"Ulurkan tanganmu"
Tidak seperti tadi di mana Maribel cukup gugup melakukannya. Kini dia mengulurkan tangannya kepada pria itu dengan sedikit keraguan, "Apa yang coba kau lakukan?"
Mata Aldrich berkilat dingin dan bibir tipisnya menyeringai, "Perhatikan baik-baik apa yang coba ku lakukan" Saat dia berbicara, mata hitamnya yang memikat itu terlapisi sinar merah yang kental.
Maribel hampir terperanjat di tempat duduknya, "M-matamu.."
Aldrich tersenyum dengan bibir tertekuk, "Ada apa dengan mataku?"
Saat itu dia membuka mulutnya dan taring tumpul nya berubah menjadi tajam. Itu mencuat tinggi keatas dan begitu menonjol persis sebagaimana penampilan taring yang ditunjukkan drakula ataupun vampir.
Nafas Maribel langsung tercekat di tenggorokan ketika melihatnya.
Aldrich menyingkap sedikit lengan baju gadis itu dan pergelangan tangannya yang putih mulus terungkap. Aldrich membungkuk ke bawah dan taring nya menancap lembut menekan permukaan kulit yang putih bersih itu.
Dia hanya menggigitnya sedikit, membiarkan gadis itu merasakan ketajaman taringnya. Tanpa membiarkan nafsunya yang begitu menggila untuk menyobek daging itu dan menyesap darahnya yang manis.
Seperti itu dia melepaskan gigitannya, bertanya, "Kau merasakannya?" Matanya tertuju tepat ke arah gadis yang kini sudah membatu di tempat.
Maribel yang tenggelam dalam lamunan itu, tanpa sadar bergumam, "Tidak. Apa aku sedang bermimpi?"
Mendengar itu, Aldrich mendengus kesal. Dia pun menggigit sedikit lebih keras tangan gadis itu. Membuatnya menyadari apakah itu mimpi atau tidak.
"Akhh"
"Sakit?"
Maribel mengangguk pelan.
"Jadi menurut mu ini mimpi atau bukan?"
"B-bukan mimpi"
Aldrich tersenyum puas. Dia mengusap lembut kulit bening itu yang kini ada sedikit cetakan dari bekas taring tajamnya. Dia menarik lengan baju gadis itu, menutupnya kembali dan melepaskan tangannya.
"Tapi jika kau sungguhan vampir, bagaimana bisa kau tidak terbakar saat terkena sinar matahari?"
"Karena aku campuran"
"Oh, jadi karena itu" Maribel ingat, pria itu baru saja mengatakan kalau dia adalah manusia tapi tidak sepenuhnya manusia. Karena selebihnya dia adalah vampir.
"Bagaimana bisa kau menjadi vampir setengah manusia? Apa itu karena ibumu menikahi seorang vampir? Atau sebaliknya?"
Aldrich menatap dingin, "Sebagai pelayan, kau tidak perlu menanyakan soal sejarah kehidupan ku"
Maribel tertegun, 'Ah, hampir saja aku lupa dengan status ku sekarang'
"Untuk detail pekerjaan mu akan ku sampaikan nanti. Sekarang kau dapat melakukan apa saja yang bisa kau lakukan dulu"
Maribel mengangguk mengerti.
"Aku Aldrich. Untuk seterusnya kau dapat memanggilku tuan Aldrich. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Aku Ma—" Maribel hampir saja mengatakan namanya. Biarpun pria itu vampir dan kecil kemungkinan mengetahui identitasnya. Tapi untuk berjaga-jaga, ada baiknya dia menggunakan nama samaran untuk sementara waktu ini.
"Ma apa?"
"Maddie" Ucap Maribel cepat.
Aldrich mengangguk. Setelahnya dia bangkit dan pergi ke lantai atas.
Maribel menghela nafas, "Haa, mengejutkan sekali"
Dia menyingkap lengan bajunya dan menggosok bagian kulitnya tempat di mana taring tajam pria itu menggigit, meski samar tapi masih ada bekasnya dan dia kembali teringat dengan bagaimana esensi taring tajam itu saat menyentuh kulitnya.
"Ah, jadi namanya Aldrich yaa" Tanpa sadar hatinya tersenyum. Maribel dapat merasakan getaran yang luar biasa dalam hatinya dan itu benar-benar baru.
Sejak dia diasuh oleh bibinya. Dia tidak lagi bersekolah di luar. Itu berganti menjadi home schooling dan seperti itu dia tidak lagi memiliki sosialisasi apapun dengan dunia luar. Itu kenapa dia tidak punya pengalaman apapun soal cinta monyet dan baginya Aldrich...
Di samping cinta pada pandangan pertama, dia juga adalah cinta pertamanya.
Drtt..
Maribel mendapati ponselnya bergetar dan melihat nama yang tertulis di layar dia langsung mengangkatnya.
"Halo Bu. Sekarang anda sedang di mana?" Terdengar suara cemas Callie dari seberang.
"Aku.." Maribel bingung antara harus mengatakan yang sebenarnya atau berbohong.
"Bu anda baru saja mengumumkan posisi anda sebagai CEO. Jika hari ini anda tidak masuk, apa yang akan di katakan orang-orang di perusahaan tentang anda?"
Maribel menggigit bibir bawahnya, melihat sekilas ke atas tangga memastikan Aldrich tidak ada di sana.
"Aku mengerti. Tapi ada sesuatu yang harus aku urus sebelumnya. Itu kenapa mungkin aku akan terlambat datang"
"Bu, saya pikir sepenting apapun urusan anda, opsi untuk terlambat juga kurang tepat. Bagaimanapun anda adalah pemimpin baru perusahaan, semua fokus akan tertuju kepada anda. Apa jadinya jika rumor anda yang tidak disiplin tersebar. Musuh anda dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk memperburuk perfoma anda"
Maribel memijit pelipisnya, dia tidak mengira akan memiliki seorang sekretaris yang begitu cerewet.
"Aku mengerti. Terimakasih karena sudah mengkhawatirkan ku" Dia terbiasa menjadi orang yang sopan.
Callie di seberang sana tampak menghela nafas. Itu aneh Maribel mengatakan datang terlambat. Bagaimanapun wanita itu pasti tidak akan begitu ceroboh untuk hari pertamanya sebagai CEO perusahaan.
"Apa ada sesuatu yang terjadi? Jika ada, maka anda harus memberitahunya pada saya. Bagaimanapun saya sekretaris anda"
Insting wanita selalu tajam. Sepertinya akan sulit jika dia berbohong. Maribel pun mengakuinya, "Ya, sesuatu telah terjadi. Untuk lebih jelasnya aku akan memberi tahu mu nanti"
"Baik Bu, dan untuk apa yang terjadi kemarin saya telah menuliskannya dalam bentuk laporan dan telah mengirimkannya ke surel anda semalam"
"Ya, aku akan melihatnya nanti"
"Hanya itu yang dapat saya laporkan. Untuk sementara ini, saya masih belum dapat mengatur jadwal anda, karena orang-orang di perusahaan anda masih sepenuhnya berpihak pada bibi anda"
Hati Maribel menjadi dingin. Bibinya itu pasti menganggapnya bagai seonggok permata yang hanya tau diam cantik dalam kotak, sehingga dia bisa berlaku sewenang-wenang seperti itu.
"Sepertinya saya harus menarik garis keras mulai sekarang"
"Ya anda harus"
Seperti itu panggilan berakhir.
Di perusahaan Callie, merasakan penindasan orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggapnya lelucon berjalan alih-alih sekretaris pribadi CEO yang harus mereka hormati.
Callie menghela nafas berat, mendorong pintu dan masuk. Di dalam sana sudah duduk Breta dengan angkuh di kursi kerjanya.
Melipat kedua tangannya di atas meja, dia melirik Callie dengan tatapan mengejek.
"Jadi, dia masih belum datang?"
Callie mengatup rapat mulutnya, enggan berbicara.
Breta mendengus dingin menghadapi sikapnya itu, "Hari pertama dia menjabat sebagai CEO saja sudah tidak tau kata disiplin, bagaimana dia dapat memimpin perusahaan yang besar ini? Apa dia pikir ini tempat nona muda kaya sepertinya dapat bermain-main dan bersantai"
Callie melirik Breta, tapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.
Breta tidak ingin memperpanjang omelan nya lagi. Dia berpikir untuk langsung saja membalaskan perlakuan sekretaris sombong itu yang sudah beraninya menggertak orangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments