Dia tidak tau dimana posisinya itu sekarang. Dia hanya terus berlari dan berlari. Hingga dalam pertengahan pelariannya itu, dia menemukan sebuah kastil besar dengan lampu menyala.
Langkahnya pun terhenti dan bola matanya bergertar dalam sinar harapan.
"Haa.."
"Akhirnya.."
......................
Maribel sudah berdiri di depan pintu dan memencet bel. Tak ada tanggapan, dia memencet nya sekali lagi. Tapi yang menyambutnya hanya keheningan.
Maribel mengerutkan keningnya, "Tidak mungkin tidak ada orang kan?"
Jelas lampu di dalam sana sepenuhnya menyala. Menunjukkan tempat itu berpenghuni. Menarik nafas dan menghelanya perlahan, Maribel kembali menekan tombol bel.
Di dalam sana, Aldrich masih melompat-lompat menikmati dentuman musik yang diputar keras dari ponselnya.
Dia sama sekali tidak mendengar bunyi bel yang sudah berapa kali di tekan diluar.
Maribel menyerah memencet bel, karena sedari tadi tak kunjung mendapatkan reaksi apapun dari tuan rumah.
Di luar sangat dingin. Dia hanya mengenakan baju kaos tipis bewarna putih dengan gambar hati besar di tengahnya dan celana longgar bermotif kan kulit zebra yang hitam putih.
Dia memeluk tubuhnya dan menggosok nya merasa mulai menggigil kedinginan.
Menyentuh gagang pintu, ragu-ragu dia mencoba mendorongnya dan..
"Tidak terkunci?" Serunya senang.
Dia tau sangat tidak sopan masuk tanpa izin tuan rumah. Tapi kali ini dia melakukannya karena tekanan keadaan.
"Tidak apa-apa, nanti aku akan menjelaskannya secara baik-baik. Semoga saja tuan rumah ini seseorang yang pengertian"
Berjalan masuk kedalam, Maribel di kejutkan dengan sentuhan interior dalamnya yang klasik— membawa kesan gaya Eropa kuno. Semakin melangkah kedalam, dia melihat beberapa ornamen dan vas kosong yang berada dalam tatanan tempat yang baik.
Tempat itu besar dan luas. Melangkah ke ruang tengah, dia menemukan susunan tata letak sofa yang mewah dan mejanya yang memiliki sentuhan emas pada sulaman taplak nya.
"Permisi"
Hening.
"Maaf, saya sudah tidak sopan dan langsung masuk"
Senyap.
"Apa ada orang disini?"
Sepi.
Maribel mengerutkan keningnya. Keselurahan lantai bawah itu terlihat sepi, seperti tak berpenghuni.
Sayup-sayup dia mendengar suara keras musik memecah keheningan tempat tersebut. Setelah di telusuri, sepertinya itu datang dari lantai atas.
"Apa aku coba pergi ke atas?"
Maribel pun pergi menaiki anak tangga menuju lantai atas. Berjalan di lorong, alunan musik terdengar semakin jelas bersama hentakan kaki yang bersemangat. Sepertinya tuan rumah itu sedang membuat pesta kecil. Begitulah pikirnya.
Hampir semua pintu yang ditemuinya tertutup rapat. Hingga ketika langkah nya berhenti di penghujung. Dia mendapati sebuah kamar dengan pintu yang setengah terbuka. Ada sedikit cahaya kuning keemasan dari dalam dan suara keras musik paling jelas di dengar dari kamar tersebut.
Maribel menggigit bibirnya, ragu-ragu mengetuk.
Tok..tok..
"Permisi"
Suaranya begitu pelan.
Aldrich yang sedang menari ria di dalam sana sama sekali tidak mendengarnya.
"Permisi"
Maribel mengulanginya lagi. Sama seperti sebelumnya, tak ada sahutan.
Maribel meremas jari-jemarinya, haruskah dia mengeraskan suaranya? Berteriak barangkali?
Tapi dia sudah masuk ke dalam tanpa izin tuan rumah saja sudah sangat tidak sopan. Jika dia melangkah lebih jauh lagi hingga melanggar privasi tuan rumah seperti masuk begitu saja kedalam kamarnya, bahkan kata-kata tidak sopan tak akan cukup menggambarkan betapa tidak tahu malunya dia.
"Sebaiknya aku menunggu saja dengan sopan di bawah" Seperti itu, Maribel memutar langkahnya dan menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Dia pergi melabuhkan punggungnya di sofa tunggal, menaikkan kedua kakinya keatas dan duduk dengan memeluk lututnya.
Tiba-tiba perutnya berbunyi. Bibinya berkedut, menangisi nasibnya yang begitu miris.
Detak jam dinding berputar dan detak nya bergema jelas di ruang yang hening. Maribel mengangkat pandangannya ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tepat dan kemudian melirik ke lantai atas yang samar-samar masih terdengar dentuman musik.
Sepertinya tuan rumah akan melewati pesta yang panjang.
Maribel menunggu dan menunggu. Perutnya masih keroncongan karena lapar, tapi dia tak berdaya. Hingga berlalunya menit, dia pun jatuh tertidur.
Dua botol anggur darah sudah habis. Aldrich merasa kepalanya menjadi berat dan wajahnya menjadi hangat merah karena mabuk.
Dia menggelengkan kepalanya yang terasa pusing dan berjalan sempoyongan mematikan musik dari ponselnya. Dia tidak punya toleransi yang baik terhadap alkohol itu kenapa dua botol anggur saja sudah cukup merenggut separuh akal sehatnya.
Badannya sudah berkeringat basah karena lelah akan tarian gilanya tadi, membuat sekujur tubuhnya terasa lengket.
Dia menanggalkan jubah tidurnya dan pergi berendam telanjang di dalam bathtub. Kepalanya yang terangguk-angguk begitu saja jatuh ke pinggiran bathtub. Seperti itu dia tertidur di dalam sana hingga pagi bertandang.
......................
Saat matahari sudah terbit. Aldrich membuka matanya dan mendapati tubuhnya yang tenggelam basah di dalam air bathtub yang dingin.
Kepalanya masih terasa pusing karena efek pengar yang belum sepenuhnya hilang. Dia keluar dari bathtub dan pergi berdiri di bawah shower. Dia membilas tubuhnya dengan air hangat untuk merilekskan dan mengumpulkan kesadarannya kembali.
Setelahnya dia keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang sudah terikat longgar di tubuhnya
Sisa air di rambut kuning jagungnya, itu jatuh dan menetes dari waktu ke waktu, membasahi tulang selangka nya yang pucat dan wajah tampannya yang dingin.
Dia menggaruk-garuk tengkuk dan lengannya yang mulai terasa gatal. Tampak ruam-ruam merah mulai bermunculan di kulit putih pucat nya. Dia langsung mencari obat alergi nya yang semalam dia simpan di laci meja dan meminumnya satu butir.
Aldrich menutup tirai, memblokir cahaya matahari yang masuk. Walau dalam tubuhnya memiliki beberapa persen gen manusia, tapi tetap saja efek yang dimilikinya akan sama dengan para vampir murni yang hidup dengan asupan darah hewani.
Ketika terpapar sinar matahari, kulit putih pucat mereka akan begitu cepat merasakan efek sunburn. Itu kemerahan, pembengkakan dan yang terburuk adalah melepuh.
Dia melabuhkan punggungnya ke sofa besar tunggal. Sikunya bertopang di lengan sofa dan tangannya memijit pelipisnya yang masih terasa pusing. Saat itu dia mendapati ponselnya yang ada di atas meja bergetar.
Dia mengambilnya dan langsung menduga siapa yang menghubunginya itu. Karena itu dia langsung mengangkatnya.
"Em?" Dia menjepit ponselnya di antara pundak dan telinga. Di sisi lain tangannya masih terus memijit kepalanya.
"Aku sudah mencarikan salah seorang pembantu untuk mengurus kehidupan mu di kastil"
"Sebenarnya itu tidak perlu"
"Pangeran vampir sepertimu apa tau cara mengurus diri? Sudah begitu kastil itu begitu besar, kau perlu pelayan untuk mengurusnya"
"Heum" Aldrich berdeham malas sebagai persetujuan dan terus memijit kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments