CEO'S Secret Husband
"Maribel, kamu tidak boleh terlalu banyak bermain di luar. Dunia luar berbahaya untuk mu, jadi berdiam saja di rumah, en?"
"Maribel, kamu harus terbiasa dengan makanan sederhana seperti ini mulai sekarang. Bagaimanapun bibi harus menghemat pengeluaran, mengerti?"
"Maribel, kau belum cukup umur untuk mengurus perusahaan. Biarkan paman yang melakukannya dalam sementara waktu ini, bagaimana?"
"Maribel, kamu harus dengarkan bibimu.."
"Maribel, kamu harus patuh..bla..bla"
"Maribel, anak yang baik..bla..bla"
"Maribel, anak yang penurut...bla..."
Seperti itu, Maribel melewati tujuh tahun kehidupannya seperti seorang gadis penurut yang bodoh. Dia mendengar kan ucapan bibinya dan menuruti semua perkataan nya seperti boneka manis yang dapat dengan mudah dimainkan.
Hingga tepat di ulang tahunnya yang ke delapan belas, Maribel bangun dari tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya dengan masih mengenakan gaun tidurnya yang bewarna putih. Rambut ikal hitam nya jatuh menjuntai ke pinggang nya yang ramping, itu bergoyang dengan indah tiap kali hentakan kakinya yang bergerak menuruni anak tangga.
Hingga sebuah suara mengetuk indra pendengarannya.
"Tidak, ku pikir kita tidak perlu membunuhnya"
Maribel menghentikan langkahnya. Pijakan terhenti tepat di belokan tangga.
"Aku sudah mengurusnya cukup baik sejauh ini dan membuatnya seperti boneka kecil polos yang akan menuruti semua perkataan ku"
Tangan Maribel yang memegang lengan besi tangga itu perlahan mengencang.
"Akan sangat sia-sia jika kita membunuhnya seperti kedua orang tuanya. Ku pikir, kita dapat memanfaatkan keberadaan gadis malang itu"
Otot-otot tubuh Maribel menegang dan bulu matanya bergertar dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan.
"Dia masih begitu muda dan cantik. Kita dapat mengatur pernikahan politik untuk nya guna memperluas jaringan perusahaan"
Kedua kaki jenjangnya mulai bergetar, seperti akan roboh. Cepat-cepat Maribel meraih pegangan tangga.
"Soal itu kau tidak perlu khawatir. Seperti yang ku katakan, dia akan dengan patuh menuruti semua perkataan ku. Jadi, biar ini menjadi urusanku"
"En, aku mengerti"
Tap!
Agaknya panggilan sudah berakhir.
Maribel merasakan detak jantungnya berdetak cepat dan dia memutar tubuh nya dan bergerak se-pelan mungkin untuk kembali ke lantai atas dan menuju kamarnya.
Dia naik ke atas ranjang dan menyusup ke bawah selimut. Seperti itu dia memejamkan mata dan bersikap seolah-olah masih terbuai dalam bunga tidur yang panjang.
Maribel mendengar suara pintu kamarnya di dorong terbuka.
Detak jantungnya kian memburu lebih cepat. Mengepalkan tangannya di bawah selimut, Maribel seusaha mungkin untuk mengatur segala tekanan yang ada dalam dirinya.
Biar bagaimanapun...
Belum saatnya gunung Merapi dalam dirinya itu meledak.
"Maribel, ini sudah pagi. Ayo bangun!"
Selalu nya suara wanita empat puluhan itu terdengar hangat, tapi untuk pertama kali kehangatannya telah menyiksa Maribel dalam luka tak berdarah.
Sayup-sayup Maribel mendengar langkah kakinya yang begitu jelas mengetuk lantai dan tidak lama setelannya. Dia mendengar suara tirai jendela yang di tarik dan begitu saja seberkas sinar matahari pagi menyeruak masuk kedalam.
"Maribel"
Maribel mendorong selimut dan bersikap polos seperti biasa dengan membuka mata dan menunjukkan wajahnya yang mengantuk.
"Bibi.." Sesaat dia menguap malas dan meregangkan lengan panjang ke atas.
"Kau akhirnya bangun" Wanita itu berpakaian rapi dalam potongan gaun hitam polos nya yang konservatif yang menutupi separa betis. Tubuhnya ramping dan wajahnya yang lumayan awet, sedikit melekangkan kecantikan nya yang anggun.
Itu adalah jenis kecantikan yang cukup mirip dengan almarhum ibunya. Kecantikan yang sudah seperti gen keluarga itu juga menurun pada Maribel.
"Bukan kah masih terlalu awal untuk bangun?" Maribel menjatuhkan bahunya. Sikapnya terlihat malas dan lesu, "Bagaimanapun ini adalah akhir pekan, toh aku juga tidak pergi kemana-mana"
Breta melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang senyum yang untuk pertama kalinya membuat Maribel merasa begitu mual melihatnya.
"Bibi mengerti. Tapi apa kau tak ingat hari ini hari apa?"
Maribel mengucek-ngucek matanya, "Ingat" Dia mengangkat kepalanya kearah bibinya, "Bukankah hari ini hari minggu? Lalu ada apa dengan itu?"
Breta menarik sudut bibirnya keatas dan raut wajahnya tenggelam dalam senyum keibuan, "Sepertinya kau benar-benar lupa. Ini adalah hari ulang tahun mu"
Maribel merasa sakit ketika mendandang wajah yang tersenyum penuh keibuan itu, begitu mirip dengan ibunya. Jika dulu itu adalah sakit akan kerinduan, tapi kini...
Itu adalah buah luka dari kekecewaan.
Merasakan keheningan Maribel, Breta mengerutkan keningnya, "Ada apa? Kelihatannya kau tidak bahagia?"
Maribel menyungging senyum tipis di bibir, menelan kepahitan...'Ya, aku tidak bahagia'
'Dan baru saja akan kecewa dan ingin marah'
Maribel menggigit bibirnya dan merasa asam di pangkal hidungnya, "Bukan apa-apa. Aku hanya merindukan ibu dan ayah"
Breta terlihat sedih untuknya. Dia berjalan mendatangi ranjang dan memeluk tubuh kurusnya. Saat itu, Maribel ingin muntah menghadapi kepalsuannya.
"Bibi mengerti. Kau pasti sangat merindukan mereka"
Tangan wanita itu bergerak mengusap surai rambutnya yang panjang. Maribel tak dapat menahannya lagi, dia terus menarik diri dari pelukan tersebut.
"Ada apa?"
"Aku mau ke kamar mandi"
"Oh!"
Maribel bergegas turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Breta menatap itu dengan pandangan yang rumit. Tapi tidak terlalu memikirkannya.
Setelah bersih-bersih dan menggosok gigi, Maribel tidak melihat bibinya masih ada di kamar. Dia berjalan turun ke lantai bawah dan menemukan bibinya itu tampak sedang menunggunya di ruang makan.
"Lihat, bibi menyiapkan kue ulang tahun untukmu"
Wanita itu mengangkat sebuah tutup kotak dan memperlihatkan sebuah kue ulang tahun dengan desain yang manis lengkap dengan cream dan ceri merah di atasnya. Setiap kali melihat pemandangan itu, dia pasti akan berseru senang dan berterima kasih penuh haru pada bibinya.
Tapi sekarang...
'Aku tidak dapat melakukannya lagi'
"Terimakasih bibi" Maribel mengatakan sekenanya.
Biar begitu, bahkan hatinya merasa sakit. Tangannya yang terkepal itu bahkan memiliki keinginan besar untuk segera mendorong tubuh wanita itu ke dinding dan membayangkan dia akan mencekiknya sampai mati.
Tapi akal sehatnya masih bekerja.
Maribel hampir gila menahan dirinya untuk tidak meledak.
Breta merasakan keganjilan sikap nya, bertanya lembut, "Kenapa murung begitu? Kau masih sedih karena merindukan orang tua mu um?"
Maribel tersenyum kecil mengangguk. Seusaha mungkin itu terlihat alami untuk menghindari kecurigaan bibinya.
Breta menepuk pundaknya, pelan berbicara,
"Bibi mengerti. Ambil waktu mu, bibi tidak akan mengganggumu"
Setelah mengatakan itu, Breta bersiap akan pergi meninggalkan ruang makan. Tapi sebelum itu, dia mendengar Maribel memanggilnya.
"Bibi"
Breta menghentikan langkahnya, "Ya?"
"Aku tidak ingin mengambil sekolah musik seperti yang kau sarankan"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Mariam R RIa
hadir lagi Thor😁😁
belum baca langsung masukin pavorite
2023-08-14
0