"Maribel, kamu tidak boleh terlalu banyak bermain di luar. Dunia luar berbahaya untuk mu, jadi berdiam saja di rumah, en?"
"Maribel, kamu harus terbiasa dengan makanan sederhana seperti ini mulai sekarang. Bagaimanapun bibi harus menghemat pengeluaran, mengerti?"
"Maribel, kau belum cukup umur untuk mengurus perusahaan. Biarkan paman yang melakukannya dalam sementara waktu ini, bagaimana?"
"Maribel, kamu harus dengarkan bibimu.."
"Maribel, kamu harus patuh..bla..bla"
"Maribel, anak yang baik..bla..bla"
"Maribel, anak yang penurut...bla..."
Seperti itu, Maribel melewati tujuh tahun kehidupannya seperti seorang gadis penurut yang bodoh. Dia mendengar kan ucapan bibinya dan menuruti semua perkataan nya seperti boneka manis yang dapat dengan mudah dimainkan.
Hingga tepat di ulang tahunnya yang ke delapan belas, Maribel bangun dari tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya dengan masih mengenakan gaun tidurnya yang bewarna putih. Rambut ikal hitam nya jatuh menjuntai ke pinggang nya yang ramping, itu bergoyang dengan indah tiap kali hentakan kakinya yang bergerak menuruni anak tangga.
Hingga sebuah suara mengetuk indra pendengarannya.
"Tidak, ku pikir kita tidak perlu membunuhnya"
Maribel menghentikan langkahnya. Pijakan terhenti tepat di belokan tangga.
"Aku sudah mengurusnya cukup baik sejauh ini dan membuatnya seperti boneka kecil polos yang akan menuruti semua perkataan ku"
Tangan Maribel yang memegang lengan besi tangga itu perlahan mengencang.
"Akan sangat sia-sia jika kita membunuhnya seperti kedua orang tuanya. Ku pikir, kita dapat memanfaatkan keberadaan gadis malang itu"
Otot-otot tubuh Maribel menegang dan bulu matanya bergertar dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan.
"Dia masih begitu muda dan cantik. Kita dapat mengatur pernikahan politik untuk nya guna memperluas jaringan perusahaan"
Kedua kaki jenjangnya mulai bergetar, seperti akan roboh. Cepat-cepat Maribel meraih pegangan tangga.
"Soal itu kau tidak perlu khawatir. Seperti yang ku katakan, dia akan dengan patuh menuruti semua perkataan ku. Jadi, biar ini menjadi urusanku"
"En, aku mengerti"
Tap!
Agaknya panggilan sudah berakhir.
Maribel merasakan detak jantungnya berdetak cepat dan dia memutar tubuh nya dan bergerak se-pelan mungkin untuk kembali ke lantai atas dan menuju kamarnya.
Dia naik ke atas ranjang dan menyusup ke bawah selimut. Seperti itu dia memejamkan mata dan bersikap seolah-olah masih terbuai dalam bunga tidur yang panjang.
Maribel mendengar suara pintu kamarnya di dorong terbuka.
Detak jantungnya kian memburu lebih cepat. Mengepalkan tangannya di bawah selimut, Maribel seusaha mungkin untuk mengatur segala tekanan yang ada dalam dirinya.
Biar bagaimanapun...
Belum saatnya gunung Merapi dalam dirinya itu meledak.
"Maribel, ini sudah pagi. Ayo bangun!"
Selalu nya suara wanita empat puluhan itu terdengar hangat, tapi untuk pertama kali kehangatannya telah menyiksa Maribel dalam luka tak berdarah.
Sayup-sayup Maribel mendengar langkah kakinya yang begitu jelas mengetuk lantai dan tidak lama setelannya. Dia mendengar suara tirai jendela yang di tarik dan begitu saja seberkas sinar matahari pagi menyeruak masuk kedalam.
"Maribel"
Maribel mendorong selimut dan bersikap polos seperti biasa dengan membuka mata dan menunjukkan wajahnya yang mengantuk.
"Bibi.." Sesaat dia menguap malas dan meregangkan lengan panjang ke atas.
"Kau akhirnya bangun" Wanita itu berpakaian rapi dalam potongan gaun hitam polos nya yang konservatif yang menutupi separa betis. Tubuhnya ramping dan wajahnya yang lumayan awet, sedikit melekangkan kecantikan nya yang anggun.
Itu adalah jenis kecantikan yang cukup mirip dengan almarhum ibunya. Kecantikan yang sudah seperti gen keluarga itu juga menurun pada Maribel.
"Bukan kah masih terlalu awal untuk bangun?" Maribel menjatuhkan bahunya. Sikapnya terlihat malas dan lesu, "Bagaimanapun ini adalah akhir pekan, toh aku juga tidak pergi kemana-mana"
Breta melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang senyum yang untuk pertama kalinya membuat Maribel merasa begitu mual melihatnya.
"Bibi mengerti. Tapi apa kau tak ingat hari ini hari apa?"
Maribel mengucek-ngucek matanya, "Ingat" Dia mengangkat kepalanya kearah bibinya, "Bukankah hari ini hari minggu? Lalu ada apa dengan itu?"
Breta menarik sudut bibirnya keatas dan raut wajahnya tenggelam dalam senyum keibuan, "Sepertinya kau benar-benar lupa. Ini adalah hari ulang tahun mu"
Maribel merasa sakit ketika mendandang wajah yang tersenyum penuh keibuan itu, begitu mirip dengan ibunya. Jika dulu itu adalah sakit akan kerinduan, tapi kini...
Itu adalah buah luka dari kekecewaan.
Merasakan keheningan Maribel, Breta mengerutkan keningnya, "Ada apa? Kelihatannya kau tidak bahagia?"
Maribel menyungging senyum tipis di bibir, menelan kepahitan...'Ya, aku tidak bahagia'
'Dan baru saja akan kecewa dan ingin marah'
Maribel menggigit bibirnya dan merasa asam di pangkal hidungnya, "Bukan apa-apa. Aku hanya merindukan ibu dan ayah"
Breta terlihat sedih untuknya. Dia berjalan mendatangi ranjang dan memeluk tubuh kurusnya. Saat itu, Maribel ingin muntah menghadapi kepalsuannya.
"Bibi mengerti. Kau pasti sangat merindukan mereka"
Tangan wanita itu bergerak mengusap surai rambutnya yang panjang. Maribel tak dapat menahannya lagi, dia terus menarik diri dari pelukan tersebut.
"Ada apa?"
"Aku mau ke kamar mandi"
"Oh!"
Maribel bergegas turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Breta menatap itu dengan pandangan yang rumit. Tapi tidak terlalu memikirkannya.
Setelah bersih-bersih dan menggosok gigi, Maribel tidak melihat bibinya masih ada di kamar. Dia berjalan turun ke lantai bawah dan menemukan bibinya itu tampak sedang menunggunya di ruang makan.
"Lihat, bibi menyiapkan kue ulang tahun untukmu"
Wanita itu mengangkat sebuah tutup kotak dan memperlihatkan sebuah kue ulang tahun dengan desain yang manis lengkap dengan cream dan ceri merah di atasnya. Setiap kali melihat pemandangan itu, dia pasti akan berseru senang dan berterima kasih penuh haru pada bibinya.
Tapi sekarang...
'Aku tidak dapat melakukannya lagi'
"Terimakasih bibi" Maribel mengatakan sekenanya.
Biar begitu, bahkan hatinya merasa sakit. Tangannya yang terkepal itu bahkan memiliki keinginan besar untuk segera mendorong tubuh wanita itu ke dinding dan membayangkan dia akan mencekiknya sampai mati.
Tapi akal sehatnya masih bekerja.
Maribel hampir gila menahan dirinya untuk tidak meledak.
Breta merasakan keganjilan sikap nya, bertanya lembut, "Kenapa murung begitu? Kau masih sedih karena merindukan orang tua mu um?"
Maribel tersenyum kecil mengangguk. Seusaha mungkin itu terlihat alami untuk menghindari kecurigaan bibinya.
Breta menepuk pundaknya, pelan berbicara,
"Bibi mengerti. Ambil waktu mu, bibi tidak akan mengganggumu"
Setelah mengatakan itu, Breta bersiap akan pergi meninggalkan ruang makan. Tapi sebelum itu, dia mendengar Maribel memanggilnya.
"Bibi"
Breta menghentikan langkahnya, "Ya?"
"Aku tidak ingin mengambil sekolah musik seperti yang kau sarankan"
Kening Breta mengernyit, "Kenapa? Bibi pikir kau menyukainya"
Maribel tersenyum tipis, "Sejujurnya aku tidak begitu menyukainya"
"Lalu apa yang kau suka?"
"Bisnis"
Kerutan di kening Breta semakin dalam.
"Maribel, bukankah bibi sudah mengatakan sebelumnya. Kau ini perempuan, tidak baik terjun di dunia yang seperti itu"
"Bibi, bukankah sejauh ini kau akan selalu mendukung ku?"
Breta terdiam.
"Jadi, cukup saja dukung aku. Adapun konsekuensinya nanti, aku yakin dapat menanggungnya"
Setelah pergi meninggalkan rumah besar yang sudah seperti istana itu, Breta masuk kedalam mobil dengan wajah panas karena kesal.
Dia memukul stir dan menggeram marah, "Sial! Boneka polos itu sudah tau cara membantah"
Tapi dia tidak berdaya, karena gadis itu mengatakan sesuatu yang cukup masuk akal. Jadi dia dengan terpaksa menuruti kemauannya.
"Tidak masalah, selama dia masih berada di bawah tali kekang ku. Dia tidak bisa berbuat apa-apa"
......................
Tujuh tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut, Maribel sudah menyelesaikan gelar sarjananya dalam negri dan memperoleh gelar master nya di luar negeri. Untuk memperkuat dirinya, Maribel mengambil kelas taekwondo dan telah memiliki sabuk biru. Walau belum mencapai tingkatan tertinggi, setidaknya itu sudah cukup untuk menjadi bekal perlindungan dirinya dalam kondisi darurat.
Maribel langsung mengambil alih perusahaan sekalipun harus berkelit dengan paman dan bibinya yang mencoba membodohi nya seperti dulu. Tapi dia bukan lagi boneka manis mereka.
Bibi dan pamannya yang tak lagi berdaya beradu argumen dengannya, kini Maribel menjadi posisi CEO di perusahaan milik kedua orangtuanya yang sudah lama pergi meninggalkannya.
Di ruang rapat besar perusahaan yang dihadiri para petinggi, investor dan pemilik saham. Mereka memenuhi tempat duduk dengan mengambil kursi yang sesuai urutan kedudukan mereka. Termasuk Gavin dan Breta, keduanya juga sudah ada di sana.
Pintu di dorong terbuka, bersamaan dengan itu dua orang wanita dengan pakaian formal berjalan masuk kedalam.
Satu dengan rambut ikal hitam panjangnya tergelung tinggi ke atas, mengenakan kemeja dalaman bewarna cream dengan jas luaran bewarna merah muda. Penampilannya segar dan seperti bunga tulip yang baru saja mekar. Di belakangnya adalah wanita berjas hitam dengan dalaman putih. Rambutnya dipangkas pendek seperti cowok. Dia memegang tablet di tangannya dan memperbaiki letak kacamata di wajahnya, memperhatikan orang-orang di meja rapat.
"Perkenalkan semuanya, dia adalah Callie. Sekretaris baru saya yang baru saya rekrut" Wanita dengan penampilan seperti tulip baru mekar itu, memperkenalkan wanita yang berdiri di belakangnya.
Tatapan orang-orang di meja rapat menunjukkan permusuhan, keacuhan dan ejekan. Sekilas aura mereka sangat tidak bersahabat.
Mengabaikan semua itu, Callie tetap melangkah maju ke depan dan membungkuk sopan untuk menyapa para tetua. Kemudian dia melangkah mundur.
Maribel dengan high heels hitam mengkilap nya, berjalan dengan penuh kepercayaan diri ke atas podium. Merapikan kerah jasnya yang bewarna biru muda, bibir merahnya yang terangkat tinggi dengan senyum penuh integritas dan berbicara dengan lugas, "Langsung saja, mulai hari ini saya akan umumkan kepada anda semua, bahwa saya yang kedepannya akan menjadi CEO perusahaan ini"
Hening.
Tidak ada tepukan.
Hanya lirikan yang meragukan dan tatapan halus yang menyiratkan ketidaksetujuan. Reaksi tersebut, membuat Gavin dan Breta tersenyum puas dalam hati.
Breta berdeham dan menjadi orang kedua yang berbicara di ruang rapat, "Saya mohon pengertian anda semua. Karena keponakan saya sekarang sudah dewasa, jadi sudah saatnya bagi suami saya untuk mengundurkan diri dari tempatnya dan mengembalikan posisi tersebut kepada orang yang semestinya" Seusai mengatakan itu, dia mengangkat pandangannya kearah Maribel dan tersenyum lebar, "Selamat keponakan ku, atas pencapaian mu. Masa depan perusahaan ini kini berada sepenuhnya di tangan mu"
Cih!
Dia cukup pandai memainkan peran seorang bibi yang begitu tulus pada keponakannya.
Maribel tersenyum simpul, "Terimakasih bi—"
"Masa depan apa!"
Brak!
Maribel langsung mengalihkan perhatiannya pada seorang pria berkisar lima puluhan yang baru saja menggebrak meja. Maribel menduga pria tua itu adalah salah seorang inventor di perusahaannya.
"Dia masih begitu muda, bahkan belakang telinganya saja masih basah*. Jika perusahaan ini berada ditangannya, tidak sampai setahun pasti sudah mengalami kebangkrutan"
Selesai kata-katanya jatuh, ledakan gelak tawa yang mengejek pun pecah memenuhi ruang rapat.
Maribel mengepalkan tangannya, masih mempertahankan senyum.
Callie menatap orang-orang di meja rapat tanpa ekspresi khusus. Sekilas dia melirik kearah Maribel, sedikit penasaran dengan reaksi wanita cantik itu.
"Apa anda melupakan kacamata anda pak tua?"
Gelak tawa langsung mati dan pria tua yang baru saja berbicara langsung menatap ke wajah Maribel dengan raut wajah murka, "K-kamu, beraninya kamu memanggilku pak tua! Cih, dasar gadis bodoh yang tidak tau sopan santun"
Menyikapi itu, Breta langsung berbicara, "Tolong jangan diambil hati pak. Keponakan ku hanya sedikit bercanda dengan anda" Dia terlihat seperti seorang bibi yang berusaha melindungi keponakannya.
"Saya sedang tidak bercanda" Potong Maribel. Tatapannya angkuh dan dingin, "Lihat garis kerutan di bawa mata nya, rambut putih yang memenuhi kepalanya dan kulit bawah lehernya yang lentur. Bukankah seperti itulah seharusnya penampilan seorang pria tua?"
"Pftt" Callie secepatnya membungkam rapat mulutnya, ketika dia nyaris hampir meledak dengan tawa.
Maribel tersenyum melanjutkan, "Pak tua, ingatlah untuk mengenakan kacamata anda lain kali. Aku dengan tulus memberitahu mu, kalau belakang telinga ku tidak lagi basah, aku membersihkannya secara teratur jadi anda tidak perlu khawatir"
Pria tua yang dimaksud Maribel seketika menggelap. Ketika dia akan membuka mulutnya siap membludak dalam kemarahan.
Maribel sudah lebih dulu menyela, "Saya tidak akan membuang-buang waktu dengan menghadapi penentangan anda semua. Keputusan saya yang merupakan CEO perusahaan ini tidak akan berubah. Jika anda tetap bersikeras, anda bisa pergi. Bagi anda yang mau berdamai dengan keadaan, percayalah saya tidak akan mengecewakan anda"
Kepercayaan diri untuk seukuran bunga tulip yang baru mekar, itu begitu kuat. Orang-orang di meja rapat langsung terbungkam.
Maribel menoleh pada sekretaris pribadinya, "Callie, ayo pergi!"
Callie mengangguk dan mengiringi Maribel pergi meninggalkan ruang rapat.
Gavin tersenyum menyeringai, dengan tatapan nanar nya dia berbisik di telinga Breta, "Lihat! Harusnya kau mendengarkan ku untuk membunuhnya sejak dulu"
Breta yang sudah sangat kesal karena keadaan itu hanya mengepalkan tangannya dalam amarah.
Selepas meninggalkan perusahaan, Maribel masuk kedalam mobilnya dan menghela nafas panjang, "Huh, hampir saja"
......................
*Basah dibelakang telinga: Ungkapan ini berarti bahwa seseorang itu belum dewasa atau bisa juga berarti tidak/ masih kurang dalam hal pengalaman.
Tapi di sini female lead kita bertindak seakan tidak tahu maksud dari ungkapan tersebut, padahal nyatanya dia mengetahuinya.
Dia dapat merasakan kedua telapak tangannya yang berkeringat dingin dan detak jantungnya yang berdegup begitu kencang memikirkan apa yang telah dia lakukan tadi ruang rapat perusahaan.
Tok..tok..
Maribel mendapati kaca jendela mobilnya di ketuk dari luar. Dia memencet tombol dan kaca pun perlahan turun ke bawah, "Ada apa?"
Tampak diluar sana Callie membungkuk di depan, "Anda sudah akan pergi sekarang Bu?" Tanyanya sopan, "Saya ingin melaporkan terkait jadwal—"
"Batalkan semua jadwal yang saya miliki hari ini. Saya ingin pergi ke sesuatu tempat" Potong Maribel.
Callie mengulum bibir bawahnya ke dalam, "Itu..sebenarnya saya baru saja akan mengatakan kalau anda sama sekali tidak memiliki jadwal apapun untuk hari ini Bu"
"Ya?"
'Bagaimana mungkin?'
Maribel justru mengira jadwalnya akan sangat padat mengingat banyak hal yang harus diurusnya.
Callie tersenyum pahit, "Sepertinya awal perjalanan anda akan berat"
Dia tidak mendapatkan laporan apapun terkait agenda rapat dan sepertinya itu di sengaja. Callie menebak itu karena orang-orang di perusahaan masih belum mengakui Maribel sebagai ketua perusahaan yang baru.
Maribel tersenyum getir, tentu saja dia menyadari hal itu.
"Karena kau sekretaris pribadi ku, kau pasti tau apa yang harus kau lakukan, bukan?"
Callie tersenyum klise dan mengedipkan matanya, "Tentu saja bu. Saya akan mengikuti ritme kerja anda, mencoba memahami kinerja anda dan menyesuaikan gaya kepemimpinan anda sebaik mungkin. Jadi anda tidak perlu menyesal karena sudah merekrut saya"
Maribel tersenyum puas, "Baguslah. Kalau begitu aku pergi" Maribel memasang sabuk pengaman nya dan melongok keluar, "Jangan lupa laporkan hasil kinerja mu hari ini padaku"
"Siap Bu"
"Hancurkan saja orang-orang yang mencoba menekan mu, kau dapat memanfaatkan namaku jika perlu"
"Saya mengerti"
Dengan begitu Maribel menyalakan mesin mobil, menancap gas dan bergegas pergi meninggalkan area perusahaan.
Itu padahal masih pagi dan bahkan matahari belum berada dalam posisi tegaknya. Tapi Maribel sudah merasa begitu lelah, seakan energinya tersedot habis oleh para tetua yang dihadapinya di ruang rapat.
"Haa, sejujurnya mereka lumayan menyeramkan"
......................
Maribel memarkirkan mobilnya di depan halaman vila keluarga nya.
Lokasi vila tersebut berada di pelosok desa. Hanya posisinya agak jauh dari rumah-rumah penduduk karena letaknya yang tersendiri dan cukup dekat dengan hutan.
Vila itu di beli oleh ayahnya sebagai hadiah untuk ulang tahun ibunya. Sejak itu, mereka sering datang berkunjung ke tempat itu di akhir pekan untuk berpiknik di tepi danau yang ada di dalam hutan. Dia ingat ayahnya berkata selama tidak melewati perbatasan yang dipagari oleh polisi hutan, mereka tidak perlu khawatir akan bertemu dengan hewan buas. Sederhananya, selama tidak memasuki ke pedalaman hutan tersebut, maka akan aman-aman saja.
Maribel sengaja datang ke tempat itu untuk menenangkan pikirannya.
Dia berjalan dari vila nya menuju hutan sambil mengingat-ingat jalan yang harus diambilnya hingga mencapai danau yang dulu sering menjadi titik tempat buat keluarga kecilnya berpiknik.
Pohon-pohon menjulang tinggi di atasnya. Mereka bergoyang di tiup angin dan gemericik dedaunan yang bertabrakan bagai melodi yang mengiringi tiap langkah nya. Maribel menarik nafas dalam-dalam, mengambil energi positif dari alam yang mendamaikan dan menghelanya perlahan.
Dia terus berjalan hingga sepasang matanya tersenyum senang ketika menjumpai danau yang dimaksud nya sudah ada tepat di depan mata.
Tapi tiba-tiba sebuah ular jatuh keatas tubuhnya. Refleks Maribel berteriak ketakutan dan melompat-lompat menyapu ular tersebut dari atas pundak nya.
Ular tersebut jatuh ke atas tanah dan malah mematuk betisnya. Maribel seketika menegang di posisinya berdiri. Tak lama setelahnya dia jatuh dan roboh di tanah.
"Akh.. sakit" Maribel memegang kaki kirinya yang sudah berat seperti mati rasa.
"Dasar bodoh!"
Umpatan seorang pria yang entah datang dari mana, begitu saja mengetuk indera pendengarannya. Maribel mendongak ke asal suara dengan ekspresi terkejut bercampur rasa sakit di wajahnya, melihat ke sosok tersebut. Itu seorang pria dengan tinggi berkisar 180 cm. Mengenakan mode pakaian yang cocok di musim dingin. Mantel hitam panjang selutut dan dalaman baju kemeja berkerah tinggi.
Padahal mode pakaian seperti itu sangat tidak cocok di cuaca panas seperti ini.
Rambutnya yang bewarna kuning jagung itu sangat asing di kota J yang mayoritasnya berambut hitam dan coklat. Kulitnya begitu putih hingga memperjelas urat-urat hijau yang ada di sekitar wajah nya terbilang sangat tampan.
Saat dia membungkuk, wajah tampan itu semakin jelas, "Apa kau tidak tau langkah pertama yang harus diambil ketika terkena gigitan ular?"
Maribel menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya. Dia memegang kaki kirinya yang sudah seperti mati rasa sebagian.
"Tanggalkan pakaian luar mu"
"B-buat apa?"
"Cepatlah!" Suaranya terdengar tak sabar.
Maribel melepas jas merah muda nya, membiarkan lengan putih nya yang halus terkuak karena lengan baju dalamnya yang pendek.
"Ini"
Pria itu mengambil jas tersebut dari tangannya dan dengan cekatan mengikat kaki kirinya dengan itu, tepat di bagian atas betis nya yang terkena gigitan ular.
Srek!
"Aw" Maribel mengaduh sakit merasakan ikatan yang mengikat kakinya itu cukup kuat.
Dia mendengar suara acuh tak acuh pria itu berbicara, "Ini dilakukan untuk mencegah racun ular yang menggigit mu tadi itu menyebar"
Maribel hanya mengedipkan matanya, gugup memandangi raut wajah tampan pria itu.
"Aku akan mengeluarkan racunnya, bertahan lah! Ini akan sedikit sakit"
"En" Maribel mengangguk, mempersiapkan dirinya.
Apa dia akan mengeluarkan darah beracun tersebut dengan mengisap nya?
Saat itu Maribel menyaksikan pria itu bertekuk lutut di tanah, membungkuk kan badannya hingga wajahnya berada tepat di depan betis nya yang memiliki dua lubang berdarah dan itu sudah membiru.
Maribel tertegun saat menyaksikan taring tajam mencuat dari mulut pria itu. Dari bentuk ketajaman dan ukurannya, itu sama sekali tidak mirip seperti taring manusia normal.
Ketika dia mengedipkan matanya mencoba memastikan, dia mendapati pria itu sudah menancap kan taring tajamnya itu tepat di bekas gigitan ular tadi dan dia tidak tahan untuk tidak menjerit.
"Aakh sakit.."
"Uuu sakittt.."
"Akhhh"
Maribel merasa seperti benda tumpul yang cukup tajam baru saja mengoyak daging di tubuhnya. Lalu kemudian dia merasakan sesuatu yang lunak dan panas datang menghisap betisnya, saat itu dia mendesis sakit.
Pria itu tampak menggembung kan pipinya menampung sesuatu dan memuntahinya ke tanah. Maribel melihat itu adalah seteguk darah miliknya yang sedikit menghitam.
Pria itu menghisap di bagian lukanya, menggembung kan pipinya dan memuntahkan isi dalam mulutnya ke tanah. Pria itu terus mengulangi hal tersebut dan dalam kurun waktu itu Maribel menjepit alisnya sambil terus mengiris nyeri.
"Sepertinya sudah tidak ada lagi racun" Pria itu menyapu bersih sisa darah yang ada di sudut bibirnya. Gerakannya yang biasa itu tapi menjadi cukup luar biasa di mata Maribel.
"Tapi untuk memastikan, kau harus pergi ke rumah sakit"
Pria itu bangun dan membersihkan sisa-sisa tanah dan daun kering yang mengotori pakaiannya.
Maribel menatap pada pria itu tak berkedip. Hatinya yang berdesir manis, membuatnya sadar. Dia telah jatuh hati pada pandangan pertama terhadap penolong nya itu.
"Aku pergi"
Maribel tidak mengizinkannya. Secepatnya dia meraih ujung mantel pria itu, menahannya.
Pria tampan yang berkulit putih pucat itu berbalik dan menatapnya dalam, "Ada apa lagi?"
"Bisa tolong bawa aku ke rumah sakit?"
Pria itu tampak menautkan alisnya.
"Ku mohon, tolong ya...?"
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!