Sebelum Hari Pernikahan

Di sore hari yang mendung, angin dingin berhembus menggoyangkan tangkai-tangkai bunga. Kaki Jean melangkah menginjak rerumputan hijau, wajahnya melihat ke arah kiri sisi tubuhnya. Sedangkan Enver berjalan di sisi kanan Jean, melangkah pelan, menyamakan kecepatan langkahnya dengan langkah Jean.

“Kenapa kamu lama sekali?”, Jean bertanya mengacu pada waktu Enver mendadak pulang karena Jean ingin jalan-jalan.

“Begitukah?, padahal hanya 20 menit”, Enver menjawab.

“Kamu kan bisa teleportasi”, Jean menghentikan langkahnya.

“Ada batasan untuk melakukan hal seperti itu, aku butuh energy yang sangat besar untuk menempuh jarak sejauh itu”, Enver berbalik kebelakang menatap Jean yang tiba-tiba berhenti berjalan.

“Ohh, begitu..”, Jean bergumam.

“Kamu tahu beberapa temanku keluar dari panti, kudengar ada kebijakan baru di panti”, Jean memulai topik yang membuatnya gatal.

“Kupikir kamu sudah memutuskan untuk tidak mempedulikan apapun mengenai panti”. Enver berusaha menyudahi topik.

“Teman-temanku bilang, ada kebakaran di panti. Ada banyak korban juga, dengan umur kisaran 20 sampai 22 tahun. Mereka bilang beritanya sangat heboh di semua media. Tapi anehnya entah kenapa aku tak melihat atau mendengar berita itu sedikitpun. Padahal aku sering menggunakan akun social mediaku.” Ucap Jean masih dengan nada datar, dan mata yang menghindari menatap Enver.

“Kamu jelas tahu, kamu tak memiliki urusan apapun lagi dengan panti. Jadi jangan terlalu di hiraukan”. Enver memberi saran.

“Yaah, kamu benar. Aku yang tak bisa melakukan apapun ini, memang sebaiknya tak perlu menghiraukan apapun. Bahkan penasaran pun sepertinya sudah berlebihan untukku”. Ucap Jean. Enver hanya terdiam menanggapi ucapan Jean yang lebih seperti keluhan itu.

“Hmm, kamu punya usaha apa saja?”, Jean bertanya kepada Enver sambil mulai berjalan lagi.

“yah ada beberapa, kamu bisa lihat di internet tentang bisnis apa saja yang perusahaan ku jalani”, Enver mengikuti Jean berjalan.

“Apa ada lowongan kerja yang cocok untukku?”, pertanyaan Jean membuat Enver yang tadinya melihat arah lain, langsung berpaling menatap Jean.

“Kenapa?”, Enver bertanya.

“Tak ada alasan khusus, aku hanya bosan terus berada di mansion”, Jean menjawab dengan santai.

“Kamu bisa pergi berjalan-jalan atau berbelanja keluar”, Enver menyarankan hal lain.

“Bersama rombongan yang kamu tugaskan itu?, yang benar saja!.”. Jean berucap sambil sedikit tertawa.

“Kamu tahu mengenai penurunan fungsi otak jika terlalu lama tidak di gunakan?. Nah sepertinya aku sudah mulai idiot”. Ucap Jean.

“Tapi belum setahun sejak kamu lulus sekolah”, Enver menjelaskan.

“Atau kamu bisa lanjut kuliah”, Enver menyarankan hal lain.

“Baiklah, aku akan kuliah. Tapi tanpa pengawalan”. Jean memberikan Syarat.

“Tidak bisa”. Enver melarang dengan tegas.

“Kalau begitu biarkan aku bekerja, jadi kasir kek, jadi staf admin kek. Setidaknya di tempat dimana aku tak perlu pengawalan berlebihan sepeti saat aku ingin pergi bertemu dengan teman-temanku”. Nada bicara Jean mulai meninggi.

“hahhh, baiklah kita lihat saja nanti setelah acara pernikahan kita selesai”. Enver mengalah walau harus membuang nafas dengan keras untuk menghilangkan emosinya.

“Lalu kapan aku akan di perkenalkan kepada keluargamu?”, Pertanyaan Jean berlanjut menambah masam di wajah Enver.

“Tak perlu”, Enver menjawab dengan nafas pendeknya.

“Kamu ingin menikahi seseorang tapi tak ingin memperkenalkannya pada keluargamu?, yang benar saja”. Ucap Jean sambil membuang muka.

“Ada apa denganmu hari ini?, aku sudah cukup lelah dengan urusanku. Dan kini kamu mencoba menekan ku sampai titik mana?”, Enver bertanya sembari menggenggam dua bahu Jean dan memaksa Jean untuk menatap matanya.

“Menekan apanya?, aku hanya bertanya. Jika kamu segitunya tak ingin aku bertemu dengan keluargamu, yasudah tak perlu!. Mempertemukan seekor peliharaan kepada keluarga, memang bukanlah hal yang penting”. Jean mendorong dirinya menjauh dari cengkraman Enver sekuat tenaga.

“Hahh, tolong berhentilah bersikap seperti ini, aku mencoba semua hal yang terbaik untukmu. Karena itu tolong berhentilah terus meminta hal yang sudah ku larang dan ku tolak”, Enver memeluk Jean yang mencoba menjauh. Jean terdiam kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Enver yang berdiri sedikit membungkuk di depannya.

“Terasa lebih menyebalkan karena kamu tahu kelemahanku”, Jean bergumam, dan kemudian hanya terdiam dalam pelukan Enver. Begitulah amarah Jean akan langsung mereda jika dia berada dalam pelukan Enver seperti itu.

Hari pernikahan sudah tinggal dua hari lagi. Jean duduk di dalam mobil yang sedang melaju menuju salah satu hotel yang di kelola perusahaan Varen. Hotel yang akan menjadi tempat acara pernikahannya di adakan.

Rencananya Jean akan menginap di hotel tersebut untuk persiapan pernikahan. Rombongan mobil Jean sudah sampai di depan pintu lobi hotel, Jean datang tanpa Enver yang memang masih saja sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi hari itu wajah Jean penuh semangat karena tahu teman-temannya akan ikut menginap di sana mulai besok malam. Banyak orang lalu lalang sibuk mempersiapkan tempat perjamuan. Di Sana Jean tak terlalu bisa membedakan mana manusia biasa dan mana Vampir. Jean hanya berpikir di dalam kepalanya, bukankah mereka semua sama saja?, mereka bahkan bisa berbaur seperti ini saat bekerja.

Hari berlanjut, Jean yang kini lebih seperti orang hidup karena ada banyak kegiatan dua hari terakhir, malam sebelum hari pernikahan, Jean tidur bersama Lisa, Rani, Clara dan Clarisa di satu kamar yang sama. Sebelum tidur mereka berbincang sampai malam larut malam.

Di tengah remangnya cahaya di kamar, ponsel Jean menyala. Sebuah pesan dari Enver muncul di Jendela notifikasi. Jean yang memang satu-satunya orang yang belum tidur membuka pesan tersebut.

‘Aku ada di depan pintu kamarmu’, isi pesan Enver membuat Jean bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-endap keluar dari kamar.

“Ada apa?”, Jean berbisik takut teman-temannya terbangun.

Enver memegang tangan Jean dengan erat, menarik Jean masuk ke kamar yang ada di sebrang kamar Jean.

“Kemari, biarkan aku meminum darahmu”, Enver menarik Jean ke pangkuannya dengan sangat cepat.

“Sebentar!”, Jean sedikit berteriak sambil menutup mulut Enver yang sudah mulai membuka dengan kedua tangannya, wajah Jean merah padam karena Enver dengan tiba-tiba membuat Jean duduk di pangkuan Enver.

“Jangan di leher atau di pergelangan tangan, gigit di tempat yang tertutup”. Jean menaikkan tangan kaos pendek yang sedang di pakainya, sambil teringat model gaun pernikahan miliknya yang memang cukup tertutup, tapi leher dan bahunya sedikit terbuka.

“Disini, panjang tangan salah satu gaun pernikahan ada yang tiga perempat jadi disini sepertinya aman”. Jean menjelaskan sambil menunjuk tepat di area bekas suntikan imunisasi saat masih balita.

Enver tersenyum sambil menjilat area itu dengan lidahnya. Hal itu membuat wajah Jean bertambah merah karena merasa sangat malu.

‘Kenapa harus selalu menjilati tempat yang akan di gigit si?, itu membuatku sangat malu’, Jean berucap dalam hatinya tanpa menggerakkan bibirnya sedikitpun.

Wajah Jean merengut merasakan gigi Enver yang mulai menusukan giginya ke daging lengan Jean. Darah Jean mengalir bersamaan dengan suara seruputan yang keluar dari mulut Enver. Sesekali Enver melepaskan gigitannya dan membersihkan darah yang mengalir di lengan Jean dengan Lidahnya.

“Ah!”, Jean sedikit berteriak sembari menahan tangan kanan Enver yang mencoba masuk kedalam kaus Jean.

“Apa yang kamu lakukan?”, Jean bertanya dengan wajahnya yang sudah seperti tomat matang.

“Aku tak bisa terus meminum darah di satu tempat tubuhmu, gaunmu menutupi area perut dan dada kan?”, Ucap Enver sambil membanting Jean pelan ke kasur.

Enver mengangkat baju Jean dan mulai menggigiti area pinggang Jean. Beralih ke sekitar dada Jean yang hanya tertutup bra yang dia gunakan.

“Hey jangan berlebihan!”, Jean memegang dua sisi pipi Enver dengan kedua tangannya, karena menyadari tangan Enver berusaha melorotkan celana Jean.

“Besok kita sudah resmi menikah, tapi kamu masih saja malu hanya untuk memperlihatkan pahamu?”, Enver melihat ke ara mata Jean.

“Tapi malam ini kita masih belum resmi menjadi suami istri!”, Jean melirik ke arah lain karena jantungnya yang sudah berdebar kencang semakin tak terkendali saat dia melihat wajah Enver dengan ekspresi menggoda dan bibir yang belepotan dengan darah.

“Haah, baiklah. Padahal kamu yang menawarkan untuk berhubungan tanpa harus menikah sebelumnya. Tapi aku yang hanya ingin menggigit pahamu, kamu larang karena tak tahan dengan rasa malu?. Kamu tak konsisten sekali!”, Enver mengeluh sambil bangkit dan kemudian menindih tubuh Jean sambil memeluknya.

“Jangan di sana, di sana akan kelihatan!”, Jean berbicara dengan cepat saat merasakan gigi Enver hampir menyentuh bahunya.

“Yaa”. Enver beralih ujung bahu Jean, lalu meneruskan ke bekas gigitannya di sekitar lengan Jean sebelumnya.

“Kenapa tak bisa menggigit di satu tempat?, apa ada alasan medisnya?”, Jean bertanya di tengah decakan lidah Enver.

“Tidak, hanya ingin saja”, jawaban Enver yang terdengar sepele itu membuat Jean kehabisan kata-kata untuk berucap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!