Pesta Perayaan

Sembilan tahun berlalu, Jean yang kini sudah duduk di sekolah menengah atas sedang sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan orientasi siswa di sekolah. Jean masuk ke sekolah menengah atas yang cukup ternama, namun Jean harus beradaptasi  disekolah tersebut sendirian tanpa teman pantinya. Itu kerena hanya Jean yang masuk ke sekolah tersebut, sedangkan Clara dan Beny masuk ke sekolah lain.

Pagi itu di hari Rabu, Jean sedang mengobrol di ruang kelas bersama beberapa teman barunya untuk mengakrabkan diri.

“Akhirnya hari orientasi oleh OSIS tiba..!”, semangat Rani terlihat meluap dalam obrolan itu.

“Kok bisa si kamu semangat kayak gitu?, kalau aku sih malas banget, kenapa harus ada acara kayak gini deh. Perkenalan oleh guru dua hari berturut-turut aja udah bikin capek”, sahut Lisa mengekspresikan rasa malasnya.

“Eh kenapa emang, kan kita jadi bisa cari cogan di antara kakak-kakak OSIS”, ucap rani meledek Lisa.

“Adik-adik semua, ayo berkumpul di lapangan olahraga!”, tiba-tiba pengumuman berdengung di seluruh penjuru sekolah.

Anak-anak baru segera berkumpul di lapangan sekolah. Semua kegiatan berjalan sesuai planning para anggota OSIS, tiga hari berturut-turut kegiatan yang melelahkan berjalan, wajah semua anak-anak terlihat lesu karena jadwal kegiatan yang cukup intens, tak terkecuali wajah Rani yang semangat di hari pertama, kini kehilangan semangatnya di hari terakhir orientasi.

“Kamu menemukan cogan-mu itu?”, ejek Lisa yang duduk di samping Jean dan berhadapan dengan Rani di sebuah angkringan di sekitar sekolah. Mereka memutuskan untuk mencari jajanan terlebih dahulu sebelum pulang dan berlibur di akhir pekan.

“Jangan mengejekku!, ada beberapa kok, tapi kegiatannya membuatku tidak berselera mencari para cogan itu”, timpal Rani yang sedikit kesal dengan cemoohan Lisa.

Jean, Rani dan Lisa terbilang cepat akrab karena bisa di katakan mereka adalah minoritas, karena mayoritas murid di sekolah mereka adalah para tuan dan nona muda dari keluarga kaya. Rani masuk dari jalur beasiswa akademik, sedangkan Lisa masuk dari cabang atletik. Jean beberapa kali termangu melihat kedua temannya, dia bertanya-tanya kenapa dia bisa bersekolah di sana?, padahal biasanya anak-anak panti akan masuk ke sekolah negeri yang kini di masuki Clara dan Beny. Jean senang bisa bertemu teman baru seperti Lisa dan Rani, tapi ini agak aneh sejak awal, kenapa panti memasukannya ke sekolah swasta bergengsi itu, padahal dia tidak termasuk anak dengan nilai akademis yang bagus seperti Rani dan bukan juga seorang atlet berbakat seperti Lisa.

Senin pertama di semester pertama pendidikan telah tiba, Jean berjalan melangkah menuju ruang kelas. Jean melihat Lisa menatap kearahnya, dan Rani yang berdiri bersemangat menyapa Jean.

“Ada apa?”, Jean bertanya kepada kedua temannya itu sembari menyimpan tas yang dibawanya ke bangku tempat Jean duduk di samping Lisa.

“Tadi ada kakak kelas tiga, yang sangaaat tampan menanyakan kamu. Jujurlah kau punya pacar di sekolah ini? ”, cerocos Rani bersemangat.

“Kakak kelas?, aku tak kenal siapapun di sekolah ini sebelumnya”, timpal Jean dengan alis yang berkelok menunjukan ketidak tahuannya.

Seorang guru masuk ke kelas, hal itu membuat Rani yang berdiri di samping meja Jean dan lisa yang berada di barisan paling belakang bergegas berlari ke bangkunya yang ada di barisan paling depan yang berhadapan dengan guru. Suasana belajar seketika menyelimuti seisi kelas.

Satu bulan berlalu, Lisa yang sering tak masuk kelas untuk latihan persiapan lomba panahan, membuat Jean harus sendirian di mejanya. Sedangkan Rani seringkali hanya bergelut dengan buku-buku yang menumpuk di mejanya. Mereka bertiga hanya akan mengobrol di meja kantin saat makan siang.

“Oh iya Jean”, perkataan Lisa ditengah makan siang hari itu membuat Jean refleks menengok kearah Lisa.

“Kamu ingat kakak kelas yang waktu itu mencari Jean?”, Lisa berbicara sambil menyikut tangan Rani yang ada di hadapannya.

“Ya.. ya kenapa dengan kakak tampan itu?”, tanya Rani dengan semangat.

“Kemarin malam, timku di undang makan malam di rumah sponsor sekolah..”, ucap Lisa sambil mengunyah makanan di mulutnya.

“Aku melihat kakak itu keluar dari rumah bapak sponsor sekolah, lalu para kakak senior di timku menyapanya. Jadi aku bertanya ke seniorku tentang kakak itu”, lanjut cerita Lisa setelah menelan makanannya.

“Lalu?, lalu?”, Tanya Rani yang belum kehilangan rasa penasarannya.

“Seniorku bilang kakak itu bernama Enver, dia jarang masuk sekolah. Karena biasanya dia hanya masuk di hari ujian saja, itulah kenapa selama ini kita tidak pernah melihatnya lagi”, ucap Lisa yang kemudian memasukan suapan besar kedalam mulutnya.

“Enver?, aku tak pernah kenal orang dengan nama Enver sebelumnya”, terang Jean setelah melihat Rani yang menatap Jean penuh tanya.

“Hmm, terus kenapa dia menanyakan mu waktu itu?”, gumam Rani bertanya-tanya.

"Mungkin di suruh guru?, karena hari itu pas istirahat aku di panggil keruang guru untuk melengkapi administrasi”. Jelas jean menerka tanpa begitu peduli.

“Masuk akal”, timpal Rani atas terkaan Jean.

“Hmm, tapi kenapa juga kakak tampan itu hanya masuk saat ujian sii, sayang sekali”, celoteh Rani sambil berlagak sedih.

“Halaahh, tujuh cogan yang kamu ceritakan itu juga tidak ada yang pernah kamu dekati!”, ejek Lisa.

“Eiiii, aku kan sudah bilang pacaran itu akan mengganggu konsentrasi belajarku, aku mengumpulkan para cogan itu hanya untuk cuci mata kau tahu!”, terang Rani.

“Yee, apa bedanya ?,” ucap Lisa ditengah gelak tawa Jean.

“Tentu saja beda, cuci mata itu refreshing, hanya untuk penyegaran saja saat otakku ngebul”, terang Rani setengah bercanda.

Di tengah perbincangan ringan tiga sejoli itu, Rani tiba-tiba terpaku menatap kearah belakang Jean yang ada dihadapannya sambil menepuk-nepuk lengan atas Lisa yang ada di sampingnya.

“Apa sih?”, tanya Lisa merespon tepukan Rani.

“Kau bilang kakak tampan itu hanya masuk di hari ujian? , tapi lihat dia ada disini hari ini!”, bisik Rani bersemangat dengan pandangan yang terpaku.

Lisa dan Jean serentak melihat kearah pandangan Rani, beberapa detik mereka terpaku. Jean yang harus memutar tubuhnya untuk melihat kearah Enver tersentak kembali berbalik setelah bertemu pandang dengan Enver. Jean memiringkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang berusaha mengingat sesuatu.

“Lihat, kau mengingat seseorang kan?, Kau kenal kakak itu?”, bisik Rani sambil mencondongkan kepalanya kearah Jean.

“Hmm, entah. Aku yakin tidak pernah mengenalnya, tapi aku seperti pernah melihat seseorang yang mirip ?”, Jelas Jean ragu.

Lisa dan Rani yang berada di hadapan jean sunyi hanya fokus pada Jean.

“Ahh entahlah, mungkin hanya perasaan, atau mungkin dia mirip dengan selebriti yang pernah kulihat di tv? ”, pungkas Jean yang membuat kedua temannya kembali fokus pada makanannya masing-masing.

Seolah sudah tak peduli pada pembahasan tentang Enver, Jean terus mengawang mencoba mengingat seseorang yang dia rasa pernah dia lihat mirip kak Enver.

Rambut hitam legam, Kulit putih yang sepertinya lebih ke pucat, dan mata yang sekilas bersemu merah. Perasaan seperti dejavu terus mengganggu pikiran Jean hingga kemudian teralih fokus kepada guru yang masuk ke kelasnya untuk memulai pembelajaran.

Sore itu Jean duduk di pemberhentian  bus, dia melamun melihat bangku tunggu di pemberhentian, membangkitkan ingatan masa kecilnya yang pernah tinggal di bangku umum pinggir jalan selama dua hari. Pikirannya berlanjut mengingat pamannya, dan bertanya-tanya  bagaimana kini keadaan keluarga pamannya.

“TIIINN!”, suara klakson mobil membuyarkan lamunan Jean.

“Mari ikut saya nona!”, goda Lisa dengan senyuman has playboy yang ia tirukan sambil sedikit mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.

Jean tertawa lebar melihat tingkah temannya dan kemudian masuk kedalam mobil di kursi depan, disamping lisa yang menyetir mobil berukuran kecil miliknya. Sedangkan di kursi penumpang belakang Rani sudah standby sembari fokus merapikan lipstiknya sambil bercermin.

Ya, walau terbilang orang kalangan bawah di sekolah, Lisa dan Rani bukanlah orang yang benar-benar tak berada. Mereka sebenarnya terbilang orang berada secara umum. Jean baru menyadarinya setelah beberapa waktu mengenal mereka.

Hari itu mereka bertiga hendak datang ke acara pesta dalam rangka merayakan kemenangan beberapa tim cabang olahraga di sekolah, termasuk didalamnya cabang atletik yang termasuk tim panahan Lisa di dalamnya. Lisa mengundang Jean dan Rani untuk datang karena para pemain di izinkan mengundang maksimal 5 teman ke pesta tersebut. Tadinya Jean merasa sungkan untuk datang, tapi Rani dengan semangat membujuknya untuk ikut.

“Jean pindah kesini biar aku dandani”, ucap Rani yang meminta Jean pindah duduk ke sampingnya.

“Aku sudah dandan”, jawab Jean menolak permintaan Rani.

“Ayolah, dandananmu terlalu sederhana untuk datang ke pesta”, ucap Rani berpendapat.

“Tapi dandanan ku terlihat mirip dengan Lisa”, Jean menegaskan penolakannya sembari melihat kearah wajah lisa yang fokus menyetir, Lisa melirik kearah Jean dan kemudian kembali melihat kearah jalan.

“Berdandan senyamannya saja!”, ucap Lisa seolah memenuhi permintaan Jean untuk membantunya memberi alasan kepada Rani.

“Yah, kalian berdua memang kompak kalau soal penampilan. Sama-sama terlalu tidak mempedulikan penampilan”. Ucap Rani yang kehilangan semangatnya untuk mendandani Jean.

Mobil memasuki parkiran sebuah gedung mewah, Lisa fokus mencari lahan parker yang masih kosong.

“Waah, lihat semua mobil-mobil para tuan dan nona itu”, mata rani berkeliling memperhatikan mobil-mobil mewah yang berjajar dengan mulut yang sedikit menganga.

Jean sama-sama ternganga dalam diam, walau sudah hampir satu tahun sekolah di sekolahannya, dia masih belum terbiasa dengan kemewahan teman-temannya. Dia hanya bisa terus bersyukur karena kebanyakan teman-teman sekolahnya tidak membeda-bedakannya, hanya segelintir orang yang tak begitu sering bertegur sapa yang terasa membuatnya seolah tak terlihat.

Jean berjalan beriringan dengan dua temannya, dia memasuki ruangan pesta yang sudah penuh dengan orang. Suasananya membuat rasa dingin menjalar dari kakinya hingga kepala, padahal Jean memakai baju dan celana panjang kasual yang tak akan membiarkan angin dingin menyapa kulit tubuhnya, hal itu  karena suasana asing yang baru pertama ia rasakan.

“Aku kesana sebentar”. “heii.., kalian ternyata datang..!”,Rani berlari meninggalkan Jean dan Lisa kearah teman-teman lesnya.

“Tetap bersamaku”, ucap Lisa sambil menarik tangan Jean mencari meja kosong untuk duduk.

“Eiii, siapa ini, Sri kandi sekolah kita yang sangat membanggakan!!”, sapa seorang lelaki jangkung sambil memeluk Lisa yang langsung berdiri saat orang tersebut menghampiri tempat duduk Lisa.

“Jangan berlebihan saat menyelamati orang kak, orang lain bisa berfikir kalau aku benar-benar seorang putri dari dewi gandawati nanti”, respon Lisa kepada seniornya itu.

“Hei aku duduk disini oke!”, ucap seorang senior panahan kelas tiga, yang langsung duduk di sebelah Jean.

Wanita itu tersenyum mengangguk menyapa Jean.

“Kamu pasti Jean?, perkenalkan aku clarisa”, ucap senior Lisa itu sambil menyodorkan tangannya.

“Oh iya kak, salam kenal”, ucap Jean sembari menyambut tangan Clarisa.

“Si Lisa ini, selain tim panahan temannya hanya kamu dan Rani. Padahal bukan orang pemalu, tapi benar-benar malas bersosialisasi”. Ejek Clarisa kepada Lisa yang duduk di samping Jean.

Lisa hanya memicingkan matanya untuk menanggapi ejekan Clarisa.

“Kalian mau jus?”, tanya Lisa yang bangkit dari duduknya.

“Tambah satu potong kue dong!”, pinta Clarisa berbarengan dengan Jean yang mengangkat telunjuknya memperagakan angka satu.

“Kalau mau makanan ambil sendiri, tanganku Cuma 2”, keluh Lisa sambil berlalu menuju meja hidangan.

“Omong-omong Jean..”, ucapan mengambang Clarisa di tengah bisingnya suasana pesta membuat Jean berusaha fokus pada Clarisa.

“Apa hubunganmu dengan Enver?”, pertanyaan Clarisa membuat Jean dejavu.

“Enver?, aku tak mengenalnya”, pungkas Jean tanpa ragu.

“eyy, ayolah tak perlu menyembunyikannya dariku. Aku bisa menjamin kerahasiaannya”, bisik Clarisa sambil mendekatkan bibirnya ke pendengaran Jean.

Jean yang mendengar hal itu hanya bisa memiringkan kepalanya berbarengan dengan alisnya yang mengangkat menandakan kebingungan.

“Memangnya kenapa?”, tanya Jean yang mulai penasaran.

Clarisa melihat keberbagai arah sebelum kemudian menggeser kursinya ke dekat ke Jean.

“Enver, pernah menanyakan mu beberapa kali ke kak Bram ( ketua tim basket, sekaligus pacar Clarisa)”ucap Clarisa memulai percakapan.

“Dia menyuruh Bram mencari kelas siswi yang bernama Jean, kemudian hampir setiap minggu meminta Bram untuk memotret mu di sekolah dan mengirimkan photo itu kepadanya secara berkala”, sambung kata Clarisa membuat mata Jean membelalak heran.

“Jangan bilang ke siapapun aku memberitahumu hal ini, soalnya aku memeriksa handphone pacarku tanpa sepengetahuannya, karena kaget melihat ada banyak photo perempuan lain di galerinya, aku memeriksa chat, dan melihat percakapan antara pacarku dan Enver” jelas Clarisa serius.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?, sampai dari kejauhan kalian terlihat sedang bercumbu saking dekatnya”. Ucap Lisa memecahkan suasana serius antara Clarisa dan Jean.

“Aku sedang membicarakan tentang kaos kakimu yang sangat bau”, ucap Clarisa asal.

“Hei itu terlalu mengada-ngada”, pungkas Lisa yang tak begitu menanggapi candaan itu.

Jean terdiam sembari mengusap tengkuknya yang agak merinding, dia mengingat momen pandangan matanya dan Enver bertaut saat di kantin beberapa bulan lalu. Dia bertanya-tanya apakah yang diceritakan Clarisa benar, atau hanya omong kosong semata. Jean tidak bisa memikirkan alasan apa yang membuat Enver bisa melakukan penguntitan itu jika itu benar. Di tengah kegundahannya, Jean memutuskan untuk meminum lemonade yang dibawakan Lisa untuknya sembari mencoba menghiraukan perkataan Clarisa. Itu karena Jean tak bisa menemukan alasan apapun dalam hidupnya yang bisa membuat Enver menguntit dirinya seperti yang di katakana Clarisa.

“Cek..cek”, suara pengeras suara membuyarkan pikiran Jean. Seorang lelaki dengan postur tubuh atletis berdiri di panggung kecil di pusat pesta.

“Selamat malam semuanyaa!!”, sambut laki-laki itu yang di sambut teriakan semangat dari para tamu pesta.

“Hari ini, pesta ini dibuat oleh para sponsor kita yang loyal, untuk merayakan kemenangan beberapa tim atlet dari sekolah kita. Terutama tim panahan Putri, Tim basket putra, dan tim renang yang menyumbang piala serta medali emas”. pidatonya membuat tangan seisi ruangan bertepuk ramai. Jean dengan tatapan bangganya menatap Lisa sambil menepuk-nepuk pundak Lisa. Lisa membalas pujian Jean dengan senyum malu-malu.

Malam yang semakin gelap tak membuat tempat pesta meredup, suara musik semakin intens, orang yang menikmati makanan, beberapa menyeludupkan alcohol di pojok-pojok pesta. Jean berdiri di depan toilet perempuan menunggu Lisa yang sedang buang air. Dia tak bisa menunggu di dalam karena penuh sesak, dan memutuskan menunggu di luar.

“Hei dede manis, kamu anak mana?”, suara limbung itu membuat Jean kaget karena seorang pria mabuk merangkul pundaknya.

Jean berusaha mendorong lelaki itu tapi cengkeramannya cukup kuat.

“Hei bung!, jangan buat masalah dan sadarlah!”,ucap lelaki yang tadi memberikan pidato di tengah pesta.

“Maaf ya dek”, ucap orang itu sambil menarik temannya yang mabuk masuk ke toilet pria.

Jean yang masih sedikit kaget memutuskan meninggalkan Lisa yang masih di toilet dan hendak pergi ke meja tempat duduk Jean sebelumnya.

“Wangi mu tak berubah ya”, ucapan aneh itu membuat Jean berhenti dan melihat kearah suara. Jean membatu melihat Enver yang tersenyum tipis sedang berdiri di lorong jalan menuju ruang pesta.

Jean melihat ke sekeliling memastikan siapa yang sedang Enver ajak bicara.

“Jean, kau tak mengenalku?, padahal aku begitu mengenalmu”, ucapan Enver sulit dicerna oleh Jean, bagi Jean pertanyaan Enver terlalu absurd.

Enver mendekat kearah Jean, sedangkan jean tak bisa berkutik sedikitpun.

“Wangi mu, wangi camilan favoritku saat kecil”, Ucap Enver berbisik di kuping Jean sembari tersenyum.

Enver kemudian meninggalkan Jean yang masih mematung menuju arah keluar dari gedung.

“Jean!?, kenapa ninggalin aku sih?”, keluh Lisa sembari menepuk pundak Jean.

Tepukan Lisa yang tak seberapa itu membuat Jean ambruk, Jean bernafas tersengal seolah sudah menahan nafas dalam waktu yang cukup lama. Lisa yang kaget segera berjongkok memeriksa keadaan Jean. Jean terduduk lemas dengan wajah pucat dan keringat mengucur.

“Jean kau baik-baik saja?”, “kau kenapa?”, pertanyaan panik yang berturut-turut keluar tanpa jeda dari mulut Lisa yang memang panik.

Beberapa orang yang berjalan melalui lorong itu ikut mengerubungi Jean, tanpa banyak kata Lisa membopong Jean ke mobil dan memberi Jean minum. Rani yang baru datang menengok dari arah luar mobil memastikan keadaan Jean dengan wajah khawatir, dan mendapati Jean yang sedang tertidur dalam keadaan lelah. Pada akhirnya malam itu, di pertengahan pesta Rani dan Lisa mengantar Jean pulang ke panti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!