver telanjang dada.

Jean dengan terburu-buru membenarkan posisi tidurnya dan membentangkan selimut di atas tubuhnya saat Enver memasuki kamar mandi. Dia berharap akan terlelap segera sebelum Enver keluar dari kamar mandi.

“Kamu sudah tidur?”, Jean terperanjat dari tidurnya saat nafas Enver berderu di tengkuknya.

Tangan Enver menggerayangi pinggang Jean dan masuk menyentuh kulit perutnya. Jean yang sempat membuka matanya kembali menutup matanya berharap Enver berhenti, saat itu Jean benar-benar merasa sangat malu untuk memikirkan apa yang akan terjadi jika dia merespon panggilan Enver.

Namun Enver yang tadinya hanya mendengus menghirup aroma di sekitar tengkuk Jean, mulai mengecup area leher samping Jean perlahan. Jantung Jean semakin berderu, karena dia tahu, jika Enver ingin meminum darahnya, alih-alih mengecup, Enver akan menjilati area yang akan dia gigit.

“Haha, yasudah, kalau kamu belum siap. Kita tidur saja”, Ucap Enver sambil tertawa kecil. Kemudian Enver memeluk pinggang Jean dengan cukup erat, Jean bisa merasakan nafas Enver yang bersuhu hangat berderu di punggung Jean.

“Beraninya!, yasudah biarkan mereka menunggu di sana. Aku akan datang sekarang juga”, suara Enver yang berbisik di tengah panggilannya terdengar seperti sedang tersulut emosi. Sayup suara Enver itu terdengar di ikuti suara pintu yang ditutup.

Jean membuka matanya, melihat kearah jendela yang masih di tutupi tirai. Alih-alih melihat jam yang menggantung di dinding kamar, Jean mencari ponselnya dan melihat jam di sana.

“Yatuhaan, memang ada alasan kenapa keluarganya bisa kaya”. Gumam Jean setelah melihat ponselnya memperlihatkan angka 04:32.

Hari itu Jean duduk di ruang tamu, berbincang dengan salah seorang sekretaris Enver. Sekretari wanita bernama Lily itu datang setelah Jean mengirimkan pesan kepada Enver, pesan yang menagih janji Enver tentang Jean yang ingin bekerja.

“Padahal anda baru selesai menyelesaikan acara pernikahan kemarin, tapi anda malah langsung meminta pekerjaan?”, Lily bergurau dengan senyuman formal.

“Yah, lebih tepatnya enam hari sejak acara pernikahan, karena sisanya pertemuan bisnis Enver”. Jean membalas candaan itu dengan nada tawa menyerupai tawa formal Lily.

“Saya akan menjelaskan pekerjaan anda, untuk awal-awal anda hanya perlu merekap beberapa data seperti ini, dan kemudian menyusun jadwal tuan yang sudah di serahkan sekretari lain kepada anda. Lalu anda bisa menyerahkannya ke tuan Enver setiap pagi sebelum beliau berangkat kerja”. Lily menjelaskan beberapa job desk Jean sambil menjelaskannya di layar laptop.

“Apa? , saya kira saya akan menjadi admin atau resepsionis. Kenapa saya bekerja di bagian secretariat?”, Tanya Jean setelah cukup memahami apa yang di jelaskan Lily .

“Hmm, tapi tuan memerintahkan saya untuk menempatkan anda di secretariat pusat”, Lily cukup kaget karena dia menyangka Jean sudah tahu garis besarnya dari Enver.

“Tapi saya Cuma lulusan sekolah menengah atas, bukan seorang sarjana. Saya kira saya tidak akan cukup untuk dapat bekerja secara professional di secretariat, apalagi di secretariat pusat”, Jean menjelaskan.

“O..oh tunggu sebentar, boleh saya melakukan panggilan di luar sebentar?” Lily berlalu setelah Jean mengangguk menyetujui.

Setelah beberapa saat, ponsel Jean berdering.

“Ya?”, Jean mengangkat panggilan telepon dari Enver.

“Kalau kamu ingin bekerja, maka bekerjalah di secretariat, jika tak mau maka tak ada pilihan lain”. Jelas Enver tepat di telinga Jean.

“Emm, Enver. Sebenarnya aku sudah melihat-lihat di pencarian internet, perusahaan kamu menaungi beberapa rumah produksi animasi dan komik, aku ingin mencoba bekerja di sana”. Jean dengan ragu mengungkapkan ketertarikannya pada suatu hal.

“Hmm, sebentar . Apa Lily masih di sana?”, Enver bertanya pas sekali Lily baru kembali dan duduk di samping Jean.

“Ya , ada”, “Kalau begitu serahkan ponselmu sebentar, biar aku bicara sebentar dengan Lily” .Pinta Enver.

Jean memberikan ponselnya kepada Lily yang terlihat seperti kaget karena Jean bilang Enver ingin bicara. Lalu kemudian Jean hanya mendengar Lily berkata Ya, ya dan baik berulang-ulang membalas penjelasan Enver yang tidak terdengar jelas oleh Jean.

Lily kemudian memberikan ponsel Jean setelah Enver menutup panggilannya. Jean menatap Lily dan tanpa sadar mengangkat kedua alisnya mempertanyakan apa yang di ucapkan Enver.

“Tuan Enver meminta saya untuk menyiapkan rumah produksi animasi dan komik untuk anda, tapi saya pikir semua itu akan membutuhkan waktu untuk mengurus administrasi dan perijinan”, Jelas Lily kepada Jean.

“Apa?, menyiapkan rumah produksi?. Tapi saya memintanya untuk memasukkan saya ke salah satu rumah produksi yang sudah ada, agar saya bisa bekerja sambil belajar di sana”. Jean mengeluh sambil mencoba menghubungi Enver lagi.

“Tuan Enver bilang, ini penawaran terakhir. Anda tak akan di ijinkan bekerja jika mengeluh tentang rencana yang sudah beliau jelaskan tadi”. Lily segera mengatakan pesan dari Enver saat menyadari Jean akan menghubungi Enver.

Jean yang mendengar hal itu segera menyimpan ponselnya dan menatap Lily.

“Saya akan kembali besok untuk membicarakan perencanaan detail rumah produksi yang anda inginkan, setelah menyiapkan beberapa berkas”, Lily berdiri berpamitan pada Jean.

“Ah ya, terimakasih sebelumnya, maaf merepotkan”, Jean menyodorkan tangannya kepada lily.

Lily terlihat bingung beberapa saat sebelum kemudian menyalami tangan Jean dengan canggung.

Malam mengusir cahaya matahari, Jean yang sedang melihat acara komedi favoritnya di ponselnya, tertawa cekikikan sendirian di atas kasurnya.

Jean berbaring menghadap ke sisi kirinya, tepat mengarah ke jendela.

"Apa yang sedang kamu lihat?", suara Enver membuat Jean terperanjat kaget.

" Kamu sudah pulang?, sejak kapan? ". Jean kaget karena Enver yang memeluknya dari belakang, terlihat baru saja mandi.

" Kamu sampai tak menyadari aku masuk?, padahal aku sudah pulang sejak 20 menit lalu", Enver berkata sambil mendekatkan mulutnya ke arah leher Jean.

Jean membiarkan Enver yang menjilati area lehernya, mengingat terakhir kali Enver meminum darah Jean adalah di malam sebelum hari pernikahan.

Decakan lidah Enver yang menjilati darah di leher Jean, bertegur sapa dengan nafasnya yang menggebu.

"Ke.. Kenapa kau buka baju? ", Jean terbata saat melihat Enver yang berada di atas tubuhnya membuka bajunya.

" Tak apa, hanya gerah saja. Kamu juga kelihatannya kegerahan, sampai berkeringat begitu. Jadi buka saja". Enver menarik tubuh Jean hingga duduk dan melepaskan baju Jean dengan cepat.

Jean yang tak sempat untuk kaget itu mendapati Enver membungkam mulut Jean dengan mulut Enver. Tangan Enver meraih pipi Jean dan mundur-mandir di sekitar telinga Jean.

"Tung.. tunggu, kamu.. ". Jean berusaha mendorong Enver untuk menjauh. Tapi pada akhirnya Jean lah yang terdorong hingga berbaring.

Malam itu Jean menyadari apa yang akan terjadi, namun tak sempat untuknya merasa malu, karena Enver yang secara intens merangsang Jean.

Tangan Jean yang kelabakan mencari sesuatu untuk di remas, tanpa sadar mencengkram rambut kepala dan punggung Enver.

Entah sejak kapan Jean kehilangan semua benang di tubuhnya, dia merasakan keringat yang mengalir di tubuhnya dan juga keringat yang mengalir dari tubuh Enver.

Nafasnya yang tersengal menjelaskan pikiran Jean yang mengawang. Suara ranjang yang berderak malam itu menjadi penambah irama semangat untuk malam yang cukup panjang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!