Aldrich mendorong pintu tersebut dan pemandangan kamar mewah yang besar lagi luas menyambut retinanya. Desain interior dan perabotannya masih sama seperti dulu.
Itu penuh dengan estetika yang dingin.
Di dalamnya lumayan gelap, karena cahaya dari luar sudah sepenuhnya terblokir dari tirai jendela yang tertutup rapat. Di atas langit-langit, ada lampu kristal yang bergantung. Keberadaanya cukup mewah untuk sebuah kamar.
Di bawah sana, terbentang karpet merah gelap yang lembut. Itu tergelar di sepanjang lantai. Sehingga membawa sentuhan jejak mistis yang berdarah.
Ranjang dengan tiang emas dan kelambu putih. Kemegahan itu telah menciptakan suasana kamar milik seorang pangeran. Dinding-dinding yang berlapis kan bubuk emas, juga tak kalah. Itu hadir memberikan sentuhan kemewahan yang jumawa.
Aldrich mengambil beberapa langkah mendekati ranjang.
Dia menyingkap tirai ranjang dan melihat seprai putih bersih yang menguarkan aroma sabun seperti baru di cuci.
Kemudian dia datang mendekat ke tirai jendela, ada jejak parfum laundry yang samar-samar masih tercium.
Segalanya tampak memuaskan. Hanya...
"Desain interior nya terlalu kuno. Mungkin aku harus memikirkan untuk menggantinya dengan gaya yang lebih modern"
Setelah puas dengan kondisi kamar utama. Aldrich segera pergi ke gudang bawah tanah. Kata ayahnya di sana ada simpanan botol-botol anggur darah miliknya yang sepertinya masih ada sekitar beberapa kotak.
Setiba dia di sana, Aldrich tersenyum puas. Itu lebih tepatnya adalah gudang anggur.
Di dalam sana terdapat deretan rak yang saling berdampingan dan di sana telah berbaris rapi jejeran botol anggur dengan berbagai jenis varian darah. Tapi kebanyakan mereka adalah anggur darah kelinci.
Darah hewan kesukaan ayahnya.
Di bagian paling belakang, terdapat beberapa kotak yang menyimpan anggur darah lainnya seperti yang ayahnya katakan.
Bibir Aldrich melengkung tinggi ke atas, menatap botol-botol anggur darah itu. Mata hitam pekatnya yang sekilas berkilat merah itu di penuhi jejak kegembiraan.
"Mari bersenang-senang malam ini"
......................
Di perusahaan, Callie sudah berputar-putar dari pagi hingga sore. Tapi tak ada satupun dari karyawan yang menganggap keberadaannya. Tak ada laporan dan bahkan jadwal rapat seperti sengaja disembunyikan darinya.
Callie pengendali emosi yang baik, tapi dia sangat mengerti kapan harus meledak.
Saat itu ketika beberapa karyawan sedang berberes-beres bersiap untuk pulang. Meninggalkan beberapa orang dari mereka yang perlu kerja lembur. Callie segera mendatangi ketua divisi perencanaan.
"Berikan padaku laporan hasil rapat kalian hari ini" Ucapnya. Tak sungkan dan tak bersahabat.
Orang-orang di sini semua memusuhinya, jadi dia berpikir tak perlu begitu sopan menghadapi mereka.
Wanita yang berkisar tiga puluh tujuh ke atas itu dengan rambut tersanggul rapi kedalam, tampak menyunggingkan senyum sinis.
"Aku sudah memberikannya pada Bu Breta. Jika kau membutuhkannya, pergi minta padanya saja"
"Saya adalah sekretaris utama di perusahaan, dapat dikatakan sebagai tangan kanannya bu Maribel, CEO perusahaan ini" Callie sangat menekankan kata 'tangan kanan' dan 'CEO perusahaan".
"Jadi cepat, serahkan laporannya"
Wanita itu tersenyum lucu, "Bukannya aku sudah bilang ya? Jika kau memerlukan itu, sana minta sama Bu Breta"
Callie mengepalkan tangannya, menahan dirinya untuk tidak meledak. Tapi..
Gunung Merapi itu sepertinya sudah waktunya untuk meledak.
Plak!
Sebuah tamparan melayang keras di wajah wanita itu. Membuat kepalanya tertoleh ke samping.
"Kau—" Wanita itu memegang belahan pipinya yang terasa panas dan nyeri karena kerasnya pukulan.
Callie tersenyum kecut, "Itu adalah cara mendidik ku pada bawahan yang tidak sopan seperti mu"
Dia tidak akan sungkan melakukannya. Karena Maribel sudah memesan itu padanya. Dia bebas melakukan apapun pada orang-orang yang berusaha menekannya.
Wanita itu membelalak kan matanya dalam amarah, "Lihat saja, aku akan melaporkan ini pada Bu Breta" Ucapnya, sambil memegang pipinya yang sepertinya mulai bengkak.
Callie tersenyum mengejek. Matanya melirik name tag wanita itu dan mulutnya pun berucap, "Catarina Tamara"
Dia menyebut nama itu seperti akan menghafal dan mengingatnya dengan baik.
"..."
"Aku akan melaporkan nama mu pada Bu CEO. Berdoa saja semoga kau tidak dipecat olehnya nanti"
Seperti itu, Callie langsung pergi meninggalkan wanita itu.
Ada rasa takut dalam hati wanita yang bernama Catarina Tamara itu. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Breta.
"Maaf Bu.."
"Ini, tadi ada.."
Dia pun memberitahu apa yang baru saja terjadi pada Breta.
"Kau tidak perlu khawatir. Selama kau mendengar kan ku, posisi mu akan tetap aman di perusahaan"
Mendapatkan jawaban seperti itu, akhirnya dia dapat tersenyum tenang.
"Huh, anak itu baru saja menjabat sudah besar kepala" Breta memasukkan ponselnya kedalam tas merahnya yang merupakan salah satu barang branded.
Ting!
Pintu lift terbuka dan dia bergegas keluar menuju basement. Saat itu sebuah mobil hitam lewat dan berhenti di depannya.
Breta bergegas menarik pintu mobil dan masuk kedalam.
"Huh, aku harusnya menghancurkan boneka polos itu sejak lama" Ucapnya, nada suaranya kental dengan kemurkaan.
Gavin yang duduk memegang stir itu menoleh pada istrinya dan tersenyum sekenanya, "Yah, aku sudah menyuruh mu sejak dulu. Tapi kau tidak pernah mengindahkan"
"Apa kau tau?" Breta mengabaikan ucapan suaminya itu dan mengeluh marah, "Bocah itu semakin besar kepala. Baru saja sekretarisnya menggertak orang kita"
Gavin hanya mengerutkan bibirnya, tanpa ekspresi khusus. Hingga sebuah pesan masuk dan dia memeriksanya. Bibirnya melengkung tinggi dalam ekspresi kepuasan.
"Kau ingin cepat-cepat membuatnya menghilang dari dunia ini bukan?"
Alis Breta bertaut erat, "Apa maksud mu?"
Gavin tersenyum dan menunjukkan layar ponselnya kearah istrinya itu.
Breta mengerutkan matanya dan membaca isi pesan yang tertera di sana.
Perlahan wajahnya yang memerah karena marah itupun mulai menampilkan jejak senyum.
"Kita masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan rencana mu yang gagal tadi siang" Tutur Gavin. Memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya dan dia menatap wajah istrinya, "Bagaimana?"
Mata Breta dipenuhi senyuman licik, "Kau punya rencana?"
Sebelum Gavin dapat berbicara, Breta langsung memotong, "Bagaimanapun itu harus bersih. Tidak boleh meninggalkan jejak"
Mereka tidak bisa ceroboh.
Gavin mencubit dagu istrinya dan mengecup bibirnya.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku yang paling tau soal bermain bersih"
Breta yang mendengarnya, berbalas mengecup bibir suaminya. Dia memegang dagunya dan matanya mengerling nakal, "Aku tau" Kemudian dia berbisik di telinganya, suaranya terdengar seduktif, "Karena keahlian itu juga aku pelajari darimu"
Gavin menatap wajah Breta dengan tatapan yang mendalam. Kecantikan istrinya yang awet muda itu, selalu sangat memuaskan matanya.
Dua orang itu pun saling bertatapan sambil berbagi senyuman licik dan jahat. Bersama-sama mereka mencondongkan wajah kedepan, kedua bibir mereka pun bersentuhan dan bertaut dalam ciuman panjang.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments